Timika, Jubi – Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat atau Pusaka, Franky Samperante menyebut ada 26 kasus dugaan pelanggaran kebebasan berekspresi yang terjadi di Tanah Papua sepanjang 2022. Hal itu menjadi bagian dari laporan Pusaka bertajuk “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran”.
Samperante menyatakan puluhan kasus pelanggaran kebebasan berekspresi terjadi dalam demonstrasi menolak kebijakan Otonomi Khusus Papua dan pembentukan Daerah Otonom Baru. Hal serupa juga terjadi dalam berbagai upaya menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di Tanah Papua.
Menurut Samperante, pelanggaran kebebasan berekspresi terjadi di Jayapura, Nabire, Merauke, Wamena, Jayawijaya, Manokwari, Kaimana dan Sorong. Ia menyatakan penyampaian pendapatan di Papua dihadapi dengan pembubaran, kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi oleh TNI/Polisi yang bertindak represif.
Ia menyatakan pelanggaran kebebasan berekspresi itu menyebabkan tiga korban meninggal dunia dan 72 orang luka-luka. Sejumlah 361 orang ditangkap secara sewenang-wenang. Ada 26 orang ditangkap dan menjalani proses hukum, dan 18 orang diantaranya dikenai pasal makar dengan ancaman penjara seumur hidup.
“Pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi paling serius dan berulang-ulang terjadi di Papua pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo,” kata Samperante dalam keterangan pers yang diterima Jubi, pada Rabu (3/5/2023).
Ia menyatakan penggembosan dan pemenjaraan terhadap hak kebebasan berekspresi akan berisiko merampas hak hidup dan tidak demokratis. Samperante juga menyatakan tindakan pembatasan kebebasan berekspresi melanggar jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pembatasan kebebasan berekspresi itu juga melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.
Sampetante menyatakan Pusaka meminta pemerintah dan aparat keamanan negara menghormati dan melindungi hak untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat secara damai, orang-orang yang menyuarakan hak menentukan nasib sendiri, hak sipil politik, hak sosial ekonomi dan budaya, dan/atau menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah nasional di Papua. Pemerintah juga diminta mengevaluasi pendekatan keamanan dalam penanganan dan pengendalian aksi protes di Tanah Papua.
Pemerintah diminta melakukan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran HAM, dan memulihkan hak-hak korban dan melakukan dialog damai yang efektif. Menurut Samperante, pendekatan keamanan dan operasi militer dalam penanganan konflik bersenjata saat ini menimbulkan hilangnya hak hidup, hak atas rasa aman damai, hak atas kesejahteraan ekonomi. “Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi dan memajukan HAM di Tanah Papua,” ujarnya. (*)