Jayapura, Jubi- Keluarga dari 24 pria yang tenggelam di sungai setelah melarikan diri dari konflik antar suku di Kandep, Provinsi Enga menginginkan agar “pemimpin kelompok “ suku tersebut dan mereka yang mendanai pasokan senjata ditangkap.
“Anggota parlemen nasional PNG dari Kandep Enga yang berada di Enga minggu ini, hadir untuk melaksanakan perundingan damai dan rekonsiliasi hadir untuk mendengar keluhan anggota keluarga,”demikian dikutip jubi.id dari thenational.com.pg, Senin (10/9/2023).
Dia berjanji kepada mereka akan menindaklanjuti permintaan keluarga dari 24 pria yang korban.
“Pemimpin kedua suku yang bertikai akan segara ditangkap, dan penyelidikan bekerja sama dengan lembaga hukum dan ketertiban mulai mencari tahu siapa yang mendanai pasokan senjata api dan amunisi yang digunakan dalam pertikaian antar suku itu,”katanya.
Kerabat dari 24 pria yang tewas saat mencoba menyeberangi sungai Lai yang arusnya sangat deras sekitar empat bulan lalu, telah mengklaim bahwa ada orang di Port Moresby yang mendanai pasokan senjata dan amunisi.
Mereka juga mengatakan kepada Don Poyle, anggota parlemen dari wilayah Kandep Provinsi Enga, Undang Undang Pertarungan Antar Kelompok tahun 1977 harus diubah dan memasukan hukum adat yang berkaitan dengan perkelahian antar suku.
Pemimpin kampung Tirip Yanggala Enoch, dari Lower Wage di Kandep yang berbicara atas keluarga korban mengatakan 24 pria itu tidak bersalah dan hanya menyaksikan pertempuran tersebut.
“Ke 24 pria itu bukan bagian dari dua suku yang bertikai, namun berada di tempat dan waktu yang salah, “katanya.
“Mereka melarikan diri dari pertempuran dua suku dan tenggelam saat berada di Wara Lai (Sungai Lai),”katanya.
Henock mengatakan mereka akan segera meletakkan senjata mereka “jika para pemimpin kelompok dari kedua belah pihak segera ditangkap.”
“Kami juga ingin pemerintah memerintahkan polisi untuk mencari tahu siapa di Port Moresby yang mendanai perang suku dan memasok amunisi dan senjata api,”katanya.
Dia menegaskan, jangan hanya melihat mereka yang memicunya. “Temukan mereka yang mendanai senjata api dan amunisinya,”katanya.
Henock juga mengatakan akan menerima seruan amandemen Undang Undang Pertarungan Antar Kelompok tahun 1977 untuk memasukan hukum tradisional pertarungan suku atau hukum adat dalam perang suku.
“Kami juga menyalahkan Pemerintah atas kematian 24 pria itu pada otoritas pemerintah yang gagal menegakan perintah penahanan untuk menghentikan suku-suku yang saling menyerang,”katanya.
Dia juga menegaskan, pemerintah gagal membangun jembatan di atas Sungai Lai sehingga menyebabkan 24 pria tewas. “Mereka tenggelam karena tidak ada jembatan yang bisa mereka gunakan untuk menyeberang,”katanya akibat mereka hanyut terbawa arus deras sungai tersebut.
Anggota Parlemen Poyle mengatakan akan menerima seruan untuk amandemen Undang-Undang Pertarungan Antar Kelompok tahun 1977, untuk memasukan hukum tradisional pertarungan antar suku di PNG. “Itu adalah sesuatu yang bisa saya bawakan ke Parlemen. Memang benar tren pertikaian antar suku ini telah berubah secara signifikan. Demikian pula dengan aturan keterlibatan yang juga telah berubah secara signifikan,”katanya.
Pertikaian antar suku di Provinsi Enga telah terjadi pertengahan Agustus 2023. Mengutip theguardian.com, disebutkan hingga 150 orang tewas di Provinsi Enga, karena para ahli mengatakan sistem hukum yang lebih lemah, akses senjata dan ‘hilangnya harapan’ memicu bentrokan mematikan
Mengutip Kantor Migrasi Internasional PBB melaporkan, pada 2022, setelah konflik dan kekerasan terkait Pemilu di Papua Nugini, sekitar 15.000 orang menjadi pengungsi antara lain Provinsi Hela, Provinsi Southern Highlands, dan Provinsi Enga. Sekitar 25.000 anak tidak dapat bersekolah dan terdapat laporan pemerkosaan, penculikan dan kekerasan lainnya.
Professor Communication Arts at University of Western Sydney, Anna Gibbs dikutip the guardian.com mengatakan kekerasan terbaru di Provinsi Enga “sangat memerlukan penyelidikan dan pertolongan lebih lanjut, terutama demi perempuan dan anak-anak yang kehilangan tempat tinggal dan kelaparan”.
Pemimpin masyarakat tersebut mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, melemahnya supremasi hukum dan sistem peradilan yang kurang efektif telah menyebabkan “keadilan hutan” kembali muncul di wilayah dataran tinggi.
Ruth Kissam, aktivis hak asasi manusia dan ketua dewan jaringan pemimpin Perempuan PNG, juga mengatakan supremasi hukum telah melemah di beberapa bagian Papua Nugini.
Antropolog Dr Linus Digim’Rina, dari Universitas Papua Nugini, mengatakan uang telah mengalir ke wilayah tersebut dan semakin banyak senjata yang beredar, sehingga membuat pertempuran semakin mematikan.
Digim’Rina juga mengatakan pecahnya perang antar suku yang terjadi di sana belum lama ini sangat jelas tidak mencerminkan “budaya tradisional karena mengabaikan batasan sosial dan politik serta etika berperang yang dipraktikkan di masa lalu.”
Sekadar catatan, di wilayah Provinsi Enga terdapat lokasi tambang emas Porgera dan pernah pula terjadi konlik antar suku di sana. pada 29 November 2018 pernah terjadi konflik antara suku Kandep dan Suku Paiela di Provinsi Enga.
Polisi saat itu mengatakan masalah konflik ini bermulai dari pengaruh minuman keras, perkelahian bermula dalam keadaan mabuk di sebuah klub dekat tambang emas Porgera.
Akibatnya kedua suku ini meningkat tajam hingga terjadi baku tembak yang menewaskan dua orang. “Serangan balasan pada hari yang sama menewaskan dua orang lagi,”kata Komandan Polisi waktu itu Joseph Tondop.
“Terlalu banyak kematian, cedera, dan kerusakan properti. Tidak hanya di Porgera, tapi juga meluas hingga ke jalan raya hingga ke Laiagam, dan kami melakukan penyergapan. Dalam penyergapan keesokan harinya, tiga orang tewas.”kata Tondop kala itu. (*)