Makassar, Jubi – Sidang lanjutan perkara pelanggaran HAM Paniai di Makassar, menghadirkan tiga orang saksi ahli pada Senin pekan ini (17 Oktober 2022). Hingga sidang ke-7 ini, Jaksa Penuntut Umum telah menghadirkan 27 orang saksi. Masing-masing 11 saksi dari unsur Polri. Sebanyak 11 saksi dari TNI. Dan dua warga sipil yakni mantan Kepala Distrik Paniai Timur dan anggota DPR Papua.
Perkara kasus pelanggaran HAM Berat di Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Peristiwa itu menewaskan empat orang laki-laki dari warga Paniai dan melukai sepuluh orang lainnya. Sidang ini mendakwa satu tersangka tunggal, Mayor (Purn) Isak Sattu, yang saat itu menjabat sebagai Perwira Penghubung.
Dua saksi dari latar belakang akademisi yang hadir adalah Diajeng Wulan Crhistanti, dosen Hukum Hak Asasi Manusia dan Humanitarian Internasional, Universitas Padjajaran. Serta Brigjen (Purn) Wahyu Wibowo, dosen Hukum Militer, Sekolah Tinggi Hukum Militer.
Dalam persidangan itu Diajeng, menjabarkan garis komando dalam militer sangat jelas. Jadi setiap pimpinan, harus mengetahui apa yang akan dan setelah terjadi. “Jadi pemimpin militer, ada elemen, seharusnya dia tahu. Itu berbeda dengan atasan sipil, elemen dia bisa tidak mengetahui, itu bisa,” katanya.
Bagi Diajeng, salah satu unsur utama dalam militer adalah garis atasan-bawahan. Serta komando yang dinyatakan gagal. Pimpinan di lapangan baik secara de facto dan de jure, memiliki pertanggung jawaban yang sama.
Terkait peristiwa pelanggaran HAM di Paniai, Diajeng menyatakan harus melihat unsur sistematis dan meluas. Jika salah satu unsur tidak ada, maka salah satunya harus dapat dibuktikan.
Di Paniai Timur pada 8 Desember 2014, peristiwa berdarah yang menewaskan empat orang di lapangan Karel Gobay terjadi ketika ratusan orang melakukan unjuk rasa dan protes. Pemicunya, karena dalang pemukulan pada beberapa anak muda malam 7 Desember 2014, tak ditemukan. Massa kemudian melempar kantor Polsek Enarotali dan kantor Koramil.
Hakim anggota ad hoc, Siti Noor Laila, kemudian meminta penjelasan bagaimana seharusnya batasan dalam upaya pembelaan diri.
“Seharusnya mereka (TNI dan Polri) sudah tahu, untuk melakukan penanganannya,” kata Diajeng.
Bagi Diajeng, meletakkan peristiwa pada 8 Desember 2014 sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan tidak lah cukup. “Harus ditemukan senjata dan harus melihat bagaimana pola yang dilakukan dalam kejadian itu,” lanjutnya.
Jika pemimpin teratas seperti Komandan Koramil tidak di tempat saat kejadian, maka dia tidak serta merta menjadi terbebas. Seharusnya, para penyidik melihat, apa yang dilakukan komandan itu ketika pulang, sebab pertanggung jawaban atas kemanusiaan itu tidak memiliki batasan tingkatan. Pertanggung jawaban komando di Indonesia itu dibedakan antara TNI dan Polri. Polisi dalam aturan perundang-undangan Indonesia menyatakan mereka ada atasan pemimpin sipil. Jadi bisa beberapa kejadian dan peristiwa bisa bukan komandan.
Dalam keterangan jaksa kemudian, peristiwa Paniai berdarah meluas, tapi tidak sistematis.
Tapi Diajeng mengingatkan mengenai perlakuan yang proporsional. Jika warga menggunakan batu, maka respons aparat tidak seharusnya menggunakan senjata api. “Itu tidak berimbang,” katanya.
“Tapi pelemparan dari masyarakat dan sudah melukai anggota Koramil, apakah itu belum bisa dikatakan sebagai ancaman nyata,” kata Syarir Cakkari, kuasa hukum terdakwa Isak Sattu.
“Saya malah mau bertanya pada militer, apakah mereka memahami R.O.E (Rule of Engagement) atau Aturan Pelibatan. Apakah mereka memahami ROE dalam keadaan tidak perang?,” kata Diajeng.
“Jangan-jangan mereka tidak dapat ROE itu. Dan mereka sendiri tidak terlatih, karena ROE itu saja tidak cukup, tapi harus dilatih dan dipahami hingga bawahan. Kalau itu tidak diturunkan komandan hingga ke bawahan maka itu juga harus dipertanggung jawabkan,” lanjut Diajeng.
Dalam pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menyatakan bila subjek hukum yang harus bertanggung jawab ialah individu dan komando individu itu. Aturan inilah yang membedakannya dengan kejahatan atau kriminal biasa.
Saat keadaan damai, ROE yang diberlakukan di daerah rawan, haruslah benar-benar bisa dipraktikkan. Bagaimana militer memandang penduduk sipil dalam hukum internasional. Ketika majelis hakim meminta pandangan Diajeng, pada kasus Paniai, mengenai keberadaan penduduk sipil.
“Penduduk sipil, biasanya mereka yang tidak aktif dalam peperangan. Batasannya adalah aktif dan tidak aktif,” kata Diajeng.
Sementara Brigjen (Purn) Wahyu Wibowo mengatakan, dalam kasus Paniai berdarah keberadaan Perwira Penghubung (Pabung), yang tidak masuk dalam struktur kesatuan Koramil, dapat memberikan pendapat dan masukan.
Namun, secara pangkat, Pabung dengan pangkat Mayor dan Komandan Koramil yang berpangkat Kapten, seharusnya juga patuh. “Secara pangkat yang tertua (lebih tinggi), pengambil alihan komando bisa dilakukan oleh Pabung, kalau pemimpin de facto tidak, maka dengan status de jure, bisa,” kata Wibowo.
Wibowo juga mengungkapkan, jika dalam kondisi aksi massa di lapangan Karel Gobay, hingga melakukan pelemparan dan aksi depan pagar Koramil Eranotali, sikap prajurit harusnya masih dapat dikontrol. “Kalau saya harusnya tembakan peringatan ke atas saja. Kalau ada yang tidak mengikuti perintah itu, maka dianggap sebuah penyimpangan,” katanya.
“Untuk pembubaran aksi, seharusnya prajurit TNI berkoordinasi dengan Polri karena ini mengenai aksi. Dan ketika itu dilakukan, maka TNI harus mengikuti aturan pengamanan dari kepolisian,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Wibowo juga mengungkapkan seharusnya dalam kasus pelanggaran HAM terdakwa tidaklah tunggal. “Harusnya komandan de jure juga bertanggung jawab, sebab dalam kategori ini unsurnya adalah sistemik dan meluas,”
“Saya kira Pabung dalam struktural tidak punya kewenangan untuk menyerahkan prajurit yang dianggapnya bersalah. Itu harus dari komandan institusi.”
Bagi Wibowo, jika melihat peristiwa pada 8 Desember 2014, seharusnya yang bertanggung jawab adalah komandan de jure, baik TNI dan Polri. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!