Jayapura, Jubi – Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jakarta menolak gugatan yang diajukan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama atas surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Putusan yang dibacakan majelis hakim PTUN Jakarta pada Selasa (5/9/2023) itu juga menjadi kemenangan masyarakat adat Suku Awyu yang menjadi tergugat intervensi dalam perkara itu.
Perkara itu adalah perkara sengketa tata usaha negara yang diajukan PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) atas surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penertiban dan penataan izin pelepasan kawasan hutan. Gugatan itu didaftarkan PT MJR dan PT KCP ke PTUN Jakarta pada 10 Maret dan 15 Maret 2023.
Sejumlah enam tokoh masyarakat adat Suku Awyu mengajukan diri sebagai tergugat intervensi perkara itu pada 9 Mei 2023. Dalam persidangan, masyarakat adat Suku Awyu dan kuasa hukumnya berjuang menghadirkan bukti, saksi, hingga ahli, untuk melawan gugatan PT MJR dan PT KCP terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dalam putusan yang dibacakan Selasa, majelis hakim PTUN Jakarta menolak gugatan PT MJR dan PT KCP. Masyarakat adat Suku Awyu selaku pemilik tanah adat di Kabupaten Boven Digoel yang terancam pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit menyambut gembira putusan itu.
Putusan ini menyelamatkan 65.415 hektare hutan hujan asli dari konsesi PT MJR dan PT KCP. Perusahaan tidak boleh melakukan deforestasi dalam area tersebut, dan hanya boleh menjalankan bisnis dalam 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat yang telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi.
Salah satu tokoh masyarakat adat Suku Awyu yang menjadi tergugat intervensi dalam perkara itu, Gergorius Yame berkata putusan itu merupakan putusan yang ditunggu-tunggu. “Cukup sudah, perusahaan jangan ganggu hutan dan tanah adat. Ko [perusahaan] mau bikin apa lagi di tanah adat kami? Patuhi sudah putusan itu, dan biarkan kami rawat sendiri tanah adat kami,” kata Yame sebagaimana dikutip dari keterangan pers tertulis Yayasan Pusaka.
Gergorius Yame berharap agar dengan gugatan itu membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahu bahwa perusahaan sawit tidak memiliki niat baik. Yame berharap KLHK segera mencabut sepenuhnya izin PT MJR dan PT KCP.
“Harapannya kami bisa dapatkan hutan adat lagi, biar bisa kami kelola untuk anak cucu suku Awyu,” kata Gergorius Yame.
Anggota tim kuasa hukum masyarakat adat Suku Awyu, Sekar Banjaran Aji mengatakan pengajuan diri kliennya sebagai tergugat intervensi dalam perkara itu menunjukkan masyarakat adat berdiri bersama pemerintah dan membantu Menteri LHK memenangkan gugatan itu. Kini, demikian menurut Sekar, saatnya bagi KLHK membuktikan keberpihakan mereka kepada masyarakat adat Suku Awyu.
“Masyarakat adat Awyu berhak untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka sendiri, demi penghidupan sehari-hari dan masa depan mereka,” kata Sekar Banjaran Aji.
Sengketa di PTUN Jayapura
Permohonan intervensi tersebut merupakan bagian dari perjuangan masyarakat suku Awyu, untuk mempertahankan hutan adat mereka dari perampasan oleh perusahaan kelapa sawit. Upaya litigasi untuk mempertahankan hutan adat juga ditempuh masyarakat Awyu yang menjadi penggugat di PTUN Jayapura atas izin perkebunan kelapa sawit.
Pada 13 Maret 2023, Hendrikus ‘Franky’ Woro, pejuang lingkungan hidup dan pemimpin marga Woro–bagian dari suku Awyu, menggugat izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk perusahaan sawit lainnya, PT Indo Asiana Lestari. Persidangan gugatan tersebut masih berjalan hingga kini.
“Jarang sekali kami dapat berita baik. Jadi kami berharap masih bisa dapat kabar baik dari gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim di Jayapura. Semoga di PTUN Jayapura [kami] menang lagi,” kata Hendrikus Woro.
Anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu, Tigor Gemdita Hutapea mengatakan perkara gugatan dan serangkaian persidangan itu membuktikan bahwa KLHK harus segera mengakui hutan adat. Pengakuan hutan adat sangat penting untuk menjauhkan komunitas adat dari konflik dengan perusahaan sawit.
“Dari persidangan ini, KLHK mestinya belajar bahwa Papua bukan tanah kosong. Tidak ada alasan menunda lagi, segera akui hutan adat!” kata Tigor. (*)