Jayapura, Jubi – Sebanyak 16 koordinator sopir angkutan kota konvensional se-Kota Jayapura didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mendatangi Kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Papua di Jalan Raya Abepura-Waena, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua pada Senin (6/5/2024).
Mereka melakukan aksi unjuk rasa menuntut janji Dishub Papua merealisasikan kesepakatan tiga pihak antara Dishub Provinsi Papua, sopir angkutan kota konvensional yang di Papua disebut taksi, dan taksi online.
“Pemerintah seolah-olah melakukan pembiaran taksi online berlarut-larut dari kesepakatan kita. Kalau mau menghilangkan angkutan konvensional beritahu ke kami, jangan diam saja,” ujar salah satu koordinator sopir taksi saat melakukan orasi di depan Kantor Dishub Papua.
Ia mengatakan kebanyakan taksi online adalah mobil pribadi yang sebelumnya parkir di rumah. Tapi karena ada aplikasi Grab dan Maxim mereka mendaftar. “Mereka parkir di badan-badan jalan, di tempat-tempat ramai secara ilegal,” ujarnya.
Perwakilan sopir angkutan kota lainnya menyampaikan, para sopir sudah sejak tiga tahun lalu berjuang dan sudah dilakukan beberapa kali pertemuan. Karena tidak ada hasil, kini para sopir butuh tindakan nyata supaya ada rasa keadilan bagi sopir angkutan. Dia meminta agar Dihub tidak hanya mendengar.
“Kita datang tagih janji-janji yang disepakati setiap pertemuan ke pertemuan itu. Hari ini harus ada kepastian atas perjuangan ini, supaya kita pulang bisa pertanggungjawaban kepada anggota kami, karena kami selalu ditanya terus dari bawah,” katanya.
Koordinator sopir Trayek J1 J2 Waena Laode Hiasi mengatakannya pihaknya datang untuk meminta kepastian realisasi kesepakatan dengan Kepala Bidang Darat, Dinas Perhubungan Provinsi Papua. Pihaknya ingin ada rasa keadilan bagi para sopir.
“Salah satu kesepakatan itu, soal tarif untuk taksi online harus lebih tinggi dari angkutan konvensional,” ujarnya.
Laode mengatakan beberapa pertemuan sudah dilakukan dari tiga tahun lalu, namum sampai saat ini belum ada titik terangnya. Menurutnya kasusnya seperti dibiarkan mengambang begitu saja. Ketika pihaknya bertemu Dinas Perhubungan Kota Jayapura disuruh ke Dinas Perhubungan Provinsi Papua, Karena kendaraan online menyangkut urusan dengan Dinas Perhubungan Provinsi.
“Pemerintah kayak malas tahu dengan permasalahan ini, padahal ketergantungan hidup kami memang di sini,” ujarnya.
Koodinator Trayek Dok IX Jamali mengatakan Dishub Provinsi Papua pernah menyampaikan sesuai kajian mereka mengetahui kapasitas taksi online sejumlah 300 taksi. Masing-masing 100 unit taksi online beroperasi di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Keerom.
“Kami minta kepada pemerintah tolong tertibkan dan berlakukan tarif itu sesuai kesepakatan kita itu,” ujarnya.
Kepala Bidang Perhubungan Darat, Dinas Perhubungan Provinsi Papua Rehin Johan Sahepaty usai menemui 16 koordinator trayek se-Kota Jayapura itu mengatakan para koordinator sopir menyampaikan aspirasi terkait taksi online yang menurut mereka tidak memiliki izin.
“Dalam forum tadi kami tegaskan, sebagian taksi online sudah berizin, itu melalui badan usaha yang bermitra dengan badan usaha aplikator Maxime dan Grab,” katanya.
Ia mengatakan yang menjadi persoalan adalah ada taksi-taksi online yang di luar koperasi yang melakukan kemitraan dengan aplikator. Hal itu, kata Rehin, sulit mendeteksinya sehingga pihaknya agak kesulitan untuk menindak hal-hal seperti itu. Namun dalam kesepakatan tadi, tambahnya, jika sopir taksi angkutan konvensional menemukan ada taksi online yang beroperasi tanpa ada izin bisa melaporkan ke Dinas Perhubungan Provinsi Papua.
“Kita sama menyepati bahwa taksi online yang tidak berizin, kalau ditemukan itu sampaikan saja ke Dinas, sebagai instansi pembina kami akan menindaklanjuti kepada aparat penegak hukum,” katanya.
Staf LBH Papua Teinhart Kmur selaku kuasa hukum sopit angkutan kota atau taksi konvensional mengatakan kehadiran taksi online di Kota Jayapura meresahkan sopir-sopir taksi konvensional yang selama ini pendapatan atau pemasukannya kecil, namun harus memenuhi semua pajak, baik trayek hingga kendaraan, maupun Surat Izin Mengemudi.
“Tapi taksi online tidak membayar trayek yang menunjukkan adanya diskriminasi dalam penegakan hukum kebijakan lalu lintas dan angkutan umum jalan raya,” ujarnya.
Reinhart mengatakan sebagian taksi online yang beroperasi itu merupakan mobil-mobil rental yang dikirim dari luar Papua hanya untuk dijadikan taksi online.
“Ada lagi mobil pribadi yang pakai aplikasi kandaraan online sebagai pekerjaan sampingan. Kadang hari libur mereka manfaat di situ. Semua ini mesti dideteksi dengan baik agar sopir angkutan konvensional tetap ada,” katanya. (*)
Discussion about this post