Jayapura, Jubi – Lebih dari 10.000 warga Papua Barat di Provinsi Barat, Papua Nugini atau PNG memperingati 40 tahun perjalanan perjuangan dan kesulitan mereka hingga saat ini. Minggu ini menandai perayaan 40 tahun sejak mereka tinggal di PNG, 1984 hingga 2024.
“Masyarakat Papua Barat di Stasiun Iowara, di Kamp Timur di Distrik North Flay merayakan dengan damai,” demikian dikutip Jubi dari postcourier.com.pg, Selasa (9/4/2024).
Lebih lanjut Post Courier melaporkan anak-anak, pria dan wanita berkumpul di Stasiun Iowara di Kamp Awin Timur, pinggiran Kampung Drimdamesuk di sepanjang Sungai Fly merayakan hari jadi mereka yang ke-40 tahun.
Perayaan tersebut bertujuan memberikan apresiasi kepada para pemimpin Provinsi Barat, Distrik North Fly dan Pemerintah Papua Nugini secara keseluruhan karena telah menempatkan mereka di Stasiun Iowara sejak 1984 melalui Departemen Pemerintahan Provinsi dan Daerah (DPLG).
Sebelumnya Post Courier juga mengutip pernyataan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk pengungsi Papua Nugini dalam laporannya waktu itu yang mengakui kalau orang-orang Papua Barat di Awin Timur sebagai pengungsi. Papua Barat (West Papua) adalah penyebutan politis untuk seluruh provinsi di Tanah Papua.
Laporan kala itu menyebutkan terdapat sekitar 10.400 pengungsi Papua Barat yang tinggal di Awin Timur dan di tempat lain di Papua Nugini, khususnya di Port Moresby, Manus, dan kamp-kamp perbatasan lainnya.
Tewasnya Arnold Ap dan pengungsian besar-besaran
Tewasnya seniman dan budayaan Papua, Arnold Clemens Ap di Pantai Base G Pasir Enam Kota Jayapura pada 26 April 1984 telah menyulut terjadinya pengungsian besar-besaran warga Papua Barat dari Kota Jayapura menuju Papua Nugini.
Dalam pengungsi tersebut terdapat keluarga almarhum istri Arnold Ap, Corrie Ap Boekorpioper dan empat putranya. Putra bungsunya lahir di kamp pengungsi di perbatasan Papua Nugini kala itu. “Kami lari hanya dengan baju di badan tanpa membawa apa apa,” kenang Corrie Ap yang saat ini menetap di Den Haag, Negeri Belanda.
Kematian dua bersaudara, Arnold Clemens Ap dan Eduard Mofu, pemain ukulele dari Group Mambesak yang dibunuh pasukan elit Indonesia kala itu, telah membuat ribuan warga Papua Barat melarikan diri ke PNG.
Sampai sekarang mereka masih menetap di sepanjang perbatasan di Provinsi Barat PNG, dekat Provinsi Papua Selatan, Papua. Sementara yang lainnya tinggal di Belanda sampai sekarang, ada pula yang menetap di kamp-kamp ibukota PNG, Port Moresby.
Majalah Tempo edisi 9 Juni 1984 juga melaporkan rombongan pengungsi dari Irian Jaya kala itu dianggap’ kelas berat’ karena terdiri dari orang orang yang kesadaran politiknya kuat. “Beberapa di antara mereka adalah bekas dosen dan mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) dan juga bekas anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang desersi,” tulis Tempo.
Bagi pemerintah PNG kala itu kehadiran sekitar 7.000 warga Papua Barat yang tercatat melintasi perbatasan dan menetap di sana pada April 1984 sebagai beban berat.
“Masalah dana memang memusingkan tetapi itu tidak terlalu mutlak, karena di samping uang dari pemerintah PNG, ada sumbangan pemerintah Indonesia, Gereja Katolik, Komisi Tinggi untuk Masalah Pengungsi (UNHCR), dan beberapa organisasi sosial lainnya,” tulis Tempo kala itu.
Warga Negara PNG
Sementara itu, tidak semudah membalikan telapak tangan untuk mengajukan diri menjadi warga negara di Papua Nugini. Hal ini berbeda dengan Djoko Sugiarto Tjandra, buronan kasus hak tagih Bank Bali yang pernah jadi warga negara PNG hingga akhirnya ditangkap.
Para pengungsi dari Papua Barat harus menanti selama 30 tahun untuk menjadi warga Negara PNG. Lebih dari seribu warga Papua Barat di Port Moresby yang tinggal di pemukiman Rainbouw, Hola, dan Wigan baru memperoleh status warga negara Papua New Guinea (PNG). Bahkan hampir semua warga Papua Barat yang sudah menjadi warga negara di PNG harus menunggu hampir 40 tahun.
Pengungsian terbesar orang-orang Papua Barat terjadi pada April 1984. Tercatat sekitar 7.000 ribuan warga mengungsi kala itu. Selanjutnya pada peristiwa 1977 banyak warga Papua Barat melintasi perbatasan di PNG.
Mendiang Demianus Katagame menuturkan mereka berjalan kaki dari Timika setelah Kwamki Lama di Timika dibakar selama tiga bulan hingga tiba di Ok Tedi, PNG. “Kami tinggal di sana sampai keadaan aman, baru pulang ke Timika,” katanya kepada jubi.id kala itu.
Jubi mencatat orang tua dari Sincha Dimara, jurnalis Papua Barat di Port Moresby, termasuk orang Papua pertama yang pindah ke Papua Nugini sebelum kemerdekaan PNG 16 September 1975. Mereka pindah pada 1963. Sebelumnya ada pula mahasiswa kedokteran Papua Barat yang kuliah di Papua Medical College di Port Moresby, antara lain dr Hein Danowira (alm), dr Peter Pangkatana, dr Chris Marjen (alm), dr Saweri, dr Suebu, dan dr Fiay.
Begitu pula dengan mahasiswa yang belajar Telekomunikasi di Lae. Hein Wanma dan Mr Sarwom, termasuk pula keluarga dari mantan wartawan Post Corier dan kini menjadi koresponden jurnalis Benar News di Port Moresby, Herlyne Yoku.
Generasi kedua dari pengungsi pertama di Papua Nugini sukses dan berhasil di Papua Nugini, termasuk keluarga Wanma. Ada yang menjadi kapten pilot, teknisi pesawat dan perwira menengah dengan pangkat mayor angkatan darat di Papua Nugini. (*)
Discussion about this post