Oleh: Louis Kabak*
Daerah Otonomi Baru (DOB) itu sederhananya membuka daerah pemerintahan baru seperti provinsi dan kabupaten baru, dilanjutkan dengan pembukaan kecamatan dan desa atau kampung baru. Dengan hadirnya pemekaran satu sampai dua keluarga bisa menjadi satu kecamatan atau satu keluarga menjadi satu desa atau dua kampung menjadi satu kecamatan (distrik). Dengan begini pemekaran daerah di Papua dapat mengakibatkan budaya sosial dan rasa solidaritas yang tinggi dari orang Papua punah karena proyek pemekaran.
Dulu kita hidup bersatu, kerja bareng-bareng, gotong-royong dan makan sama-sama. Akan tetapi, karena pemekaran kita tidak akan pernah bisa bekerja sama. Kita akan menjadi orang-orang yang egois. Jadi, jangan berbangga dan mengira bahwa pemekaran wilayah di Papua ini akan membangun kehidupan yang damai bagi kita orang Papua. Orang Papua justru akan menjadi orang-orang yang pragmatis dan egois atau hanya mementingkan kelompok sendiri.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) sudah memekarkan daerah otonomi baru (DOB) sejak diberlakukannya undang-undang tersebut. Sejak UU Otsus pertama itu diberlakukan pintu terbuka lebar bagi pemekaran wilayah di Tanah Papua.
Pada tingkatan yang lebih luas, pemekaran provinsi dan kabupaten akan dibarengi dengan pemekaran kampung di setiap daerah Papua (Suryawan, 2017). Dari gambaran Suryawan ini kita bisa melihat dengan jelas bahwa pemekaran daerah akan memecah-belah orang Papua.
Pemekaran kampung itu menjadi satu niscaya bagi negara untuk memperpendek rentang kendali kesejahteraan rakyat dan keadilan infrastruktur. Namun, fakta di lapangan terbalik. Sesama orang kampung justru saling curiga, saling memusuhi satu sama lain dan berujung pada konflik berkepanjangan.
Ketua Komite Nasional Papua Barat, Agus Kossay mengatakan, otonomi khusus (pemekaran) sudah pasti akan memecah-belah konsentrasi rakyat Papua untuk memperjuangkan kemerdekaan (Jubi.co.id , 15/2/2022). Pemekaran juga melahirkan elite-elite lokal yang berkuasa. Pada tingkatan bawah, elite-elite lokal baru ini merupakan para kepala desa.
Banyak potret dan fakta dimana para kepala desa dengan dalih kekuasaan menjadi tuan-tuan penjajah baru yang memeras sesama orang Papua di kampungnya masing-masing. Banyak kepala desa yang menggelapkan dana ratusan juta hanya untuk memperkaya keluarga sendiri.
Pemekaran itu artinya pemerintah akan mengucurkan dana ratusan bahkan miliaran di daerah pemekaran provinsi, kabupaten bahkan sampai ke kampung-kampung yang ikut dimekarkan. Kucuran dana yang tidak terkontrol ini akan mengakibatkan persoalan baru di tengah-tengah rakyat.
Pemekaran akan membuat elite-elite lokal demam uang. Para kepala desa tidak jarang melakukan demo di kabupaten dengan alasan macam-macam, seperti, alasan penggelapan dana, pemotongan dan lain-lain.
Para kepala desa/kampung di Yahukimo tahun 2010 melakukan demo karena kantor BPMK yang berurusan dengan dana desa memotong dana kampung sekitar Rp 16 juta di setiap kampung dari total 517 kampung di Kabupaten Yahukimo (nokenwene.com, 19/11/2020). Bahkan lebih parahnya para kepala kampung ini mengancam akan menggagalkan pemilihan bupati dan wakil bupati tahun 2021 di Yahukimo.
Hal-hal seperti ini sering terjadi tidak hanya di Yahukimo, tetapi hampir di seluruh Tanah Papua. Hal lain dampak dari pemekaran ini adalah akan terjadi pula politik primordialisme dalam birokrasi pemerintahan. Siapa yang berkuasa dia akan membawa orang-orang dari suku lain dan keluarganya sendiri untuk menduduki jabatan tertentu di dalam sistem birokrasi.
Baru-baru ini sempat viral video pernyataan Bupati Pegunungan Bintang, Spei Yan Bidana. Dia dengan tegas atas nama rakyat Pegunungan Bintang tidak mau bergabung dengan provinsi pemekaran baru yang dipaksakan oleh DPR. Ia berargumen bahwa pemekaran ini tidak jelas esensinya dan pemimpin juga harus kritis melihat kebijakan Jakarta ini. Alasan lain tidak mau bergabung dengan Provinsi Papua Selatan dan Papua Pegunungan Tengah karena sudah menderita selama 45 tahun. Bupati Pegunungan Bintang bahkan dengan tegas menyampaikan agar Pegunungan Bintang diberikan provinsi sendiri jika ada pihak yang tidak menyetujui pendapatnya (papua.tribunnews.com, 25/6/2022).
Aturan undang-undang sama sekali tidak berjalan. Pasal-pasal yang mengatur tentang “jika terjadi penggelapan dana oleh kepala kampung akan dihukum sesuai dengan pasal dan prosedur hukum” juga tidak berlaku bagi wilayah yang dimekarkan. Aturan itu hanya menjadi aturan formalitas di atas kertas putih. Padahal jika benar-benar negara mau membangun kesejahteraan, negara juga harus memastikan sejauh mana proses pembangunan melalui dana ini terealisasikan seperti semangat awal yang direncanakan.
Hal-hal seperti fungsi kontrol dari negara sama sekali tidak berjalan, maka para elite lokal ini mengeluarkan kebijakan sesuai kemauan sendiri. Jikapun rakyat lain yang melakukan protes atas praktik korupsi bisa jadi masalah baru yang bisa berdampak buruk.
Dengan melihat dan merefleksikan apa yang terjadi di daerah pemekaran, maka negara memekarkan Papua hanya untuk memecah-belah orang Papua, baku tipu rame, dan saling memusuhi antarsesama warga kampung.
Dengan melihat fakta demikian, rakyat Papua harus belajar dan sadar akan dampak dari pemekaran wilayah itu sendiri. Kita tidak bisa menyambut pemekaran ini dengan semangat bahwa pemekaran akan memberikan kehidupan yang lebih baik. Namun pemekaran ini justru merupakan gula-gula yang akan membuat sesama orang Papua saling berebut jabatan, baku pukul, baku bunuh dan sebagainya. Oleh karena itu, nilai-nilai luhur harus dipertahankan meskipun negara memecah-belah kita orang Papua. (*)
* Penulis adalah pemuda Papua
Discussion about this post