Jayapura, Jubi –Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay mengatakan pembangunan Rumah Sakit Unit Pelayanan Terpadu (RS-UPT) Vertikal Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua melanggar beberapa aturan dan berpotensi bermasalah dari segi lingkungan.
Selain lokasi itu tempat resapan air dan memiliki sungai bawah tanah yang terhubung dengan debit air Danau Sentani, lokasi itu juga bukan kawasan yang diperuntukkan bagi rumah sakit, dan dalam memproses Amdal juga tidak melibatkan masyarakat.
Gobay menyampaikan hal itu pada diskusi tentang dampak pembangunan RS-UPT Vertikal Papua yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) USTJ di Aula USTJ pada Kamis (29/2/2024).
Menurut Gobay, Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2014 Tentang Tata Ruang Wilayah 2013-2033 mengatur bahwa khusus di wilayah resapan air tersebut tidak boleh ada pembangunan.
“Dengan dasar itu kita bisa lihat kesalahan. Ada kesalahan di mana letak tempat pembangunan Rumah Sakit UPT Vertikal Papua itu adalah tempat resapan air,” ujarnya.
Kemudian, tambahnya, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia yang mengatur tentang pembangunan rumah sakit, dijelaskan bahwa rumah sakit tidak boleh dibangun pada kawasan yang tidak diperuntukkan bagi rumah sakit.
“Hal menarik lainnya yang harus diketahui adalah Menteri Kesehatan Republik Indonesia bekerja sama dengan Universitas Cenderawasih, yang pasti mereka mengetahui peraturan-peraturan tersebut, namun mereka tetap mengambil kebijakan itu,” ujarnya.
Kemudian proses Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) pembangunan rumah sakit itu. Menurut Gobay proses Amdal yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak sesuai dengan UU No. 32 tahun 2009, di mana masyarakat diwajibkan terlibat dalam merumuskan Amdal.
Ia juga menyorot pembangunan rumah sakit itu juga berpotensi merusak lingkungan di sekitar wilayah Konya yang akan berdampak kepada seluruh masyarakat Kota Jayapura.
“Area resapan air di lokasi RS-UPT Vertikal Papua adalah tempat penampung air bawah tanah dari beberapa titik lokasi di Organda Padang Bulan, Waena dan Perumnas Empat,” ujarnya.
Kemudian ditampung di lokasi pembangunan rumah sakit itu. Dari situ akan berlanjut ke Kotaraja dan Pasar Youtefa.
Ada beberapa sungai bawah tanah yang mengalirkan air ke Sungai Emereuw. “Dari Padang Bulan itu ada sungai bawah tanah yang kemudian keluar di Organda, lalu masuk ke Lembah Emereuw,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Gobay, air bawah tanah di Taman Makam Pahlawan berasal dari Danau Sentani.
“Bila kita perhatikan kondisi air Danau Sentani itu selalu normal, tidak membanjiri beberapa kampung di seputaran Danau Sentani, itu terjadi karena beberapa pembuangan air di Danau Sentani itu, selain melalui sungai yang ada di permukaan, ada juga sungai bawah tanah tersebut, yang turut mengurangi debit air danau,” ujarnya.
Karena itu, kata Gobay, ada kemungkinan dari Yoka sampai ke Padang Bulan ada banyak sungai bawah tanah. Jika hal itu benar maka penyumbatan yang dilakukan Rumah Sakit Unit Pelayanan Terpadu Vertikal Papua akan berdampak vatal.
“Di mana sewaktu-waktu jika debit air Danau Sentani naik, itu akibat penyumbatan yang terjadi dari dampak pembangunan RS-UPT Vertikal Papua, itu akan membahayakan beberapa wilayah sekaligus di Kota Jayapura,” ujarnya.
Pertanyaan selanjutnya, kata Gobay, apakah nanti pengolahan limbah di Rumah Sakit UPT Vertikal Papua itu akan memperhitungkan sungai bawah tanah tersebut.
Kemudian sampah yang tergenang dan tertampung di wilayah Konya saat ini, itu juga melanggar HAM dalam konteks tempat tinggal yang layak. Dengan adanya sampah yang dikelola oleh pemerintah, ini kemudian membuktikan bahwa ada pelanggaran UU No. 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah yang tidak dilakukan secara profesional dan terpadu oleh Pemerintah Kota Jayapura.
“Satu hal lagi, apakah Balai Sungai Provinsi Papua juga melihat fakta ini atau tidak?” ujarnya.
Kalau seandainya, kata Gobay, mereka sudah melihat dan hanya diam, berarti ini adalah sebuah rencana sistematik dan struktural untuk mengorbankan hak ekonomi sosial dan budaya.
“Khususnya budaya warga negara, terlebih khusus lagi warga di Konya yang terdiri dari 50 kepala keluarga,” ujarnya. (*)