Jayapura, Jubi – Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Arie Ruhyanto PhD menilai pemekaran Papua memiliki sejumlah tujuan yang tidak diumumkan pemerintah, termasuk untuk meredam konflik bersenjata di Papua. Akan tetapi, pemekaran wilayah Papua terdahulu menunjukkan tingkat gangguan keamanan dan kekerasan terhadap warga sipil justru meningkat di Dearah Otonom Baru hasil pemekaran.
Hal itu dinyatakan Arie dalam selaku pemateri dalam webinar “DOB Papua: Studi dan Riset?” yang diselenggarakan secara daring oleh Perhimpunan Mahasiswa Papua Jerman pada Sabtu (25/06/2022). Arie mengatakan pemekaran yang dilakukan di Papua lebih bernuansa politik, dan dijadikan upaya meredam konflik dengan cara mengirimkan lebih banyak aparat keamanan ke Papua.
Pemekaran akan diikuti dengan pendirian infrastruktur militer yang dibarengi dengan pembangunan fasilitas pemerintahan di daerah pemekaran itu. “Derah-daerah dipecah [atau dimekarkan] untuk meredam konflik,” katanya.
Arie menyatakan pembentukan Daerah Otonom Baru yang terdahulu telah membentuk banyak kabupaten baru di Papua, dan membentuk Provinsi Papua Barat. “Pembentukan provinsi baru maupun kabupaten baru di Papua juga dijadikan cara mengurangi ancaman keamanan terhadap para [aparatur sipil negara yang menyelenggarakan] pelayanan publik tersebut. Itu relatif berhasil di beberapa daerah [di Papua],” ujarnya.
Akan tetapi, Arie juga menyoroti pengiriman aparat keamanan yang justru kerap memicu peningkatan eskalasi kekerasan di Papua, lantaran aparat keamanan yang dikirim dari luar Papua tidak memahami kondisi sosial budaya masyarakat Papua. Akibatnya, pengiriman aparat dari luar Papua ke Papua semakin menguatkan trauma masyarakat Papua dengan kehadiran tentara dan polisi itu.
“Tujuan untuk mengurangi gangguan keamanan tidak berhasil, karena gangguan keamanan justru meningkat di Papua. Juga kekerasan [terhadap warga sipil di Daerah Otonom Baru],” kata Arie.
Ia mengemukakan bahwa perlu dilakukan adalah evaluasi terhadap daerah pemekaran. Selain itu perlu segera digelar resolusi konflik dengan melakukan pendekatan bukan secara institusi, tetapi langsung terhadap masyarakat Papua. “Untuk memenangkan hati dan pikiran orang Papua harus dibangun jiwanya, bukan melihat dari untung atau ruginya,” katanya.
Sebelumnya, Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua menyatakan bahwa selama tahun 2019 – 2021 terdapat kurang lebih 46.286 personel TNI/POLRI dikirim sebagai Bantuan Kendali Operasi (BKO) ke Tanah Papua. ESLHAM Papua menilai pengiriman tambahan aparat keamanan di Papua telah gagal menyelesaikan konflik di Papua. (*)
Discussion about this post