Oleh: Thomas Ch Syufi*
Indonesia sebagai negara demokrasi adalah pilihan ideal, sehingga tidak ada ruang bagi kekerasan. Demokrasi lebih menghormati kebebasan, kedaulatan rakyat, dan HAM. Maka dari itu, rakyat Papua menganggap demokrasi menjadi jalan terbaik, sehingga demo penolakan terhadap pemekaran daerah otonomi baru (DOB), merupakan perwujudan dari demokrasi substansial.
Orang Papua memperkuat demokrasi melalui kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Demokrasi di Indonesia bukan demokrasi prosedural dan normatif, yang hanya terjadi secara periodik saat pemilihan umum (pemilu). Filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) mengatakan, demokrasi merupakan kekuatan penting bagi perdamaian.
Jadi, rakyat Papua memiliki hak untuk menyuarakan dan memerotes berbagai kebijakan pemerintah Indonesia, termasuk menolak pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) dan perubahan sepihak terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021.
Perubahan Undang-Undang Otsus dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat tanpa mengkonsultasikan atau meminta pendapat rakyat Papua—diwakili Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), termasuk DPR Papua serta DPR Papua Barat—yang menjadi sasaran dari pemberlakuan Otsus.
Protes dan penolakan terhadap pemekaran provinsi baru oleh rakyat Papua dengan mengusung tema “Tolak Pemekaran, Cabut Otsus, dan Menuntut Referendum”, merupakan realitas tak terbantahkan. Penolakan oleh orang Papua terhadap kebijakan negara Indonesia itu, tidak dapat dibantah dengan retorika dan narasi elitis yang tidak berbasis fakta dan data.
Jelas bahwa une image vaut mille mots (sehelai gambar lebih efisien daripada seribu kata). Jadi, Otsus Papua—yang dianggap sebagai solusi yang ditawarkan dan diberikan oleh pemerintah pusat untuk rakyat Papua sejak tahun 2001—belum memberikan ekses signifikan untuk perbaikan hidup rakyat Papua.
Lebih dari 20 tahun Otsus Papua diimplementasikan. Satu provinsi (Papua Barat) dan sejumlah kabupaten juga telah dimekarkan sejak adanya otsus Papua. Namun, otsus tetap dianggap gagal oleh rakyat Papua.
Kini pemerintah pusat ingin melakukan hal yang sama, yakni menambah empat provinsi baru di Tanah Papua (pemekaran DOB Papua Selatan, Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya), sehingga total menjadi 6 provinsi di Bumi Cenderawasih.
Alasan klasik pemerintah pusat bahwa memekarkan Papua menjadi banyak provinsi, bertujuan untuk akselerasi pembangunan atau memperpendek rentang kendali pelayanan kepada masyarakat asli Papua. Dalih tersebut dianggap irasional dan kontradiktif, karena selama 20-an tahun Otsus berlaku dan pemekaran DOB tetap saja dianggap gagal oleh orang Papua.
Rakyat Papua dan isu kesejahteraan kerap kali menjadi komoditas politik elite-elite nasional yang berkolaborasi dengan segelintir elite Papua, yang berwatak oportunis dan pragmatis. Mereka menawarkan paket otsus dan pemekaran DOB supaya bisa berinfiltrasi dengan segala agenda gelap (hidden agenda), seperti kepentingan bisnis, mengeruk segala sumber daya alam, dan melanggengkan politik pendudukan (migrasi), hingga membuat alam Papua akan hancur, dan mengubah komposisi penduduk OAP (orang asli Papua) menjadi minoritas, serta ancaman genosida.
Politik pendudukan
Segala kebijakan politik pemerintah Indonesia sejak aneksasi (integrasi) tak pernah menyelesaikan persoalan. Kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM), percepatan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, transmigrasi, Otsus, pemekaran, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat), serangan mortir, dan berbagai peraturan silih berganti diluncurkan di Tanah Papua.
Akan tetapi, itu semua gagal mengakhiri tuntutan keadilan dan hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Aspirasi orang Papua malah digubris dengan kekerasan, yang berujung pada pertumpahan darah dan kematian.
Semua kebijakan, termasuk Otsus Papua dan pemekaran DOB yang bermotif ekonomi dan politik devide et impera, serta politik pendudukan atau settler colonialism (kolonialisme berupa mengubah penduduk asli menjadi penduduk lain) yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di Tanah Papua, diduga sebagian besar adalah hasil analisis Badan Intelijen Negara (BIN) Indonesia. Jadi, terbukti beragam kebijakan politik Jakarta yang bersumber dari hasil analisis BIN tidak pernah menyelesaikan konflik Papua.
Analisis BIN untuk pemekaran itu justru memperkeruh keadaan, memperpanjang mata rantai kekerasan, hingga menambah daftar panjang kematian orang Papua. Kebijakan pemerintah Indonesia dengan mewarisi politik zaman Imperium Romawi dan Belanda, untuk memecah belah dan menguasai Tanah Papua—Otsus, pemekaran DOB, merekrut tokoh lokal untuk mengendalikan sistem paling bawah, dan menciptakan konflik horizontal—tidak akan efektif.
Sejarah mencatat berbagai negara gagal mempraktikkan politik memecah belah dan menguasai. Makedonia di bawah Alexander Agung (356-323) sudah runtuh, Romawi di bawah pemerintahan Gaius Julius Caesar (100-44 SM) dengan motonya “Vini, Vidi, Vici” yang berambisi mengekspansi seluruh dunia telah bubar, dan Belanda juga sudah pergi dari Indonesia.
Selanjutnya, hampir semua negara Afrika telah melepaskan diri dari politik memecah belah dan menguasai atau pendudukan, yang merupakan ‘anak kandung’ dari sistem kolonialisme, imperialisme, dan rasisme Barat. Padahal, bangsa penakluk telah menghabiskan tenaga, pikiran, bahkan anggaran besar untuk membiayai tentara dan polisi, termasuk membiayai kegiatan memata-matai (spionase).
Kekalahan politik pendudukan dan memecah belah serta menguasai di negara-negara Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan Oseania merupakan akibat dari penindasan yang melampaui aspek keadilan, kebohongan melebihi kejujuran, hingga lahir pemberontakan yang berkelanjutan dari rakyat tertindas, untuk merebut kebebasan sebagai sumber masa depan kehidupan umat manusia.
Selain itu, faktor kelelahan dari bangsa penakluk (penjajah) juga merupakan indikator lepasnya suatu daerah yang menjadi koloninya. Karena demi ambisi dan kejayaan, menurut Hendarmin Ranadireksa dalam bukunya ”Arsitektur Konstitusi Demokratik”(2009), negara penakluk harus mengelola dan mengawasi wilayah jajahan yang kadang berjarak ratusan ribu kilometer sampai ribuan mil (dengan mengurus orang-orang yang memiliki karakter dan ras berbeda).
Bahkan, tidak ada kesinambungan keberhasilan dari pemerintah (penguasa) yang baru dengan pemerintah yang lama. Berbagai kebijakan spektakuler dari pemimpin lama, sulit ditiru (dilanjutkan) oleh penguasa baru. Karena setiap rezim tentu memiliki paradigma berbeda, hingga dapat membuatnya menjadi subjektif dan egoistis dalam mengelola negara.
Hal ini sangat berpotensi membawa negara menuju kegagalan dan disrupsi, termasuk gagal mengendalikan wilayah jajahannya. Hanya kesuksesan desain politik bangsa kulit putih (Barat) yang paling nampak sampai sekarang. Australia berhasil memecah belah, menguasai, dan mengubah penduduk asli Aborigin menjadi minoritas dan marginal. Tersisa 3 persen dari total penduduk Australia dan pendatang Inggris Raya menindas orang-orang asli Indian di Amerika.
Namun, banyak negara modern yang justru mengalami transformasi yang pesat, yaitu sejahtera dan makmur usai melepaskan wilayah jajahannya, baik secara sukarela, maupun terpaksa, seperti Italia, Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Jepang, dan Portugis yang populer dengan jargon gold, glory, gospel.
Memang dari serangkaian fakta ini dapat membenarkan bahwa apa pun bisa dirampas dari manusia, kecuali satu, yaitu, kebebasan terakhir seorang manusia—kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan, kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.
Akhirnya, kekerasan bukan jawaban yang tepat untuk merespons aspirasi politik rakyat Papua yang menolak berbagai kebijakan non populis pemerintah Indonesia, termasuk otsus Papua dan pemekaran DOB di Tanah Papua.
Solusi bagi perdamaian di Papua hanya dapat dijumpai di ruang dialog (perundingan bermartabat) antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua, sebagaimana dialog Indonesia-GAM di Helsinki, Finlandia, yang melahirkan MoU 15 Agustus 2005, untuk mengakhiri konflik dan memulai perdamaian di Aceh. Selesai. (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Advokat muda Papua
Discussion about this post