Jayapura, Jubi – Sebuah kerangka kerja hukum baru akan diajukan dalam pertemuan COP28, demi menjamin pemenuhan Hak Asasi Manusia orang yang kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi karena dampak perubahan iklim. COP28 akan digelar di Dubai pada 30 November – 12 Desember 2023.
Radio New Zealand melansir upaya Pusat Hak Asasi Manusia Pusat dan Pusat Internasional untuk Advokat Melawan Diskriminasi (ICAAD) dalam memastikan komunitas yang paling terdampak perubahan iklim tidak terabaikan. PBB memperkirakan pada 2050 mendatang akan ada 1,2 miliar orang yang akan kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengugsi karena terdampak perubahan iklim.
ICAAD dan mitranya menyerukan keadilan mobilitas sebagai adaptasi dampak perubahan iklim dijadikan salah satu agenda COP 28. Pusat Hak Asasi Manusia menginginkan adanya diskusi mengenai bagaimana memperluas perlindungan bagi para pengungsi iklim untuk memastikan martabat para pengungsi itu dijunjung tinggi pada saat ini dan pada masa depan.
Di Pasifik, banyak pulau yang mungkin tidak dapat dihuni dalam beberapa dekade mendatang, karena kenaikan permukaan air laut. Namun belum ada kejelasan hukum mengenai bagaimana atau apakah komunitas terdampak itu akan dilindungi.
Direktur dan fasilitator ICCAD Erin Thomas mengatakan ada lebih dari 40 aktivis masyarakat adat dan iklim serta peneliti dari delapan negara Kepulauan Pasifik yang terlibat upaya itu. “Itu adalah bagian dari hak kami untuk hidup bermartabat, proyek yang telah kami kerjakan selama beberapa tahun,” katanya.
Thomas menyatakan hingga kini masyarakat internasional belum menunjukkan kepedulian atas risiko terjadinya pengungsian yang dipicu perubahan iklim. “[Risiko itu] satu masalah paling sulit yang belum ditanggapi secara efektif oleh komunitas internasional, yaitu melindungi mereka yang terpaksa mengungsi melintasi perbatasan.”
Kelompok itu memperingatkan bahwa perubahan iklim telah menciptakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, terutama bagi mereka yang sudah mengungsi tanpa mendapatkan akses jalur keimigrasian yang melindungi kepentingan mereka.
Pada pertemuan tahunan Forum Pulau Pasifik di Rarotonga dua pekan yang lalu, para pemimpin regional mencatat bahwa lebih dari 50.000 orang di Pasifik mengungsi akibat kejadian terkait iklim dan bencana setiap tahunnya.
Para pemimpin mendukung kerangka kerja di tingkat regional Pasifik mengenai mobilitas iklim untuk “memberikan panduan praktis bagi pemerintah yang merencanakan dan mengelola mobilitas iklim.”
Mereka juga meminta mitra pembangunan untuk “menyediakan pendanaan iklim, teknologi, dan kapasitas yang jauh lebih besar untuk mempercepat dekarbonisasi Blue Pacific.” (*)