Jayapura, Jubi – Hari ini Selasa, 24 September 2024, menandai hari peringatan 171 tahun pencaplokan Kaledonia Baru oleh penjajah Prancis.
Hal ini dilaksanakan atas perintah Napoleon III, Laksamana Muda Février-Despointes secara resmi mengambil alih pulau utama Grande Terre pada 1853, dalam sebuah upacara di dekat misi Katolik di Balade: “Sejak hari ini, tanah ini adalah milik Prancis dan bagian dari wilayah nasionalnya”, demikian dikutip jubi.id dari https://islandsbusiness.com, Selasa (24/9/2024).
Sebaliknya bagi kaum nasionalis Kanak, peringatan 24 September dianggap sebagai hari berkabung Nasional Bangsa Kanak. Pasalnya Prancis melanjutkan pemerintahan kolonialnya hingga abad ke 21.
Namun, setelah penandatanganan Perjanjian Noumea pada Mei 1998, Pemerintah Kaledonia Baru mencoba mengubah makna hari tersebut.
Politisi seperti mendiang Dewe Gorode, sebagai Menteri Kewarganegaraan dan Kebudayaan, berharap hari itu dapat menjadi hari bagi warga Kaledonia Baru untuk berbagi “nasib bersama” mereka sebagai warga negara dari masyarakat multikultural, sambil merayakan budaya dan identitas Kanak.
Pada Selasa, 24 September, peringatan itu datang setelah lebih dari empat bulan kerusuhan dan bentrokan antara aktivis kemerdekaan Kanak dan polisi. Dengan 13 kematian, ekonomi hancur dan sikap masyarakat terpolarisasi di ibu kota Noumea, tidak banyak yang bisa dirayakan.
Sejak pertengahan Mei, masyarakat di seluruh Kaledonia Baru telah menjalani jam malam. Minggu lalu, menjelang peringatan tersebut, Komisaris Tinggi Prancis Louis Le Franc memperpanjang jam malam hingga pukul 6 sore dan 6 pagi, dengan harapan bahwa penutupan selama 12 jam pada malam hari antara tanggal 21-24 September akan mencegah terjadinya protes.
Menjelang peringatan 24 September, 700 polisi tambahan diterbangkan ke Kaledonia Baru, menambah lebih dari 5.000 polisi yang telah dikerahkan, untuk menghentikan protes publik pada hari itu.
![171 tahun pencaplokan Prancis di atas tanah adat orang Kanaky 2 Tambang di Kanaky](https://jubi.id/wp-content/uploads/2024/09/4MS7SPO_image_crop_103309.webp)
Ketegangan semakin meningkat dalam beberapa hari terakhir, setelah polisi menembak dan membunuh Johan Kaidine, 29 tahun, dan Samuel Moekia, 30, di suku Saint Louis pada 19 September.
Polisi menyerbu suku tersebut sebelum fajar menyingsing, dengan harapan dapat menangkap belasan orang yang dituduh melakukan kejahatan kekerasan dan perampasan mobil. Bentrokan terjadi antara polisi dan aktivis Kanak. Seperti yang terjadi pada Juli, ketika polisi menembak dan membunuh Rock “Banane” Wamytan di Saint Louis. Pejabat dan “diplomat Prancis menyalahkan aktivis Kanak karena melepaskan tembakan terlebih dahulu, dan polisi menembak mati mereka sebagai balasan.”
Jaksa penuntut umum Prancis Yves Dupas mengumumkan “tampaknya, dari penyelidikan awal, selama manuver yang dilakukan dengan menggunakan kendaraan lapis baja di jalan provinsi, polisi bergerak diduga menjadi sasaran beberapa tembakan.
Dalam konteks konfrontasi, seorang polisi dari Groupe d’Intervention de la Gendarmerie Nationale [GIGN, unit paramiliter elit ] melepaskan dua tembakan, sementara kendaraan lapis baja itu mendekat dan polisi yang sedang melakukan misi pengamatan akan langsung diancam oleh sekelompok orang bersenjata.”
Dupas mengatakan bahwa “tembakan pertama polisi mengenai seorang pria berusia 30 tahun yang bertugas sebagai penembak jitu, yang terluka di sisi kanan. Tembakan kedua mengenai dada seorang pria berusia 29 tahun. Kedua korban tewas tersebut merupakan subjek surat perintah penggeledahan tertanggal 18 dan 29 Juli 2024, di antara 13 orang yang diselidiki, dicari, dan ditemukan di Saint Louis.”
Namun, kedua kematian tersebut memicu kemarahan dari gerakan kemerdekaan Front de Libération Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS), dengan pernyataan yang menegaskan “kemarahan dan kesedihan mendalam atas peristiwa tragis yang terjadi pagi ini di tanah adat suku Saint Louis, komune Mont-Dore, tempat dua pemuda Kanak ditembak mati oleh polisi.
FLNKS mengutuk penggunaan kekuatan yang tidak proporsional oleh otoritas negara yang mengungkap praktik kolonial. Tindakan ini hanya memperburuk situasi di lapangan dan menghambat prospek solusi damai.”
“FLNKS menyerukan kepada seluruh penduduk untuk tidak menyerah pada kekerasan, meskipun mereka menderita dan menghadapi provokasi,” kata pernyataan itu.
“Hari ini, lebih dari sebelumnya, perdamaian dan keadilan harus menjadi pedoman tindakan kita, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas negara kita. FLNKS mengecam metode biadab dan memalukan yang digunakan oleh polisi, yang tidak ragu-ragu melakukan eksekusi mati terhadap salah satu anak muda yang dimaksud.”
Bagi para penentang kemerdekaan, ada dukungan kuat untuk intervensi polisi terhadap suku Saint Louis, yang digambarkan di media sosial sebagai “sarang teroris” yang telah memblokir jalan dari ibu kota ke kota terpencil Mont Dore selama empat bulan. Namun, bagi banyak pendukung kemerdekaan, operasi polisi ke tanah adat di cagar suku merupakan bagian dari militerisasi konflik yang lebih luas.
Untuk memahami mengapa Saint Louis menjadi tempat yang menarik, penting untuk memahami sejarah kolonial daerah tersebut, hanya 17 kilometer dari pusat Noumea ibukota Kaledonia Baru.
Cagar alam Saint Louis dan La Conception dibentuk setelah bentrokan pada abad ke-19 antara suku-suku asli Kanak dan militer Prancis di utara Kaledonia Baru.
Setelah menumpas pemberontakan tahun 1878 oleh Kepala Suku Ataï, pasukan Prancis membantai ratusan penduduk orang-orang Kanak. Untuk menghindari pembalasan dari suku-suku yang masih menentang agama Kristen, para misionaris Katolik melarikan diri dari kota-kota utara Pouebo dan Balade ke ibu kota Noumea, membawa serta orang-orang Kanak yang telah beralih ke agama Barat.
Suku Kanak pertama yang “dipindahkan” ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pekerja lapangan untuk misi Ave Maria di Saint Louis. Kemudian, suku Kanak lainnya datang dari berbagai daerah di pulau utama untuk memperkuat tenaga kerja misi.
Sejak tahun 1960-an, ketika orang-orang bermigrasi dari Wallis dan Futuna untuk bekerja di industri nikel yang sedang berkembang pesat di Kaledonia Baru, keluarga-keluarga Wallis juga menetap di tanah dekat gereja di Saint Louis.
Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, ketegangan dalam klan Kanak dan komunitas pemukim lainnya meletus menjadi kekerasan, dan Saint Louis mengalami masa kekacauan yang mirip dengan saat ini. Saat itu, ada dua kepala suku tinggi di komunitas tersebut: Robert Moyatea, pendukung setia partai anti-kemerdekaan RPCR, dan Roch Wamytan, anggota Union Calédonienne, partai terbesar dalam gerakan kemerdekaan FLNKS. Sebagai kepala suku Négrah, dari tahun 1983 hingga kematiannya pada 2017, Moyatea menjabat sebagai Kepala Suku Tinggi Mont Dore, yang akan digantikan oleh putranya Adolphe pada 2021.
Pada tahun-tahun setelah penandatanganan Perjanjian Noumea 1998, perbedaan politik antara RPCR dan FLNKS menutupi pertikaian adat, yang berkontribusi terhadap konflik di Saint Louis pada awal 2000-an. Pada 2001, terdapat 171 keluarga Wallisian yang tinggal di tanah yang dialokasikan oleh gereja Katolik. Ketika ketegangan meningkat dengan klan Kanak, setengah dari keluarga Wallisian ini dipindahkan selama tahun berikutnya, tetapi banyak yang tetap tinggal di dekat gereja, karena tidak ada perumahan umum yang dapat ditemukan untuk mereka di ibu kota.
Pada Juni 2003, setelah kasus adat (rumah Kanak) dibakar, kelompok-kelompok yang bermusuhan di Saint Louis saling tembak-menembak dan polisi bergerak maju dengan menembakkan gas air mata.
![171 tahun pencaplokan Prancis di atas tanah adat orang Kanaky 3 Protes](https://jubi.id/wp-content/uploads/2024/09/441581509_930601282406226_5007471682782103321_n.jpg)
Lima orang terluka, termasuk seorang biarawati dan seorang polisi. Pada bulan Agustus tahun itu, polisi melancarkan serangan besar-besaran ke Saint Louis. Lebih dari 250 polisi Prancis memasuki kampung tersebut sebelum fajar, didukung oleh kendaraan lapis baja dan dua helikopter, menangkap orang-orang dan menyita senjata.
Jean-Charles Nemoadjou, anggota dewan kepala suku Mont Dore mengatakan bahwa operasi polisi tersebut memperparah kemarahan kaum muda di semua pihak, merusak upaya rekonsiliasi adat yang gagal, dan mendiskreditkan para tetua masyarakat.
Lebih dari 20 tahun yang lalu, Nemoadjou menggambarkan taktik polisi yang mirip dengan bentrokan minggu lalu di Saint Louis:
“Ada lebih dari 250 orang, lima kendaraan lapis baja dan lima truk, serta dua helikopter yang terbang di atas kepala untuk mengawasi operasi. Mereka datang langsung dan langsung menuju rumah-rumah yang menjadi sasaran mereka. Mereka mengganggu para wanita, merusak atap rumah orang, mendobrak pintu. Mereka bahkan memaksa anak-anak kecil – yang usianya tidak lebih dari empat atau lima tahun – untuk berlutut seperti mereka adalah teroris!”
“Setelah itu, seluruh suku Saint Louis bereaksi,” katanya. “Kami mengambil posisi untuk memblokir akses bagi warga Wallis. Kami juga memblokir jalan masuk bagi polisi. Ketika mereka datang dengan mobil lapis baja untuk melewati blokade jalan kami, mereka menembakkan gas air mata dan granat yang merusak misi. Tiga ibu terluka, dan setelah itu mereka pergi lagi.”tambahnya.
Semenjak saat itu, Saint Louis telah meletus dalam aksi protes pada banyak kesempatan, yang memperkuat persepsi polisi terhadap suku tersebut sebagai sarang agitator yang kejam.
Bagi Komisi Tinggi Prancis dan banyak politisi anti-kemerdekaan, penggerebekan terbaru di Saint Louis merupakan intervensi yang dibenarkan dan ditujukan terhadap para penjahat yang diketahui. Namun, bagi penduduk kampung setempat, ada perasaan bahwa seluruh masyarakat sedang dihukum.
Selama berminggu-minggu, “pasukan ketertiban” Prancis telah memblokir jalan menuju suku tersebut, mengharuskan orang-orang untuk pergi dengan berjalan kaki setelah menunjukkan identitas di pos pemeriksaan polisi.
Pembatasan pembelian tabung gas atau jerigen bensin telah merepotkan penduduk kampung, menimbulkan kekhawatiran bahwa taktik polisi sama saja dengan hukuman kolektif.
Bagi generasi yang lebih tua, penembakan terhadap dua aktivis oleh petugas GIGN minggu lalu juga mengingatkan mereka pada bentrokan bersenjata di Kaledonia Baru pada era 1984-88, yang dikenal sebagai “Les évènements.” (Peristiwa Penting)”
Sebagai bagian dari Gendarmerie nationale, GIGN menggambarkan dirinya sebagai “unit yang didedikasikan untuk kontra-terorisme, manajemen krisis ekstrem, perang melawan kejahatan terorganisasi serta keamanan dan perlindungan kepentingan vital Negara Prancis”.
Pada Januari 1985, penembak jitu GIGN membunuh Eloi Machoro dan Marcel Nonnaro, dua pemimpin bersejarah yang memobilisasi FLNKS pada awal pemberontakan Kanak. Unit paramiliter GIGN, yang bergabung dengan tentara dan komando Prancis, juga terlibat dalam krisis Ouvea 1988, yang berpuncak pada kematian dua tentara dan 19 aktivis Kanak – dengan sedikitnya tiga orang Kanak dieksekusi setelah menyerah.
Jubi mengutip buku berjudul, Politik di Melanesia yang ditulis dosen jurusan Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Indonesia (UI) Zulkifli Hamid bahwa orang Eropa pertama yang mengunjungi Kaledonia Baru adalah pelaut Kapten James Cook.( 27 Oktober 1728 – 14 Februari 1779) dan seorang penjelajah dan navigator berkebangsaan Inggris.
“Orang orang Kanak sangat ramah dan bersahabat saat bertemu dengan pelaut asal Inggris itu,”demikian tulis Hamid dalam bukunya.
Sejak itu para pelaut dari Eropa menyinggahi tanah-tanah ada milik orang Kanaki atau Kaledonia Baru.”Kemudian para misionaris dari Marist dari Prancis mulai menyebarkan agama Katolik pada 1840 yang merintis jalan bagi pengambilan wilayah tersebut bagi Prancis,” tulis dosen HI Fisip UI itu.
Sejak 1853, Prancis mulai menguasai wilayah orang-orang Kanaki, dan sejak itu pula terjadi persaingan antara Prancis dan Inggris dalam merebut wilayah orang Kanaki di Pasifik Selatan. Dan selanjutnya pada 24 September 1854, sebuah pemerintahan kolonial dibentuk di La Grande Terre, dan 10 tahun kemudian Loyalti Island digabungkan dalam administrasi kolonial Perancis.
Penguasaan wilayah Kanaki atau Kaledonia Baru saat itu, bagi pemerintahan kolonial Perancis untuk memperkuat angkatan laut dan kepentingan komersial terutama pertanian dan pertambangan.
Namun wilayah itu pula dijadikan tempat pembuangan bagi tahanan politik dan narapidana Prancis. Tak heran sejak 1860 sampai 1894 wilayah Kaledonia Baru telah menampung sekitar 40.000 orang hukuman dari Perancis termasuk para penjahat dan tahanan politik.
Bahkan, para nasionalis Maroko saat masih dijajah Prancis juga dikirim ke Kaledonia Baru. Meskipun banyak narapidana yang meninggal di Kaledonia Baru, namun ada pula yang dibebaskan dan dikembalikan ke Prancis.
Sebagian dari para tahanan juga tinggal di Kaledonia Baru, pemerintah Prancis membujuk mereka untuk berusaha dan berbisnis di tanah jajahan Perancis, kaledonia Baru. Pemerintah juga merampas tanah tanah adat orang Kanak dan menguasai tanah mereka dan membantu para pengusaha untuk mengembangkan peternakan sapi di sana.
Akibatnya kaum penduduk asli tersingkirkan dari lahan-lahan dan tanah adat mereka, dan Prancis menempatkan mereka ke daerah pegunungan terpencil di Pulau La Grande Terre dan wilayah Pantai Timurnya. Pemerintah Prancis menempatkan penduduk asli Kanak di Pulau Ovea, Lifou dan Mare di wilayah Loyalti Island, Pulau Belep di Utara dan Isla of Pies di Selatan.
Kemarahan penduduk asli Kanak telah timbul sejak 1878 di mana mereka melakukan revolusi dengan membunuh para pemukim dan serdadu Prancis. Hal ini menyebabkan sekitar 200 orang Prancis tewas dan 1000 orang Kanak wafat. Revolusi ini membuat nama Perancis buruk bagi kolonial Perancis dan memberikan pengakuan kepada rakyat Kanak.
Selanjutnya saat tambang Nikel dibuka, Prancis sulit meminta tenaga buruh dari kalangan rakyak Kanak, sedangkan penduduk kulit putih saat itu sangat sedikit. Solusinya pemerintah Prancis mencari tenaga kerja dari luar dan mengimpor buruh dari Asia.
Pada 1883 pemerintah Prancis mengontrak buruh dari China, kemudian Jepang, India, Tonkin (Vietnam) dan orang Jawa dari Indonesia. “Mereka semua dipekerjakan sebagai buruh tambang di Nikel, Chrome dan Bijih Besi.
Pada 1930 an, terdapat 17.000 orang Prancis, telah bertambah sedikitnya 14.000 orang Jawa dan Tonkin serta 1200 orang Jepang di Kaledonia Baru.
Mengutip tirto.id bahwa pengiriman pertama orang Jawa tercatat sebanyak 170 orang pekerja pada 16 Februari 1896. Hari itu kemudian diperingati sebagai hari pertama orang Jawa menginjakkan kaki di Kaledonia Baru. Pengiriman pekerja itu dilakukan atas dasar kesepakatan Prancis-Belanda.
Menurut Konsulat Jenderal Indonesia di Kaledonia Baru, sepanjang 1896 hingga 1949, pengiriman pekerja dari Jawa mencapai sekitar 19.510 orang. Jumlah yang sangat besar tersebut diangkut menggunakan sekitar 87 kapal. Indonesia sendiri membuka Konsulat RI di Noumea pada 15 Mei 1951.(*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!