Opini  

Terobosan hukum dalam perkara Viktor Yeimo

Hukum
Foto ilustrasi. - pixabay.com

Oleh: Helmi*

Sengaja saya menulis tema ini sebagai bagian dari upaya dalam mencermati putusan hakim Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura dengan nomor perkara 376/Pid.B/2021/PN.Jap dalam perkara tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara (makar) atas nama terdakwa Viktor Federik Yeimo. Suatu terobosan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim perkara a quo.

Bahwa menjadi harapan kita semua, jika peradilan itu bebas dan mandiri serta dapat dipercaya. Cerminan dari harapan tersebut akan terlihat dari putusan hakim yang kompeten dan berkualitas.

Putusan hakim itu dapat diartikan sebagai konkretisasi hukum dan keadilan yang bersifat abstrak. Jadi tidaklah heran ketika hakim disebut sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam memberikan putusan.

Salah satu buktinya adalah satu-satunya penegak hukum yang mengatasnamakan Tuhan dalam setiap putusan yang dibacakannya, dan menjadi satu syarat utama penyebutan dalam putusan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang memuat syarat Putusan pidana yakni: kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

Berkaitan dengan perkara makar dalam proses persidangan seringkali terdakwa dinyatakan bersalah meskipun pasal yang dicantumkan dalam tuntutan tidak terpenuhi, majelis hakim kemudian mempertimbangkan pasal-pasal yang tercantum dalam dakwaan sebagaimana pada syarat putusan pidana sebagaimana yang tercantum pada Pasal 197 Ayat (1) huruf c dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan dalam putusan dapat diartikan sebagai jawaban terhadap dakwaan. Ini berarti bahwa dakwaan dapat dijadikan dasar dari sebuah putusan.

Diskursus mengenai perkara nomor: 376/Pid.B/2021/PN.Jap yang berkaitan dengan perkara makar terdakwa Viktor Yeimo menjadi bagian yang menarik, khususnya yang berkaitan dengan mencermati putusan hakim yang telah dibacakan, dengan melihat kembali seluruh pasal yang tercantum dalam dakwaan Penuntut Umum, sebagaimana pasal-pasal yang tercantum dalam dakwaan yaitu: dakwaan kesatu pasal 106 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP, dakwaan kedua Pasal 110 Ayat (1)  KUHP Jo Pasal 106 KUHP Jo Pasal  55 Ayat (1) ke 1 KUHP, dan dakwaan ketiga Pasal 160 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.

Akan tetapi, dalam putusan terdakwa Viktor Yeimo, Majelis Hakim menghukum terdakwa dengan menggunakan pasal 155 ayat 1 KUHP, yang sebelumnya tidak tercantum dalam dakwaan. Sehingga hal tersebut dianggap sebagai sebuah terobosan hukum.

Salah satu prinsip dalam hukum acara pidana, sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP dan masih dijadikan pegangan. Misalnya, pasal 18 ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan itu intinya menjelaskan musyawarah majelis hakim, untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan.

Pada prinsipnya pemeriksaan perkara pidana yang dicari adalah kebenaran materiil atau kebenaran yang selengkap-lengkapnya. Sehingga hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas mempertimbangkan segala sesuatunya yang terkait dengan perkara  yang sedang diperiksa tersebut. Di dalam KUHAP tidak ada satu pasal pun yang mengatur keharusan hakim untuk memutus perkara sesuai dengan dakwaan Penuntut Umum. Hakim bebas menentukan berat ringannya pemidanaan sesuai dengan batasan minimum dan maksimum hukuman atas perkara yang diperiksa.

Baca juga :   Ideologi Papua merdeka bukan “jenaka” di Jakarta

Putusan hakim kasus pidana pada dasarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan publik. Sehingga putusan diluar dakwaan dapat dibenarkan sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik.

Hal demikian sejalan dengan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang menjelaskan bahwa hakim dalam Pengadilan Negeri diperbolehkan memberikan putusan melebihi apa yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini yang memiliki hubungan yang erat satu sama lain, sebab hakim dalam menjalankan fungsi dan tugasnya bersifat aktif dan berusaha memberikan putusan yang sesuai dengan keadilan dalam menyelesaikan suatu perkara.

Akibat hukum menjatuhkan putusan di luar dakwaan dalam perkara makar

Putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan. Dan dinilai dengan sebaik-baiknya yang dapat berbentuk lisan maupun tulisan. Seorang hakim dalam menetapkan dan menjatuhkan putusan harus berdasar pertimbangan hukum dan dasar hukum yang tepat.

Dasar hukum adalah norma hukum atau ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan atau dasar bagi setiap penyelenggaraan atau tindakan hukum oleh subyek hukum bagi orang perorangan atau badan hukum.

Perkara Nomor:376/Pid.B/2021/PN.Jap terdakwa Viktor Federik Yeimo menjadi hal yang menarik untuk dilihat dalam kerangka aturan hukum berdasarkan Putusan hakim yang menimbang bahwa seluruh unsur pasal dalam dakwaan tidak terpenuhi. Akan tetapi, kemudian hakim yang mengadili perkara menggunakan pasal yang sebelumnya tidak tercantum dalam dakwaan yaitu Pasal 155 Ayat (1) KUHP yang dianggap memiliki kesamaan jenis delik, sebagaimana yang tercantum dalam pasal-pasal yang ada di dalam dakwaan.

Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dilihat kembali ruang lingkup putusan hakim yang bersifat pemidanaan haruslah merujuk pada ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP, yang menegaskan:

  • Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
  • Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;
  • Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
  • Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
  • Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
  • Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai dengan keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
  • Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
  • Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
  • Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
  • Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
  • Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
  • Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
Baca juga :   Sidang 7 pengibar Bintang Kejora tertunda lagi

Sejalan dengan pasal tersebut, ketentuan Pasal 197 Ayat (1) kemudian dipertegas pada Ayat (2), yang menegaskan: tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b, c,d,e,f,g,h,i,j,k, dan l Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, suatu putusan pemidanaan harus memuat hal-hal tersebut diatas. Tidak dipenuhinya salah satu muatan, maka akan berakibat putusan batal demi hukum, namun ada pengecualian pada huruf a, e, f, dan h, apabila terjadi kekhilafan dan/atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan/atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf c KUHAP, diatur bahwa dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. Hal ini menyatakan bahwa dalam putusan tersebut harus mencantumkan surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum. Jika tidak mencantumkan dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan, maka berlakulah Pasal 197 Ayat (2) KUHAP  dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor: 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 694 K/Pid/1984 tanggal 15 Mei 1994 mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum. Pada contoh kasus yang melibatkan Susi Tur Andayani dan Sukmadani alias SUMO, putusan hakim mencantumkan dakwaan sebagaimana yang terdapat dalam terdakwa. Namun, hakim memutus diluar surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum, dengan pertimbangan:

Berdasarkan pada fakta-fakta yang terungkap pada persidangan yang diperoleh dari alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP;

Pasal yang diputus oleh Hakim memiliki persamaan dengan pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum dengan ancaman pidana yang lebih ringan. (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 657 K/Pid/1987 tanggal 21 Maret 1989).

Oleh karena putusan hakim di luar surat dakwaan penuntut umum, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP maka putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum karena tidak sesuai dengan muatan Pasal 197 ayat (1) huruf c KUHAP dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor : 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 694 K/Pid/1984 tanggal 15 Mei 1994 mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum.

Menyoal penerapan pasal 155 ayat (1) KUHP dalam perkara a quo

Pada tanggal 17 Juni 2007, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 154 dan Pasal 155 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertentangan dengan UUD 1945. Perkara No. 6/PUU-V/2007 diajukan Dr. R. Panji Utomo yang berprofesi sebagai dokter dan Direktur FORAK (Forum Komunikasi Antar Barak).

Baca juga :   KNPB Sorong Raya lantik tujuh anggota baru pada momentum HUT 14 Tahun

Panji dalam permohonannya menganggap bahwa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP yang dipandang dan diyakini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28F UUD 1945.  Namun hanya Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP yang dinyatakan oleh MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan permohonan Pemohon selebihnya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan bahwa kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbarehandeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya, rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa.

Menurut Mahkamah Konstitusi, seorang warga negara yang bermaksud menyampaikan kritik atau pendapat terhadap Pemerintah, merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, akan dengan mudah dikualifikasikan oleh penguasa sebagai pernyataan “perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan” terhadap Pemerintah sebagai akibat dari tidak adanya kepastian kriteria dalam rumusan Pasal 154 maupun Pasal 155 KUHP tersebut untuk membedakan kritik atau pernyataan pendapat dengan perasaan permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan. Karena penuntut umum tidak perlu membuktikan apakah pernyataan atau pendapat yang disampaikan oleh seseorang itu benar-benar telah menimbulkan akibat berupa tersebar atau bangkitnya kebencian atau permusuhan di kalangan khalayak ramai.MK juga menjelaskan bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP dapat dikatakan tidak rasional, karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka dan berdaulat, kecuali dalam hal makar. Namun, ketentuan tentang makar sudah diatur tersendiri dalam pasal lain dan bukan dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP.

Dengan demikian penerapan Pasal 155 Ayat (1) KUHP dalam perkara a quo yang dimasukan hakim dalam putusan dari yang sebelumnya Pasal tersebut tidak masuk dalam dakwaan yang berkaitan dengan perkara kejahatan terhadap keamanan negara (makar) terdakwa Viktor Federik Yeimo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007. (*)

* Penulis adalah advokat pada Aliansi Demokrasi untuk Papua

Komentar
banner 728x250