Jayapura, Jubi – Anna Jane Vea, penyair muda perempuan Tonga, telah berkarya sejak masih duduk di bangku sekolah setingkat SMP. Pada September 2016, ia menjadi wakil Tonga dalam peringatan 100 tahun Pertempuran Somme di Perancis. Sejak itu ia bersinar, menjadi salah satu intelektual dan seniman muda Pasifik yang punya perhatian kepada persoalan Papua Barat.
Kehormatan untuk menghadiri peringatan Pertempuran Somme diraih Anna Jane Vea setelah ia memenangi kompetisi menulis esai tentang Perang Dunia I yang diselenggarakan Komisi Tinggi Selandia Baru di Tonga. Ia menghadiri peringatan Pertempuran Somme itu bersama perwakilan pelajar dari Samoa, Niue, dan Kepulauan Cook.
Sejak saat itu, proses kreatif Anna Jane Vea terus bergulir dan merentang. Ia terus menulis puisi maupun esai tentang banyak hal. Perjalanan dan proses kreatif itu membawa Vea yang saat kini berusia 22 tahun bersentuhan dengan isu Papua Barat.
Pada 1 Desember 2020, Anna Jane Vea bergabung dengan para seniman muda dari berbagai negara Pasifik yang menggelar konser virtual bertajuk Wan Musik Wan Sing. Konser itu memperingat1 59 tahun peristiwa pengakuan status politik Papua Barat, yang ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di sejumlah kota di Tanah Papua pada 1 Desember 1961.
Dalam konser Wan Musik Wan Sing itu, Anna Jane Vea membacakan puisinya yang berbahasa Inggris dan diberi judul โDear Momโ. Puisi itu bercerita tentang perjumpaannya dengan seorang anak yang bersedih di tengah riuh perayaan kemerdekaan. Begini nukilan ringkasnya:
โ …
Seorang anak ada di kerumunan itu, wajahnya begitu muram.
Aku yakin, tangisan di wajahnya bukanlah tangisan bahagia.
Sebelum ia menghilang, aku membelah kerumunan.
Aku penasaran.
Bagaimana mungkin perayaan kemerdekaan justru membuat seseorang bersedih?
โAku bukan dari sini,โ katanya.
โKamu dari mana?โ
โAku dari Papua Barat,โ begitu jawabnya.
โDan kami masih berjuang untuk Hak Penentuan Nasib Sendiriโ
Mama, ingatkah ketika kamu bercerita soal itu?
Waktu itu, aku selalu memikirkannya.
Lalu, perlahan pikiran itu menjadi salah satu ingatan saja, di dalam kepalaku. ย
Hingga suatu kala, sebuah wajah muncul.
Pada tayangan berita jam 8 malam, persis di depanku.
Bukan dalam video gosip, bukan dalam koran. ย
Sesuatu yang menakutkan sedang terjadi, begitu dalam, begitu celaka.
Itu bukan peristiwa 600 tahun yang lalu.
Itu sedang terjadi, seiring tarikan nafasku kali ini.
…โ
Refleksi Anna Jane Vea tentang Papua Barat menunjukkan semakin meluasnya solidaritas dari kalangan generasi muda Pasifik bagi Papua Barat. Mereka pun saling berbagi kesadaran akan pentingnya Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Orang Asli Papua. Dalam puisinya, Anna Jane Vea memilin gelisah dan duka di Papua Barat dengan cerita kemeriahan perayaan kemerdekaan di Tonga.
Tonga adalah sebuah kerajaan yang telah berdiri di Polinesia sejak 1845, dengan George Tupou I sebagai rajanya. Kapten Cook dari Inggris pertama kali tiba di Tonga pada 1856, membuat sejarah Tonga berkelindan dengan sejarah Kerajaan Inggris Raya. Sejak 1900, wilayah itu masuk dalam protektorat Inggris Raya.
Tonga akhirnya merdeka penuh pada 4 Juni 1970, dengan Nukuโalola sebagai ibu kotanya. Ia tetap menjadi kerajaan yang dipimpin seorang raja, namun pemerintahan sehari-hari dijalankan seorang perdana menteri.
Makna merdeka bagi seorang Anna Jane Vea tak lagi sama, setelah ia tahu ada yang sedang meratap di tengah keriuhan. Dengan puisinya, Anna Jane Vea menguak gelisah yang lain, bertakzim atas duka dan cita-cita saudara-saudaranya di tanah seberang. (*)