Oleh: Vredigando Engelberto Namsa, OFM*
Tahun 1902 adalah tahun bersejarah bagi misi Katolik. Karena September 1902, Vikariat Apostolik Batavia (Jakarta) membentuk satu Prefektur Apostolik Baru di wilayah timur Nusantara. Prefektur tersebut bernama Prefektur Apostolik Nieuw Guinea. Wilayah dari Prefektur ini meliputi, seluruh kepulauan Maluku, Nieuw Guinea (Pulau Papua), dan wilayah kepulauan di Pasifik. Adapun pusat dari Prefektur ini berada di Langgur – Kei Kecil.
Pada tahun yang sama, wilayah misi tersebut diserahkan dari tangan para Pater dan Bruder Serikat Jesus (SJ) kepada Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC). Prefek Apostolik yang pertama ialah Pater M. Neyens, MSC. Pada 29 November 1903, Pater M. Neyens dan Pater H. Geurtjens, MSC tiba untuk pertama kali di Langgur – Kei Kecil.
Di Merauke belum ada orang Katolik asli. Pada Juni 1902 pemerintah Belanda telah membuka pos pemerintah yang pertama di sana. Namun usaha ini gagal, karena pemerintah kembali menutup pos tersebut. Pada tahun 1904 pemerintah Belanda kembali lagi membuka pos pemerintah di Merauke, tepatnya di muara Sungai Maro. Residen Pemerintah Belanda pertama yang bertugas di sana bernama Tuan Groezen. Pemerintah berusaha untuk membawa suatu kemajuan bagi masyarakat di sana, dengan tujuan yang sama, pemerintah Belanda meminta bantuan dari Misi Katolik di Langgur – Kei Kecil, untuk datang berkarya di wilayah Merauke.
Di Langgur – Kei Kecil, para misionaris MSC memutuskankan untuk mengirim beberapa Misionaris MSC ke Merauke. Mereka ini terdiri atas Pater H. Nollen, MSC, Pater P. Braun, MSC, Bruder D. Van Roesel, MSC dan Bruder Oomen, MSC. Keempat misionaris tersebut tiba dengan selamat di pantai selatan Papua – Merauke, 14 Agustus 1905.
Pada permulaan karya ini, mereka sedikit demi sedikit mulai mempelajari bahasa Marind dan adat istiadat setempat dengan tujuan dapat mengadakan hubungan dengan suku Marind – Merauke. Hari ke hari para misionaris mendapat kepercayaan dari masyarakat setempat dan mereka memberi diri untuk kemajuan Misi Katolik.
Perluasan wilayah misi di luar kota Merauke terjadi pada tahun 1909 dan 1910. Pada tahun 1909 stasi Wendu dibuka oleh Pater Viegen, MSC, ia menjadi pastor Wendu sampai pada tahun 1915. Tahun 1910 stasi Okaba dibuka dan Pater van de Kolk, MSC menetap sebagai pastor Okaba sampai tahun 1915.
Sekitar tahun 1910 – 1915 wilayah Merauke dan sekitarnya ditimpa penyakit kelamin yang menular begitu cepat di antara penduduk setempat. Sekitar tahun 1908 jumlah penduduk di Merauke diperkirakan berjumlah 25.000 orang, tetapi kerena ditimpa penyakit menular tersebut, maka jumlah penduduk pun menurun drastis menjadi 5.000 orang.
Melihat situasi tersebut yang alami oleh penduduk setempat, Pater Vertenten, MSC dengan niat yang baik mulai membantu masyarakat agar dapat terhindar dari penyakit tersebut. Dengan nyata sang misionaris tersebut mendirikan kampung-kampung baru, yang dinamakan kampung teladan. Keluarga-keluarga yang belum terjangkit penyakit ditampung dalam kampung-kampung teladan itu. Dengan demikian banyak penduduk diselamatkan.
Pater M. Neyens, MSC Superior Regularis Konggregasi MSC mencari kemungkinan untuk perkembangan misi secara lebih baik. Untuk tujuan tersebut pada tahun 1910 Beliau berkeliling mencari tempat-tempat baru sepanjang pantai Mimika, Teluk Arguni, dan beberapa tempat lain untuk apakah mungkin dapat membuka stasi-stasi baru.
Kemudian Pater Neyens, MSC mengajukan kepada pemerintah untuk membuka stasi-stasi di beberapa tempat yang baru. Dua tahun kemudian Beliau mendapatkan jawaban dari pemerintah yang isinya berbunyi “Pemerintah telah memutuskan bagian utara dari Papua dipercayakan kepada Misi Zending dan bagian Selatan dari Papua diserahkan kepada Misi Katolik”.
Awalnya pihak Misi Katolik tidak merasa puas dengan keputusan pemerintah, karena pada dasarnya di beberapa tempat yang akan didirikan stasi-stasi dari Misi Katolik, belum ada aktivitas dari Misi Zending.
Ketika akhir Perang Dunia I pada tahun 1918, wajah Misi Katolik di Merauke mulai nampak berkembang dengan baik. Pada 17 Maret 1922 terjadilah peristiwa bersejarah di Merauke. Di mana 15 orang laki-laki dewasa dan 14 anak laki-laki dipermandikan menjadi orang Katolik. Selain menerima Sakramen Permandian, para baptisan baru juga menerima Sakramen Komuni Pertama. Dikisahkan “Setelah peraayaan ini selesai diadakan, dilanjutkan dengan pesta syukur yang begitu luar bisa ramainya. Dimana seluruh penduduk Merauke ikut mengambil bagian dalam perayaan syukur tersebut”
Tahun 1921 Pater Vertenten, MSC berhasil mendirikan rumah sakit dan sekolah di suatu tempat di daerah pantai. Pada tahun yang sama, yakni pada tahun 1921 para misionaris tidak lagi bekerja sendiri. Mereka mendapat bantuan tenaga guru yang didatangkan dari kepalauan Maluku, terutama para guru (Misionaris Awam) dari Kei. Para guru ini meninggalkan tempat tinggal mereka, mengorbankan dirinya, hidup di tengah rakyat yang dilayaninya, memberi pelajaran dan pendidikan kepada mereka. Singkat kata mereka memberikan dirinya untuk kemajuan Misi Katolik di Tanah Papua pada zamannya.
Waktu itu, wilayah Kepala Burung masih merupakan daerah tertutup bagi Misi Katolik. Demikian pula bagian utara dari Papua. Kegiatan Misi Katolik masih dipusatkan di bagian selatan dari Papua. Meskipun jumlah misionaris tidaklah begitu banyak, mereka tidak segan-segan atau takut untuk lebih masuk jauh ke dalam hutan Papua mencari wilayah untuk dapat mengembangkan misi Katolik.
Pater Tillemans, MSC masuk lebih jauh dari pantai Mimika dan sampai diwilayah suku Mee (Paniai). Pater Kowatsky pada tahun 1926 mulai membuka stasi baru di wilayah Mimika. Pulau Frederik – Hendrik yang sekarang bernama pulau Yosudarso (Kimaam), pada tahun 1927 Pater Drager mulai mebuka kontak dengan penduduk di sana.
Pada 17 Oktober 1928 Misi Katolik di Merauke menerima bantuan tenaga dari Suster-Suster Konggregasi Hati Kudus Yesus (PBHK) yang tiba dengan selamat di Merauke. Mereka itu adalah Sr. Adriana de Kort, PBHK, Sr. C. Momers, PBHK dan Sr. Xaveria Moorman, PBHK. Para suster ditugaskan untuk mengajar di sekolah dan mengurus asrama.
Pada tahun berikutnya, yakni tahun 1929 Pater Verhoeven, MSC mengadakan perjalanan dalam rangka peninjauan ke daerah Muyu yang bertempat di kepala kali dari Digul. Pada tahun yang sama stasi Muting dibuka oleh Pater P. Hoeboer, MSC. Tahun 1930 stasi Wamal dibuka oleh seorang Misionaris.
Misi Katolik di wilayah Muyu sangatlah berkembang, sehingga diaggap perlu ada seorang misionaris yang ditempatkan di sana, maka Pater Hoeboer, MSC pada tahun 1934 ditunjuk untuk tinggal tetap dan hidup bersama dengan orang Muyu.
Pada tahun 1935 Pater Thieman, MSC mulai membuka stasi di pulau Kimaam. Di kemudian hari Pater Rievers, MSC dan Pater Grent, MSC tidak mau ketinggalan. Dari Okaba kedua Pater ini pada tahun 1936 mengadakan perjalanan eksplorasi ke daerah Mappi, dengan melewati sungai-sungai dan rawa-rawa yang begitu menantang.
Kedua Pater tersebut mulai mengadakan kontak dengan suku Yaqhai dan Auyu, yang mendiami daerah tersebut. Satu tahun kemudian daerah ini dibuka, tepatnya pada tahun 1937. Dimana sekolah didirikan dan banyak anak mulai didik oleh para guru katekis asal Kei dan Tanimbar. Tahun yang sama Pater Cees Meeuwese ditugaskan menjadi pastor di antara orang Yaqhai dan Auyu. Bersambung. (*)
*Penulis adalah biarawan Fransiskan Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua