Nabire, Jubi – Pada Sabtu, 12/9/2023 aksi mahasiswa baru kampus Universitas Satya Wiyata Mandala -Uswim Nabire, Papua Tengah yang mengggelar pawai sambil memegang benderà merah putih ramai jadi topik pembicaraan di dunia maya.
Seseorang mengunggah video klip di YouTube sehingga menarik perhatian orang. Ada pihak menuduh para mahasiswa baru itu sebagai kelompok ‘nasi bungkus’. Ada juga yang menyandingkan tradisi mahasiswa Uncen Jayapura yang kerapkali teriak Papua merdeka.
Pawai tersebut ramai diperbincangkan di berbagai platform media, WhatsApp group, Facebook dan YouTube. Sash satu warga bernama Aniyaoo yang mengaku diri sebagai alumni Uswim saat masih bernama STIA Mandala Nabire itu menuliskan di sejumlah group WhatsApp, mahasiswa dan mahasiswi Uswim kini memalukan almamater Satya Wiyata Mandala Nabire
Salah satu netizen bernama Wogaibi yang juga alumni kampus itu menuliskan di beberapa group WhatsApp. Menurutnya, mahasiswa Uswim zaman sekarang harus mencatat apa yang dirintis oleh alumi Uswim sebagai kampus terkemuka. Pada 1 Desember 2000 dibawah pimpinan Theys Hiyo Eluay mahasiswa Uswim terlibat dalam pengibaran bendera Bintang Kejora di taman Zoroka Nabire.
Ketika itu mahasiswa Uswim ambil bagian sebagai penggerek bendera Bintang Kejora sambil menyanyikan lagu “Hai Tanahku Papua” dalam upacara tersebut.
Pada tahun 2001 saat Presiden Megawati Soekarno Putri datangi Nabire, mahasiswa Uswim pernah memalang atau membuat blokade orang nomor satu Indonesia itu dengan satu spanduk besar bertuliskan Bintang Kejora. Semua mahasiswa wajib memegang bendera Bintang Kejora di depan gedung Karel Gobai yang berhadapan langsung dengan bandara Nabire. Mahasiswa bahkan mendesak Megawati cium bendera tersebut.
“Ingat, ini hanya yang bisa lakukan adalah mahasiswa Uswim dan kami memecahkan rekor yang pertama kali sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan West Papua. Saya rasa sedih dengan tingkah laku mahasiswa zaman sekarang, mentalnya lemah sehingga bisa dibayar dengan nasi kuning satu bungkus,” katanya.
Netizen lainnya menyindir dengan tulisan “mahasiswa buangan yang kuliah di situ jadi wajarlah. Mulai tahun ini anak anak selesai dari SMA lebih baik tidak usah kuliah di Uswim”.
Pios, warganet lainnya juga mengomentari pawai itu. Ia menuliskan kampus Uswim Nabire tak punya moralitas sehingga terjadi hal itu. Sementara mahasiswa di Jayapura sangat siap menyuarakan kebenaran dan aspirasi rakyat Papua yang terlantar, diduga oleh kolonialisme.
“Uswim Nabire saya harap bisa minta pemahaman kepada intelektual yang ada di sekitar anda, jangan jadi kampungan. Lebih baik belajar baik-baik supaya anda bisa menjadi manusia yang sempurna,” tulisnya.
Nago, netizen lainnya yang mengaku sebagai alumni menuliskan, dirinya tidak setuju dan mengecam mahasiswa Uswim Nabire. “Jangan bikin seperti mahasiswa kampungan, kamu tahu kamu adalah agen perubahan. Selagi ko disebut maha pikir setiap persoalan yang terjadi di daerahmu. Bukan pawai merah putih, itu sebenarnya tugas anak TK dan SD,” tulisnya.
Atas berbagai reaksi itu, wartawan Jubi langsung menemui rektor Uswim Nabire, Dr. Petrus Izaach Suripatty. Ia menegaskan pawai bendera merah putih tersebut hanya bentuk kontribusi terhadap pemerintah provinsi Papua Tengah. Terlebih pemerintah Kabupaten Nabire yang turut membangun perguruan terbesar yang ada di wilayah adat Meepago itu. Sehingga pihaknya melibatkan mahasiswa baru masuk, bukan mahasiswa yang lama.
Menurut dia, pihaknya melepaskan mahasiswa baru dari kampus guna pasang 1000 bendera menuju pantai Nabire. Itu merupakan bentuk solidaritas guna menyambut hari kemerdekaan HUT RI ke-78 tahun.
“Ini satu gerakan moral yang kami buat dengan anak-anak mahasiswa baru bahwa civitas akademik ini mempunyai kerinduan untuk berpartisipasi dalam pesta kemerdekaan Republik Indonesia di kabupaten Nabire,” kata Dr. Petrus Izaach Suripatty.
Menurut rektor, selama ini pemerintah daerah tidak ada kepedulian terhadap saran dan pra sarana kampus Uswim. Akan tetapi pihaknya tetap membangun daerah dengan mewisudakan anak-anak Papua.
“Sekalipun partisipasi Pemda tidak ada, kami lakukan gerak moral,” ucapnya.
Beberapa tahun lalu pihaknya pernah presentasi atas keberadaan kampus yang jadi langganan kebakaran di hadapan pemerintah Provinsi Papua induk. Namun sampai saat ini belum ada jawaban.
“Kami banyak berseru itu, banyak sampai ke provinsi. 7 tahun lalu pernah presentasi tetapi sampai saat ini belum ada jawaban sama sekali” ucapnya.
“Pemerintah Provinsi Papua Tengah juga kami ingin bertemu, cerita-cerita namun tidak ketemu dengan mereka. Beberapa waktu lalu Pj. Gubernur Papua Tengah kami berusaha bertemu dengan mereka tapi tidak bisa, Sekda saja tidak bisa. Jadi apa yang kami pawai itu mau sampaikan bahwa kami juga ada, maka harus perhatikan kami juga,” katanya. (*)