Oleh: Boban Abdurazzaq Sanggei
Dalam membentuk sebuah peradaban tentu yang diharapkan adalah kemajuan, baik ilmu pengetahuan, kesenian, kehidupan sosial, maupun kepandaian menulis. Dari kemajuan dapat menciptakan kerukunan dan ketenangan, sehingga dapat membangun sarana-sarana untuk kepentingan kolektif.
Bisa dikatakan peradaban merupakan karya atau produk yang diciptakan oleh masyarakat di sebuah wilayah, seperti karya kebudayaan dan keilmuan. Faktor keilmuan inilah yang melahirkan aktivitas sosial, politik, ekonomi dan aktivitas kultur lainnya.
Kerja-kerja keintelektualan dan keilmuan dari anggota masyarakat menjadi faktor lahir, tumbuh dan berkembangnya sebuah peradaban. Sejarawan, filsuf dan penulis buku “The Story of Civilization” Will Durrant mengatakan bahwa rukun peradaban terbagi menjadi empat, yaitu, pertama, tatanan ekonomi; kedua, tatanan politik yang mana organisasi politik berbentuk negara; ketiga, tradisi moral nilai-nilai kebaikan, serta keburukan yang dianut dan dipatuhi oleh masyarakat tersebut; dan keempat, upaya-upaya ilmiah dan upaya untuk mengembangkan kebudayaan.
Jika kita melihat pembahasan di atas dan merujuk pada pernyataan Will Durrant, semua hal ini dapat dibangun jika masyarakat dapat berpikir dan memiliki ilmu pengetahuan dengan membaca dan belajar melalui pendidikan.
Namun, pendidikan seperti apa yang mampu membahas segala aspek dalam masyarakat? Hanya satu yaitu pada perguruan tinggi atau universitas.
Pembahasan kali ini tentunya kita dapat meneropong lebih jauh terkait permasalahan di Papua yang secara politik, ekonomi, pendidikan dan sosial masih jauh dari kata well done. Mengapa? Karena dari masing-masing subpokok tersebut belum ada titik yang menjadi ‘corak’ Papua itu sendiri. Dan tentunya permasalahan pendidikan di Papua menjadi sebuah polemik yang tidak ada habisnya di tataran akademisi.
Banyak dosen bahkan mahasiswa yang sering berdebat tentang arah pendidikan orang Papua. Namun di satu sisi, permasalahan ini tidak bisa selesai hanya sebatas diskusi atau berdebat di ranah akademik. Harus ada langkah konkret untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Jika kita membaca beberapa artikel di internet, banyak anak Papua yang berminat mengikuti tes masuk TNI/Polri dari jalur otonomi khusus (otsus). Tidak heran jika mereka sangat tertarik untuk menjadi aparat keamanan, karena pola pikir mereka yang cenderung menganggap aparat keamanan sebagai profesi yang keren dan gaji tinggi.
Kita tidak bisa mempermasalahkan ketertarikan mereka terhadap profesi tersebut. Namun, kita dapat mengambil hipotesis bahwa ketertarikan pemuda/i Papua pada ranah akademik sudah hilang.
Dalam beberapa tahun terakhir banyak rekrutmen di lembaga TNI/Polri yang dikhususkan untuk orang Papua menggunakan dana otsus. Dilansir dari Surabayatribunnews.com tanggal 25 Oktober 2021, sekitar 1.000 pemuda asli Papua resmi menjadi TNI AD dengan pangkat bintara. Anehnya kuota ini terus melonjak sampai sekarang, bahkan pada pangkat tamtama kuota perekrutannya lebih gila, yaitu sekitar 2.000 orang yang direkrut secara bertahap dari Februari 2022. Pola ini juga diterapkan pada perekrutan bintara polisi, baik bintara polisi tugas umum, maupun bintara brimob.
Hal ini aneh menurut penulis, karena penetapan kuota sebanyak itu pada setiap pangkat akan membuat pemuda-pemudi Papua dari tahun ke tahun lebih memprioritaskan untuk mendaftar sebagai aparat keamanan dibanding melanjutkan pendidikan di universitas.
Hal ini terlihat dari sedikitnya kuota afirmasi pendidikan tinggi (ADIK) dan afirmasi pendidikan menengah (ADEM) tahun 2022 di Provinsi Papua sebesar 850 orang. Itu pun dibagi lagi sehingga ADIK mendapat kuota sebesar 500 orang dan ADEM mendapat 350 orang, sedangkan di Provinsi Papua Barat dibatasi 400 orang.
Hemat penulis hal ini merupakan masalah yang sangat besar, karena pemuda-pemudi Papua ini jika kita ibaratkan sebagai pelari estafet, mereka sedang menunggu tongkat dari para orang tua. Dalam artian mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin Papua selanjutnya.
Jika kebanyakan dari mereka digiring untuk mengikuti pendidikan yang kaku, dibatasi hierarki, dan manut perintah atasan, maka peradaban Papua tidak akan pernah terbentuk. Karena dalam membangun sebuah peradaban tentunya dibutuhkan para pemikir atau cendekiawan yang kritis, kreatif, aktif dan inovatif, untuk menentukan kemana arah Papua akan bergerak.
Di sisi lain, Papua belum mempunyai sosok inspiratif yang ideal dalam bidang pendidikan atau pemerintahan–yang memperjuangkan hidup manusia-manusia Papua pada konteks HAM dalam sebuah negara. Karena cara itulah yang mampu meningkatkan minat pendidikan pemuda-pemudi Papua.
Sangat disayangkan jika pola pikir pemuda-pemudi Papua hari ini berfokus tentang mendapatkan profesi yang dianggap keren dan gaji tinggi. Akan tetapi, mereka lupa bahwa banyak siasat dari pemerintah pusat dan investor yang sedang mengeruk habis sumber daya alam Papua.
Salah satu contoh yang sudah terjadi diceritakan oleh I Ngurah Suryawan dalam bukunya “Papua Versus Papua”. Ia sempat berdiskusi dengan empat orang Arguni tentang saudara mereka di Aroba, Tufoi, Furwata dan Tanah Merah, Kabupaten Teluk Bintuni yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kaimana. Mereka mengatakan bahwa hutan-hutan yang terbentang dari Aroba, Tufoi sampai Teluk Arguni Atas sudah habis ditebang karena masuknya perusahaan kayu dan kelapa sawit.
Untuk mencegah hal-hal tersebut terjadi secara masif, maka dibutuhkan pemuda-pemudi Papua yang sadar dan mampu menyadarkan masyarakat di pedalaman, tentang keharusan menjaga tanah yang telah diturunkan dari nenek moyang orang Papua.
Dari permasalahan di atas penulis ingin menekankan pada pemerintah, bahwa akar permasalahan ini dari tingkat buta huruf anak di kampung masih sangat tinggi. Bagi anak-anak asli Papua yang belum tahu membaca hal ini merupakan masalah yang besar.
Pada suatu waktu penulis mengikuti program pengabdian kepada masyarakat di Kabupaten Kaimana, dengan menjadi tenaga pengajar di kampung. Banyak murid kelas 4-6 Sekolah Dasar yang belum bisa membaca. Jika pun bisa mereka sebatas masih mengeja. Anehnya kampung itu bukan daerah terisolir.
Dalam pandangan penulis mereka memiliki semangat belajar yang tinggi. Namun, ada satu fasilitas yang tidak terpenuhi, yaitu perpustakaan dan buku-buku bacaan. Hal ini yang mengakibatkan tingginya angka putus sekolah. Mengapa? Karena ketidaktahuan membaca membuat mereka minder ketika masuk di tingkat pendidikan selanjutnya. Dengan tidak bisa membaca mereka sering menjadi bahan ejekan dan membuat mereka malu, sehingga berdampak pada mental dan percaya diri mereka. Hal tersebut menghasilkan redupnya minat pendidikan bagi anak-anak Papua, yang akan berimbas pada masa depan mereka dan tanah Papua.
Dilansir dari TribunPapuaBarat.com, Kapolda Papua Barat, Irjen Pol Daniel Tahi Monang Silitonga mengatakan, ada beberapa polisi jalur otsus yang tidak bisa membaca. Tapi kenapa mereka diterima menjadi polisi?
Hal ini membuat penulis berhipotesis bahwa ada pola yang dimainkan antara pihak aparat keamanan dengan pemerintah untuk mengumpulkan SDM “berkualitas” yang sebetulnya dapat diasah pada pendidikan. Jadi, intinya ketika murid minder dengan ketidaktahuannya akan membaca, mereka akan memilih profesi yang tidak mengandalkan pengetahuan tersebut, sehingga pada masa-masa itu timbullah keputusasaan dari pribadi mereka.
Pada akhirnya, ada beberapa poin yang dapat diambil:
Pertama, hal yang harus diutamakan dalam membangun peradaban Papua adalah pendidikan. Jangan dulu mengajarkan tentang pengetahuan dasar seperti punuk unta berisikan apa, tetapi fokus pada membuat murid dapat membaca, karena membaca merupakan dasar untuk mengetahui dan memahami seluruh ilmu pengetahuan, serta di satu sisi mereka tidak akan malu dan minder saat melanjutkan pendidikannya;
Kedua, anak-anak dan pemuda-pemudi Papua membutuhkan sosok intelektual yang inspiratif saat mereka sedang menempuh pendidikan, baik sosok aktivis, politisi, atau akademisi yang aktif bersuara dan independen;
Ketiga, pemuda-pemudi Papua harus mampu melihat kondisi Papua hari ini secara kritis, kreatif, aktif dan inovatif dalam menentukan apa yang seharusnya mereka lakukan, untuk mencerahkan peradaban Papua. Hal itu hanya dapat dikembangkan pada tataran universitas. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur