Jayapura, Jubi – Pembebasan aktivis hak asasi manusia atau Ham, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada Senin (8/1/2024) atas tuduhan pencemaran nama baik merupakan perkembangan positif dan kemenangan untuk keadilan atas represi.
Menurut peneliti Asia Pasifik untuk CIVICUS Josef Benedict, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar seharusnya tidak pernah diadili sejak awal.
“Pembebasan Fatia dan Haris, setelah dua tahun mengalami pelecehan hukum, merupakan kemenangan bagi kebebasan berekspresi dan bagi para aktivis di Indonesia yang telah menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan. Tuduhan yang diajukan terhadap kedua aktivis tersebut jelas merupakan bentuk pembalasan atas kerja keras mereka dalam bidang hak asasi manusia,” kata Josef melalui rilis tertulis yang diterima Jubi di Kota Jayapura, Senin.
Menurut Josef, setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik oleh Polda Metro Jaya pada Maret 2022, Fatia dan Haris harus menghadapi setidaknya 31 sidang. Pada November 2023, jaksa penuntut umum meminta pengadilan menghukum Fatia tiga tahun enam bulan penjara, dan Haris empat tahun penjara beserta denda.
Namun pada 8 Januari 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutuskan bahwa tindakan mereka tidak termasuk pencemaran nama baik dan membebaskan mereka dari segala tuntutan.
“Pelecehan hukum yang mereka hadapi selama dua tahun terakhir tidak sejalan dengan Konstitusi Indonesia dan komitmen Ham internasional, khususnya berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). UU ITE secara sistematis digunakan untuk melecehkan dan mengintimidasi pembela hak asasi manusia, jurnalis dan kritikus serta membatasi kebebasan berpendapat mereka,” ujarnya.
Josef menilai, penuntutan terhadap mereka menunjuk pada upaya lain untuk membungkam kritik terhadap pelanggaran Ham di Papua. Selama bertahun-tahun, aktivis Ham dan pro-kemerdekaan Papua serta pengunjuk rasa sering dikriminalisasi karena tuduhan makar. Beberapa diantaranya telah disiksa, diperlakukan dengan buruk, atau dibunuh secara impunitas.
“Pemerintah Indonesia harus berhenti menggunakan undang-undang yang membatasi seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menargetkan aktivis, jurnalis, dan kritikus,”.
“Pemerintah harus meninjau dan mencabut semua ketentuan yang tidak sejalan dengan hukum dan standar hak asasi manusia internasional. Pemerintah juga harus mengakhiri serangan terhadap pembela hak asasi manusia dan mengizinkan pembela hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil untuk menjalankan tugasnya secara bebas dan aman,” kata Benedict. (*)