Oleh: Siorus Ewanaibi Degei*
Kata “intel”, “intelejen” atau “Badan Intelijen Negara atau BIN” identik dengan kerja-kerja taktis dan strategisnya yang sistematis, terstruktur dan rahasia. Lembaga ini menjadi satu-satunya lembaga dalam sebuah negara yang memiliki peran strategis untuk mampu mencerap informasi, mengimplusnya ke dalam otak dan mengkonkritkannya dalam tindakan atau kerja-kerja nyata.
Intelijen bukan lembaga yang identik dengan kejahatan, kekerasan, penghilangan, penangkapan, pembunuhan dan lain sebagainya, seperti yang dipahami secara publik. Kerja-kerja intelijen adalah penentu pemenuhan national interest (kepentingan kebangsaan). Melalui informasi-informasi penting yang mereka dapatkan terkait lawan maupun kawan dalam negara itu akan sangat membantu negara untuk menentukan sikap secara tegas dan jelas.
Pada tulisan ini kita akan membedah dua buku yang ditulis oleh AM Hendropriyono, mantan Kepala BIN yang menjadi profesor filsafat intelijen pertama dunia. Buku pertamanya bertajuk “Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia” (2013, PT Kompas, Jakarta). Buku keduanya, “Filsafat Intelijen: Sebuah Esai Ke Arah Landasan Berpikir, Strategi, Serta Refleksi Kasus-Kasus Aktual” (2021, PT Hendropriyono Strategic Consulting, Jakarta)”.
Frasa “filsafat politik” atau “filsafat hukum” sering kita dengar, tapi tidak “filsafat intelijen”. Dalam kepustakaan dunia belum pernah ada buku yang berjudul Filsafat Intelijen, seperti buku Hendropriyono yang berjudul “Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia”. Menurut Hendropriyono, kelangkaan itu terjadi karena tidak ada negara lain yang punya filsafat bangsa seperti negara Republik Indonesia.
Dalam buku “Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia” Hendropriyono mengungkapkan, secara universal filsafat intelijen bersifat pragmatis, tapi secara nasional filsafat negara Republik Indonesia bersifat etis.
Pragmatisme berlaku di Indonesia hanya jika Republik Indonesia diperangi atau dirampas kemerdekaannya. Kita, bangsa Indonesia, cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan. Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber pedoman bagi intelijen negara untuk menyusun berbagai siasat intelijen negara Republik Indonesia.
Buku itu menegaskan beberapa hal pokok;
Bagian I, Hakikat Intelijen: Siasat Yang Berlian dan Berkeadaban. Bab ini memperlihatkan perihal profil daripada lembaga Intelijen itu sendiri, baik yang ada secara umum di dunia, maupun intelijen negara Republik Indonesia, yakni sebuah kiat intelijen yang berasaskan pada filsafat pancasila.
Bahwa Lembaga ini tidak terbatas seperti pemahaman umum bahwa intelijen itu identik dengan dunia militer, rahasia, strategis dan penuh taktis sistematis. Rupanya intelijen itu adalah aktivitas harian sebuah negara dan bangsa, ia ibarat organ indrawi dalam diri manusia. Organ indrawi dalam suatu bangsa dan negara itu adalah intelijen di semua lini kehidupan, baik keamanan dan pertahanan, politik, ekonomi, sosial, budaya dan religi, (Hendropriyono, 2013; hlm. 3-6).
Bagian II, Intelijen Dalam Negeri dan Intelijen Luar Negeri: Filsafat Intelijen Berasaskan Pancasila. Pada bagian ini Hendropriyono membedakan dua kubu intelijen, yakni intelijen di dalam negeri, disebut dengan istilah “intelijen hitam” karena tidak terlihat di permukaan, namun terasa di kedalaman kerja bawah tanah (underground), dan satunya lagi “intelijen putih”, yakni intelijen yang bekerja terang-terangan, seperti duta besar dan diplomat, baik domestik, maupun asing. Ada juga klandestin yang bisa berkiprah di mana saja, bisa di luar negeri maupun di dalam negeri, (Hendropriyono, 2013; hlm. 58-62).
Bagian III, Ekosistem Intelijen: Bertindak Cepat (Velox) dan Tepat (Exactus). Bagian ketiga ini berisi tentang pembahasan seputar ekosistem domain, ranah atau konteks dari eksistensi intelijen itu hidup dan bekerja, yakni di semua bidang kehidupan pasti ada intelijennya. Dibahas juga seputar corak dasar intelijen sebagai lembaga yang senantiasa bertindak cepat (velox) dan tepat (exactus) ketika ada tantangan, hambatan dan ancaman baik internal maupun eksternal, (Hendropriyono, 2013; 93-98).
Bagian IV, Pilar-Pilar Filsafat Intelijen: “Necessitas Ante Rationem Est” (Keadaan Darurat Menyisihkan Akal Sehat). Bagian ini menjelaskan bahwa kerja-kerja intelijen itu, terutama dalam keadaan darurat, tidak dapat dikenai hukum ketika hendak menyelamatkan kepentingan bangsa dan negara. Bahwa keadaan darurat tidak pernah tunduk pada hukum apapun, kiat intelijen dalam keadaan darurat selalu menulis hukumnya sendiri, (Hendropriyono, 2013; 167-169).
Dalam buku keduanya, “Filsafat Intelijen: Sebuah Esai Ke Arah Landasan Berpikir, Strategi, Serta Refleksi Kasus-Kasus Aktual”, Hendropriyono membuat pembahasan yang sedikit berbeda.
Filsafat Intelijen, seperti asas identitas (kesamaan dengan objek acuan), nonkontradiktif, (prinsip konsistensi) dan exclusive middle (prinsip pemilihan). Bab ketiga menjelaskan tentang hakikat filsafat intelijen sebagai sebuah disiplin ilmu yang bergerak secara beririsan antara filsafat dan intelijen. Bab keempat dalam judul “Kecepatan (velox) dan Ketepatan (exactus)” mengeruk lebih dalam tentang intelijen. Bab ini menjadi pertaruhan ketika epistemologi kebenaran harus berbanding dengan ketepatan sebagai wilayah praksis. Bab kelima berjudul “Filsafat Strategi”. Isinya refleksi atas kasus-kasus yang sedang dihadapi oleh dunia. Masing-masing bab dihiasi dengan foto-foto esai yang relevan dengan penjelasan.
Foto-foto tersebut tidak sekadar memberi nuansa santai, tetapi berhasil membawa pesan pengarang. Pengarang diberi kemampuan yang lebih dibanding yang lain dalam mengolah daya pikir, daya juang, dan daya hidup untuk bangsa. Sebagai contoh pengarang mengangkat kasus kedatangan diplomat Jerman ke kantor suatu lembaga swadaya masyarakat yang kini telah dibubarkan.
Kasus ini menjadi bagian dari metode hitam dalam spionase. Paparan tersebut tampak dalam kutipan di bawah ini: Kedatangan seorang diplomat Jerman ke markas Front Pembela Islam pada tanggal 17 Desember 2020, jelas menunjukkan suatu pelanggaran terhadap konvensi Jenewa dalam hubungan internasional dan etika diplomatik. Walaupun alasan diplomat tersebut adalah hanya berbelasungkawa pribadi atas tertembaknya 6 anggota laskar FPI, tetapi perilaku itu tidak logis dilakukan oleh seorang diplomat (Hendropriyono, 2021; hlm. 171).
Kutipan itu memberikan contoh aktual dengan sikap ilmiah yang jelas. Hal itu menurutnya dItunjukkan sebagai bagian dari praktik “hitam” oleh diplomat Jerman dan pertimbangan-pertimbangan yang tidak logis dalam membangun komunikasi di negeri orang. Metode klandestin ini secara sadar atau tidak sadar menjadi bagian dari praktik-praktik intelijen di dunia.
Contoh lain, kasus terorisme yang mengemuka pada dua dekade terakhir tak luput menjadi perhatian dari penulis. Menurutnya, kasus tersebut mengikutsertakan berbagai taktik dalam intelijen. Mulai dari metode abu-abu hingga keterlibatan pelaku di dalam perang proxy.
Mencermati tentang kasus yang panjang dan rumit, pengarang berhasil menguraikan secara jernih. Dia memberi solusi: Strategi intelijen pengamanan adalah menjalankan deradikalisasi.” Itu dilakukan melalui istilah operasi balik intelijen (OBI). Teknik deradikalisasi merupakan pendekatan lunak terhadap pelaku sebelum mereka melaksanakan aksi terorisme.
Gaya bahasa, contoh-contoh yang aktual, serta analisis yang tajam membuat buku filsafat intelijen ini tidak tergantikan. Pendek kata, sekalipun buku ini berasal dari pengalaman militer yang sangat kental, tetapi gagasannya yang merentang panjang memberi inspirasi pada wacana kebudayaan. Buku ini sangat dibutuhkan oleh praktisi dalam berbagai bidang ketika dunia kompetisi berjalan sangat ketat.
Seorang manajer perusahaan membutuhkan informasi dan analisis intelijen untuk melakukan proyeksi atas produk yang hendak dipasarkan. Demikian pula seorang ahli politik, sosial, maupun budaya. Analisis data yang tepat akan menghasilkan putusan-putusan strategis dan sangat bermanfaat untuk masa depan.
Kelebihan buku ini sangat mencolok. Langkah-langkah yang ditulis oleh seorang praktisi di bidang intelijen sekaligus sebagai seorang guru besar di bidang intelijen cukup detail. Ini pantas saja karena pengarang tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai satu-satunya guru besar bidang intelijen di dunia. Tidak sulit kiranya menyatakan bahwa gagasan ini perlu dilihat sebagai sebuah ikhtiar pertama dan terbesar dalam mengembangkan filsafat intelijen sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur (STFT) Abepura-Papua
Daftar Pustaka:
- Hendropriyono A.M. 2013. Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia. Jakarta: KOMPAS.
- Hendropriyono A.M. 2021. Filsafat Intelijen: Sebuah Esai Ke Arah Landasan Berpikir, Strategi, Serta Refleksi Kasus-Kasus Aktual. Jakarta: Hendropriyono Strategic Consulting.
Data buku:
- Judul: Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia.
- Penulis: A.M. Hendropriyono.
- Penerbit: PT Kompas.
- Tahun Terbit: 2013.
- ISBN: 978-979-709-710-3
- Tebal Buku: xvi 232 hlm; 14 cm x 21 cm.
- Judul: Filsafat Intelijen: Sebuah Esai Ke Arah Landasan Berpikir, Strategi, Serta Refleksi Kasus-Kasus Aktual.
- Penulis: Prof. Dr. A.M. Hendropriyono
- Penerbit. PT Hendropriyono Strategic Consulting.
- Tahun Terbit: 2023.
- Tebal Buku: xii + 204.