Wamena, Jubi – Puluhan mahasiswa yang targabung dalam Forum Komunikasi Koteka Sali atau FKKS kota studi Malang, Jawa Timur minta Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan menghentikan perampasan tanah adat dan ruang hidup masyarakat di wilayah tanah adat Welesi dan Wouma.
Hal itu dinyatakan dalam diskusi FKKS kota studi Malang yang digelar pada Sabtu (3/6/2023) malam, sesuai dalam rilis pers yang terima Jubi di Wamena pada Minggu (5/6/2023) malam, yang dikirim Koordinator Humas FKKS kota studi Malang, juga merupakan mahasiswa asal wilayah adat Welesi, Oim Lanny.
Dalam rilis pers dikatakan bahwa sejak pemerintah Indonesia memaksakan empat daerah otonomi baru (DOB) di Papua, di antaranya Provinsi Papua Pegunungan dengan ibukota di Kabupaten Jayawijaya, melalui Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Jhon Wempi Wetipo, memerintahkan dibawah kekuatan penjagaan ketat anggota TNI dan POLRI untuk menggusur lahan dan ruang hidup masyarakat adat di wilayah batas Wouma dan Welesi atas kesepakatan sepihak, yang dilakukan oleh oknum intelektual dari kedua wilayah tersebut.
Hal itu dinilai mambawa kepentingan jabatan politik tertentu oleh oknum intelektual dari wilayah adat Welesi karena dalam kesepakatannya itu hanya dilakukan hanya sepihak dari Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan bersama Wamendagri Jhon Wempi Wetipo tanpa melibatkan semua elemen masyarakat adat yang ada di wilayah tersebut sebagai hak pemilik ulayat.
Akibatnya, terjadi pro dan kontra sampai penolakan dari masyarakat adat dan mahasiswa dari wilayah adat Welesi dan Wouma dengan melakukan aksi demo serta pemalangan jalan saat Wamendagri Jhon Wempi Wetipo bersama Pj Gubernur Papua Pegunungan, Nikolaus Kondomo, beserta rombongan meninjau lokasi rencana pembangunan kantor gubernur pada 6 Februari 2023 lalu.
Atas nama lima kepala suku wilayah adat Welesi yakni suku Yelipele, Lanny Matuan, Assolipele, Yelipele Elopere, dan Lanny Wetapo membentuk Tim Peduli Pembangunan Wilayah Adat Welesi. Hasil kesepakatan melalui tim tersebut awalnya telah menyerahkan 72 Hektar tanah adat di wilayah Mulinai-Iluagec yang merupakan batas wilayah antara Welesi dan Wouma.
Dengan perjanjian kontrak politik antara pihak hak pemilik ulayat tanah dan Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan yang isinya di antara lain: “Jika tanah adat Welesi dipakai untuk pembangunan kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan, maka pihaknya meminta setiap tahun dalam setiap penerimaan pegawai menjadi prioritas utama dan harus ada jatah kursi DPRD, MRP, serta beasiswa untuk mahasiswa asal wilayah adat Welesi.
Kemudian pada 6 Februari 2023, Wamendagri Jhon Wempi Wetipo, saat ke Wamena kemudian langsung ke Welesi untuk ketemu dengan tim dan meninjau lokasi, awalnya rencana hibah 72 hektar tanah, kemudian saat itu secara sepihak berubah menjadi 108,8 hektar, karena menurut Wetipo jika hanya 72 hektar sangat kecil dan tidak cukup untuk bangun kompleks kantor gubernur.
Wamendagri minta tambahan sehingga dari 72 hektar menjadi 108,8 hektar.
Pada Jumat, 26 Mei 2023, dalam kunjungan Wamendagri saat kembali meninjau lokasi, terjadi aksi penolakan oleh Lintas Aliansi Wouma, Welesi, dan Assolokobal dibawah pimpinan Benyamin Lagowan sebagai koordinator aksi.
Aksi menolak ini dengan alasan di wilayah tersebut sebagai tanah produktif yang selama ini digunakan oleh masyarakat untuk mencari makan dan tempat untuk berkebun.
Selain itu, dalam rilisnya, FKKS menilai bahwa tindakan yang dilakukan pemerintah melalui perpanjangan tangan Wamendagri bersama oknum intelektual tersebut, sangat politis dan tidak bertangung jawab jika dilihat dalam konteks masyarakat adat.
Sistem kepemilikan tanah bukan sebuah property yang hanya bisa dimiliki oleh individu tertentu kemudian bisa dinegosiasikan secara ekonomi. Kepemilikan tanah selalu bersifat kolektif, yang tidak bisa diputuskan secara sepihak oleh siapapun.
“Dengan mengingat kehidupan masyarakat dari wilayah adat Welesi dan Wouma maupun di wilayah Lapago pada umumnya serta dengan mengingat nasib anak cucu di masa akan datang, kami yang tergabung dalam Forum Komunikasi Koteka Sali atau FKKS se Malang Raya menyatakan sikap sebagi berikut, pertama, menolak penempatan lokasi pembangunan kantor gubernur di wilayah adat Welesi dan Wouma. Kedua, menolak sertifikasi tanah adat di wilayah Welesi dan Wouma. Ketiga, Wamendagri Jhon Wempi Wetipo tidak mempunyai hak apapun di atas tanah adat di wilayah Welesi,” kata Oim Lanny.
Keempat, TNI/POLRI stop mengintimidasi terhadap masyarakat adat Welesi dan Wouma. Kelima, memberikan kebebasan berpendapat bagi masyarakat adat. Keenam, menolak perampasan tanah ada di seluruh wilayah Lapago dan Papua pada umumnya.
Ketujuh, pemerintah wajib taat hukum adat dan memenuhi hak-hak masyarakat adat. Kedelapan, Tim Peduli Pembangunan Wilayah Adat Welesi stop memanfaatkan masyarakat untuk kepentingan jabatan dan kekuasaan.
Kesembilan, segera cabut penandatanganan sepihak atas nama lima suku dari wilayah adat Welesi bersama Wamendagri Jhon Wempi Wetipo.
Kesepuluh, menolak keras pembangunan dalam bentuk apapun di Welesi dan Wouma di lahan yang masih produktif untuk berkebun. Kesebelas, segera tarik militer organik dan non organik di Tanah Papua. Keduabelas, TNI/POLRI wajib menaati hukum humaniter saat operasi militer di Nduga. Ketigabelas, berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua. (*)