Jayapura, Jubi – Saksi Rikarda Maa yang dihadirkan dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura pada Kamis (7/9/2023) menyatakan masyarakat adat Awyu mendapatkan tekanan dan ancaman untuk melepaskan hak ulayatnya kepada PT Indo Asiana Lestari. Hal itu disampaikan Rikarda Maa dalam sidang gugatan tata usaha negara atas izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau DPMPTSP Papua di PTUN Jayapura.
Perkara itu terkait izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan DPMPTSP Papua untuk perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL yang digugat masyarakat adat Suku Awyu. Izin itu mencakup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Masyarakat adat Suku Awyu selaku penggugat menyatakan izin itu diterbitkan tanpa sepengetahuan mereka.
Gugatan TUN atas izin kelayakan lingkungan perkebunan kelapa sawit itu terdaftar di PTUN Jayapura dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR. Perkara ini diperiksa dan diadili majelis hakim yang dipimpin Merna Cinthia SH MH bersama hakim anggota Yusuf Klemen SH dan Donny Poja SH.
Dalam sidang pada Kamis, Rikarda Maa (35 tahun) yang dihadirkan selaku saksi penggugat menjelaskan dirinya merupakan salah satu keluarga dari marga Maa, Suku Awyu pemilik hak ulayat lokasi yang termasuk area konsesi PT IAL. Rikarda Maa bersaksi bahwa marga Maa terdiri atas Maa Hohona Sefo, Maa Kuta Hagi, Maa Hoho Wagi, dan Maa Serik Wagi.
Rikarda Maa berasal dari Maa Hohona Sefo yang merupakan marga tertua. Ia mengatakan tanah adat marga Maa terbentang dari Kampung Ampera hingga Kali Wosu di Distrik Mandobo, Kabupaten Boven Digoel.
Maa menyatakan masyarakat adat termasuk keluarganya menolak kehadiran perusahan sawit di atas hak ulayat mereka. Ia menyatakan penolakan itu sudah dilakukan sejak dulu, baik terhadap perusahan sawit PT Menara Grup maupun PT Indo Asiana Lestari.
“Kami keluarga [marga Maa] menolak perusahan sawit baik itu, [baik dari] PT Menara Grup dan PT Indo Asiana Lestari,” kata Maa dalam persidangan.
Maa mengatakan PT IAL pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat di Kampung Ampera, Distrik Mandobo, Kabupaten Boven Digoel pada 19 Agustus 2017. Dalam sosialisasi itu, PT IAL menjanjikan akses air bersih, pendidikan, dan rumah bagi masyarakat yang menyetujui kehadiran PT IAL.
“Saya hadir saat itu. Sosialisasi di Balai kampung Ampera. Mereka bicara perusahaan [akan menyediakan] air bersih, pendidikan, dan [bangun] perumahan rakyat,” ujar Maa menirukan janji manajemen PT IAL dalam pertemuan itu.
Rikarda Maa mengatakan dalam sosialisasi itu masyarakat adat menolak kehadiran PT IAL. Namun, demikian menurut Maa, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Boven Digoel Fabianus Senfahagi membentak dan mengeluarkan nada ancaman terhadap warga.
Rikarda Maa menyatakan saat sosialisasi itu, manajemen PT IAL membawa sembilan anggota Satpol PP dan seorang anggota Polsek Mandobo. Senfahagi pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Boven Digoel.
“Saat sosialisasi perusahaan itu, saya [bersama] bapak saya [dan] saudara saya, dan bapak Hendrikus Woro menolak kehadiran perusahan. [Tetapi] Kepala Satpol PP membentak bapak saya dan Hendrikus Woro. Ada tekanan dari Pace Fabianus [kepada] masyarakat untuk menerima perusahaan. Dia bilang, ‘macam ko bisa kasih makan orang’ kepada bapak saya dan Bapak Hendrikus Woro,” kata Maa dalam kesaksiannya.
Maa mengatakan setelah sosialisasi itu, warga diminta menandatangani berita acara. Maa mengakan marga Maa menolak menadatangi berita acara. Ia juga mengaku tidak mengetahui marga mana saja yang menandatangani berita acara kehadiran PT IAL.
Rikarda Maa membenar pamannya yang bernama Yulinus Maa ikut menandatangani berita acara tersebut. Akan tetapi, Maa mengatakan tindakan Yulinus Maa menandatangani berita acara itu merupakan insiatif pribadi yang bersangkutan, dan bukan didasarkan kesepakatan marga Maa.
Rikarda Maa juga mengatakan tidak ada pertemuan marga untuk membicarakan penerimaan kehadiran perusahan kelapa sawit tersebut. “Bapak adek Yulianus Maa tanda tangan sendiri sebagai pribadi [yang] menerima perusahaan. Tidak pernah ada musyawarah marga terkait [menerima] kehadiran perusahaan [itu],” ujarnya.
Rikarda Maa mengatakan marga Maa memberikan kuasa kepada Yayasan Pusaka Bentala Rakyat untuk menyelesaikan persoalan itu. Maa mengatakan masyarakat adat juga melakukan demo damai dan menyurati Bupati Boven Digoel, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Boven Digoel dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau DPMPTSP Boven Digoel untuk menyatakan penolakan mereka terhadap PT IAL. Selain itu masyarakat juga melakukan penolakan dengan cara menancapkan patok adat, menancap patok berbentuk salib di tanah adat.
“Kami melakukan demo damai dan kirim surat penolakan perusahan. Saya ikut demo damai [serta] kami tancap salib suci dipatok-patok tanah adat,” katanya.
Rikarda Maa mengatakan tanah adat dan hutan tidak bisa diperjualbelikan. Maa mengatakan masyarakat adat melakukan aktivitas, dan mencari penghidupan dari hutan mereka. Ia mengatakan terdapat banyak burung, ikan, pohon karet, dan berbagai kayu sebagai sumber hidup masyarakat adat Awyu. Ada juga terdapat kuburan keluarga di dalam area hutan adat.
“Di atas tanah adat ada kuburan tua leluhur saya. [serta] ada kayu besi, gaharu, sagu, ganemo, pohon perahu, pohon karet dan kali untuk mencari ikan. Ada burung kasuari, cendrawasih, babi. Sampai saat ini masih ada. [Kami masyarakat melakukan] aktivitas pangkur sagu, berburu, memancing, rempah-rempah, serta obat-obatan [di hutan kami]. Saya baru melahirkan [dan saya] pakai obat alam untuk mengobati saat melahirkan. Saya tidak ke rumah sakit,” ujarnya.
Maa khawatir apabila perusahan kelapa sawit beroperasi maka masyarakat adat akan kehilangan sumber kehidupan mereka. Menurut Maa setiap marga memiliki tanah adatnya, dan tidak diperbolehkan mengambil hasil hutan marga lainnya. Maa mengatakan kehadiran perusahaan ini membuat hubungan keluarga juga tidak harmonis.
“Kami punya tanah cuma sepenggal, tidak besar. Kalau jual kami tidak ada tempat makan. Kami tetap mempertahankan [tanah adat kami] walaupun bapak ade sudah tandatangan menerima perusahan,” katanya. (*)