Oleh: Rode Wanimbo*
Dalam menjalani puncak penyiksaan di salib, yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, Yesus merasa ditinggalkan. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46).
Perkataan Yesus di kayu salib juga menjadi ratapan para pengungsi Nduga yang dalam bahasa Lani “Nogoba wae, nonggop nduk an teppanegen o?”
Mereka telah menjalani hidup di Wamena selama tiga tahun lebih. Ratusan anak putus sekolah, lebih dari 200 pengungsi meninggal akibat kelaparan, kelelahan dan kesakitan. Tidak ada perhatian serius dari pemerintah.
Pengungsi lokal telah mencapai 60.000 hingga 100.000 orang. Tangisan minta tolong pengungsi tidak hanya terdengar dari Nduga, tetapi juga datang dari anak-anak dan mama-mama di Ilaga (Puncak), Intan Jaya, Kiwirok (Pegunungan Bintang), Maybrat (Papua Barat), dan Surusuru (Yahukimo).
Mama dari Nopelinus Sondegau, anak berusia dua tahun yang tertembak dalam operasi militer di Intan Jaya, tak berdaya melihat anak dalam pangkuannya sudah tak bernyawa. Hatinya hancur tak sanggup menyaksikan kematian anaknya.
Rasa sakitnya sungguh teramat dalam. Sama seperti Maria ibu Yesus yang berduka menyaksikan putranya di salib. Remuk jiwanya ketika dia dilarang untuk memeluk Yesus putranya yang tertatih-tatih memikul salib menuju Golgota.
Pendeta Yeremia Zanambani ditembak mati pada 19 September 2020 oleh aparat TNI yang telah diterima sebagai anak angkatnya sendiri di Hitadipa, Intan Jaya. Pertanyaan Yudas Iskariot (Mat 26:15) dapat saja menjadi pertanyaan dari pelaku penembakkan itu kepada pihak pemberi perintah. Kemudian mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya (Mat 26:16) dan mulai saat itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus.
Pengungkapan fakta dalam semangat memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) dan martabat Mama Bumi melalui suatu penelitian terhadap kepentingan ekonomi Blok Wabu oleh pegiat HAM justru dikriminalisasi. Keputusan Pilatus dan Kayafas seperti keputusan pemerintah Indonesia melalui aparatusnya hingga akhirnya mengkriminalisasi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
Pihak yang berdiri dan bersuara bagi kaum lemah justru dijerat hukum. Ketamakan telah merasuki jiwa para penguasa.
Dalam masa pandemi covid-19, pemerintah memberlakukan pembatasan sosial. Ketika rakyat diwajibkan harus berada di dalam rumah, di Tanah Papua, rakyat justru terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya karena operasi militer. Rakyat mencari tempat yang aman di tengah hutan, bertahan hidup tanpa makanan dan minuman, serta hidup tanpa rasa aman.
Tiga tahun para pengungsi memaknai Natal dan Paskah di tempat-tempat pengungsian. Kerinduan untuk pulang ke rumah dan kampung halaman hanya tinggal kerinduan.
Dalam situasi tersebut, pemerintah justru menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Papua. Agenda nasional ini mengeluarkan tidak sedikit dana.
Undang-Undang Otonomi Khusus Jilid II Papua dipaksakan tanpa evaluasi dan rapat dengar pendapat rakyat. Pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan penambahan daerah otonom baru (DOB) tanpa mekanisme yang sewajarnya, semakin memperparah kualitas hidup dan kondisi rakyat, yang haknya terus-menerus secara sengaja dilupakan.
Kewenangan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga negara yang menjadi wadah representasi Orang Asli Papua (OAP) dibatasi dalam implementasi Otsus selama 20 tahun. Lembaga DPRP juga terkesan dilangkahi dalam merumuskan berbagai kebijakan negara dan memberlakukan keputusan pemerintah.
Institusi yang menjadi harapan rakyat dilemahkan dan pribadi dalam lembaga terkesan telah terkooptasi, sehingga suara rakyat yang mengandung kegelisahan, penderitaan dan harapan sekalipun distigma sebagai bentuk pembangkangan dan perlawanan.
Upolu Luma Vaai, Pemimpin Kampus Theologia di Pasifik, dalam pesan Paskah menyatakan bahwa Paskah bukanlah hanya sebuah perayaan liturgi tahunan. Paskah merupakan suatu gerakan transformasi dari harapan yang ditemukan dalam irama kerinduan akan hidup baru yang lebih baik.
Semangat mama-mama pengungsi untuk bertahan hidup sungguh mengagumkan. Mereka hidup dalam tenda beratap daun, tidak ada air bersih, makanan, pakaian, dan kain yang cukup untuk melindungi tubuh dari rasa dingin dan nyamuk di malam hari.
Mama-mama pengungsi harus berjalan kaki beberapa jam setiap hari ke sungai terdekat, untuk mengambil air bagi kebutuhan minum dan masak. Mereka harus melaporkan tujuan perjalanan mereka ke kebun mereka sendiri pada setiap pos-pos tentara yang dijumpai sepanjang perjalanan.
Dalam operasi militer tersebut, mama-mama mempertaruhkan diri demi keberlangsungan hidup keluarga. Tekad mereka untuk bertahan hidup merupakan tindakan iman.
Gerakan iman itu melahirkan dan menumbuhkan harapan bagi hari esok yang lebih baik. Harapan untuk pulang ke rumah. Kerinduan untuk kembali ke tanah lahir dan kampung halaman.
Maria Magdalena tidak larut dalam kesedihan. Kesedihan mendalam justru mengingatkan Maria akan janji tentang hari kebangkitan Yesus.
Maria pun bergegas lari ke kubur Yesus. Berita kebangkitan Yesus yang ia dengar dan percayai, segera diberitakan tanpa rasa takut. Perempuan adalah pembawa berita kehidupan.
Dalam merefleksikan Paskah, penulis memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada setiap perempuan di daerah-daerah konflik. Mereka adalah pahlawan iman sekaligus pahlawan kemanusiaan.
Perjuangan mereka adalah perjuangan untuk hidup yang dikerjakan setiap hari. Dalam perenungan penderitaan dan sengsara Yesus, semoga kita dapat mengasihi para pengungsi melalui perbuatan nyata.
Kasih Yesus dibuktikan melalui pemberian diri-Nya secara utuh bagi pembebasan manusia seutuhnya. Apa bukti kasih kita bagi sesama yang sedang mengungsi di tanah leluhurnya sendiri? Bergeraklah dengan apa yang ada di tanganmu. (*)
*Penulis adalah Ketua Departemen Perempuan GIDI (Gereja Injili di Indonesia)
Discussion about this post