Oleh: Siorus Degei
Seperti dalam kamus pemikiran Hegel bahwa antitesis atau kontradiksi adalah suatu respons rangsang tesis atau negasi sebuah objek. Dalam hal ini kontradiksi Jakarta datang sebagai reaksi atas pandangan orang Papua, bahwa mereka sah untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri.
Pendeta Kijne memiliki kharisma di bidang tarik suara, sehingga untuk mempersatukan semua anak Papua, yang walau serumpun tapi menyisihkan perbedaan budaya dan bahasa itu, mereka harus dipersatukan agar tumbuh rasa persatuan bahwa mereka adalah satu Papua.
Guna menumbuhkan kesadaran kepapuaan ini Pdt. Kijne mendirikan grup paduan suara, yang mempertemukan anak-anak muda Papua dari berbagai daerah, suku, bahasa, dan budaya. Mereka dididik untuk menerima dan mencintai perbedaan, dan saling menghargai sebagai saudara (satu Papua).
Dari sinilah benih-benih kepapuaan yang kemudian terkanonisasi sebagai nasionalisme Papua.
Selain peran Pdt. Kijne dalam dunia pendidikan, sosok lain yang juga turut serta dalam menumbuhkan nasionalisme kepapuaan itu adalah van Echoud, Presiden Pertama New Guinea (kini Papua). Beliau adalah seorang awam Katolik yang memerintah Papua dengan penuh cinta. Beliau sangat mencintai kaderisasi terhadap bangsa Papua.
Bagi van Echoud, Belanda sewaktu-waktu bisa kembali, yang akan tetap tinggal di Papua adalah orang Papua, sehingga beliau merasa perlu untuk mempersiapkan bangsa Papua di semua lini pemerintahan, agar ketika Belanda pergi, bangsa Papua itu bisa mengatur dan mengelola bangsanya sendiri.
Sehingga melalui program papuanisasi beliau mulai mendirikan komunitas-komunitas lokal untuk menggembleng anak-anak muda Papua yang sudah selesai bersekolah, untuk kemudian bisa bekerja di kantor-kantor bersama orang Belanda dan para amber (pendatang) lainnya, sehingga kelak merekalah yang akan mengatur kantor-kantor itu dan kehidupan berbangsa mereka.
Kiprah van Echoud ini juga sangat memperkuat rasa nasionalisme kepapuaan itu dalam diri orang asli Papua. Bahwa orang Papua sejak tahun 1880-an itu telah tertanam pemikiran dasar bahwa mereka adalah bangsa Melanesia. Mereka adalah bangsa Papua, mereka sedang dipersiapkan oleh misionaris dan pemerintah Belanda, untuk kelak berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa dan negara yang bebas, merdeka dan berdaulat sebagaimana bangsa-bangsa lain di penjuru bumi. Dengan semangat yang ada itu tokoh-tokoh nasionalis Papua saat itu sudah mulai memikirkan konsep-konsep dasar pembentuk negara Papua.
Kurang lebih demikian secara selayang pandang proses penyemaian nasionalisme kepapuaan dalam diri orang Papua. Proses penyemaian ini sangat berbeda jauh dengan proses penyemaian benih nasionalisme keindonesiaan.
Penyemaian nasionalisme keindonesiaan tidak terjadi melalui lembaga pendidikan, sistem pemerintahan, dalam waktu yang lama, disiplin dan sistematis seperti proses penyemaian benih nasionalisme kepapuaan, tetapi terjadi sebaliknya dan teramat jauh. Proses penyemaian nasionalisme keindonesiaan itu terjadi secara sembunyi-sembunyi, tidak berlangsung lama dan mendalam.
Transformasi itu terjadi secara singkat dan wilayah yang terbatas. Misalnya Sam Ratulangi–tapol Belanda yang diasingkan ke Serui, hanya bertemu beberapa orang. Ini pun tidak terakomodasi baik. Hanya imparsial.
Bagi Materay nasionalisme kepapuaan itu sepertinya lebih besar, kokoh dan kuat dalam sanubari orang Papua, ketimbang spirit nasionalisme keindonesiaan yang nyaris nihil. Nasionalisme keindonesiaan itu mulai digencarkan di Papua pascaaneksasi 1962 dan Pepera 1969.
Ketika Papua dicaplok ke dalam NKRI, sistem pendidikan ala Indonesia mulai mereduksi pola pikir generasi muda Papua–di samping upayanya dalam membumihanguskan literatur-literatur yang membicarakan identitas asli orang Papua sebagai satu bangsa dan negara, yang terpisah dari Melayu-Indonesia.
Kurang lebih inilah tesis (pro negasi versi orang Papua) fundamental orang Papua mengapa mereka mau merdeka dan atau lepas dari bingkai NKRI.
Integrasi sah, NKRI Harga Mati: Antitesis Jakarta
Seperti dalam kamus pemikiran Hegel bahwa antitesis atau kontradiksi adalah suatu respons rangsang tesis atau negasi sebuah objek. Dalam hal ini kontradiksi Jakarta datang sebagai reaksi atas pandangan orang Papua, bahwa mereka sah untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri.
Adalah sebuah kebenaran dan bukan sebuah kekeliruan kontradiksi Jakarta ini, tapi alangkah baik kita bersama-sama secara kritis, analitis dan objektif meneropong kontradiksi ini dari lebih dekat.
Pertama, landasan hukum yang selalu dijustifikasi oleh kubu kontra Jakarta adalah bahwa melalui aneksasi 1962 dan Pepera 1969, terlebih yang termanifestasi dalam New York Agreement 15 September 1962 dan Roma Agreement Oktober 1962, terlihat secara konstitutif bahwa integrasi Papua ke dalam bingkai NKRI itu final, dan karenanya Papua sah dalam pelukan NKRI.
Kedua, tanpa ada niat untuk mendistorsi argumen kontradiksi Jakarta ini, penulis hendak mengajak sidang pembaca untuk masuk dalam peristiwa aneksasi 1962 dan Pepera 1969 di Papua secara singkat tapi mendalam, guna melihat kedua peristiwa itu secara objektif atau apa adanya.
Ada buku bagus yang bisa menuntun kita secara pelan-pelan dan baik tentang bagaimana proses integrasi Papua ke dalam NKRI itu terjadi secara objektif, yakni buku “Act Free Choice In West Papua” yang ditulis oleh Drooglever, peneliti asal Belanda, dan diterbitkan oleh penerbit Kanisius. Dalam buku setebal 6.000 halaman itu, Dr. Drooglever menakar secara seksama bagaimana proses Pepera 1969 itu berlangsung.
Drooglever mencatat bahwa Pepera 1969 di Papua itu berlangsung dengan penuh tipu muslihat dan manipulasi dari pihak pemerintah Indonesia (dan ini bukan rahasia umum).
Bahwa Pepera 1969 itu berlangsung di bawah represi militer Indonesia yang besar atas rakyat Papua. Hanya 1.025 orang yang berkenan ikut memilih gabung bersama Indonesia dan anti-Nederland (Belanda) atau ikut Belanda anti-Merah Putih.
Akan tetapi, karena di bawah tekanan senjata laras militer NKRI, maka secara takut dan terpaksa 1.025 orang Papua itu memilih bergabung bersama Indonesia. Dan mereka ini sebelumnya sudah diancam oleh aparat keamanan bahwa mereka akan dibunuh jika menolak bergabung dengan Indonesia dan jika memilih untuk bergabung, maka mereka juga akan memperoleh imbalan yang berlimpah.
Bahkan sebelum memilih itu mereka telah dikubur di Bali dengan ditemani gadis malam, minuman alkohol dan alunan musik disko, sehingga mereka mau tidak mau harus menuruti titah NKRI.
Kurang lebih inilah potret peristiwa integrasi Papua ke dalam Indonesia, yang saat ini menjadi substansi kontradiksi argumen pihak Jakarta bahwa integrasi Papua final, dan Papua sah dalam bingkai NKRI.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dialog adalah sebuah proses percakapan. Berdialog berarti bertukar pikiran tentang suatu pokok persoalan atau permasalahan yang selalu mengitari kehidupan manusia.
Sejak Papua diintegrasikan ke dalam pangkuan Republik Indonesia sejak tahun 1963 banyak persoalan menyangkut diskriminasi terus menghantui kehidupan masyarakat Papua.
Kongres Papua II yang diselenggarakan di Jayapura pada Juni 2000 mengenai dialog adalah salah satu bentuk sarana dalam mencari opsi dan langkah untuk menyelesaikan masalah Papua. (*/Bersambung)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua