Jayapura, Jubi – Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua meminta hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau PTTUN Manado membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura yang menolak gugatan masyarakat Suku Awyu. Hal itu penting demi melindungi hak Suku Awyu selaku masyarakat adat yang kehilangan hutan adatnya karena perkebunan kelapa sawit.
Hal itu disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Emanuel Gobay di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Selasa (20/2/2024). “Hakim PTTUN Manado [harus] membatalkan putusan PTUN Jayapura demi melindungi hak atas tanah ulayat Suku Awyu,” ujarnya.
Perkara itu terkait izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan DPMPTSP Papua untuk perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL. Izin yang digugat masyarakat adat Suku Awyu itu mencakup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Masyarakat adat Suku Awyu selaku penggugat menyatakan izin itu diterbitkan tanpa sepengetahuan mereka.
Pada 2 November 2023, majelis hakim yang yang dipimpin Merna Cinthia SH MH bersama hakim anggota Yusup Klemen SH dan Donny Poja SH menyatakan gugatan masyarakat adat Suku Awyu tidak beralasan hukum dan ditolak. Pada 22 November 2023 Tim Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua selaku penasehat hukum masyarakat adat Suku Awyu mengajukan banding ke PTTUN Manado.
Gobay mengatakan pemeriksaan perkara lingkungan hidup di peradilan tata usaha negara maupun peradilan umum telah diatur mekanismenya dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Gobay menilai majelis hakim PTUN Jayapura mengabaikan mekanisme itu saat memeriksa dan mengadili gugatan masyarakat adat Suku Awyu.
“Surat Keputusan DPMPTSP Papua untuk perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL merupakan keputusan administrasi pemerintahan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan. Semestinya majelis hakim dalam melakukan pemeriksa perkara menggunakan perintah Pasal 26 Peraturan Mahkamah Agung itu,” katanya.
Gobay mengatakan dalil majelis hakim yang menyatakan menolak memeriksa pelanggaran asas umum pemerintahan yang baik dalam perkara gugatan Suku Awyu bertentangan dengan perintah penanganan perkara lingkungan hidup yang diatur Pasal 2 Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalil itu juga bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan lainnya yang berkembang dalam hukum lingkungan internasional.
Gobay menyatakan dalil majelis hakim menolak gugatan itu dengan alasan penerbitan izin telah mengikuti surat dukungan investasi perkebunan kelapa sawit dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel Nomor 30/LMA-BVD/VIII/2018 tanggal 29 Agustus 2018 tidak dapat diterima. Gobay menilai dalil itu tidka relevan dengan pokok perkara, dan bertentangan dengan perintah penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun.
“Dalil majelis hakim diatas telah menunjukan bukti bahwa majelis Hakim turut melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya terkait identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” katanya.
Atas dasar itu, LBH Papua meminta majelis hakim PTTUN Manado membatalkan putusan PTUN Jayapura, demi melindungi hak atas tanah ulayat dan hutan adat suku Awyu. LBH Papua juga meminta Ketua Mahkamah Agung memeriksa majelis hakim pemeriksa perkara di tingkat PTUN Jayapura. LBH Papua juga meminta Komisi Yudisial memantau majelis hakim PTTUN dalam permohonan banding mereka. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!