Oleh: RD Yoseph Bunai*
Saya adalah imam Gereja Katolik Roma yang ditahbiskan oleh Uskup Keuskupan Bandung, Mgr. Antonius Bunjamin Subianto, OSC (Ketua Konferensi Waligereja Indonesia), di Paroki Santo Mikael Bilogai 2021 lalu. Setelah ditahbiskan, saya ditugaskan menggembalakan umat Tuhan di Paroki Santo Yohanes Pemandi Bilai dan Santo Petrus Mbugulo. Kemudian, pada 2023 saya dimutasi ke Paroki Titigi.
Selama bertugas sebagai pastor rekan maupun pastor paroki di ketiga paroki di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah, saya benar-benar melihat, mendengarkan, merasakan dan mengalami seluruh dinamika pastoral di paroki-paroki ini. Dinamika itu terbangun dalam lingkup suasana konflik berkepanjangan antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan TNI/Polri sejak Desember 2019 sampai hari ini.
Konflik tersebut sangat mempengaruhi kegiatan pastoral. Namun, pada artikel ini saya ingin menyoroti persoalan pendidikan formal di Kabupaten Intan Jaya dalam terang dokumen Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis. Ada beberapa pihak yang disebutkan dalam dokumen ini sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap dinamika hidup-matinya pendidikan di Intan Jaya.
Potret kecil wajah pendidikan di Intan Jaya
Ada beberapa sekolah yang tersebar di beberapa distrik di Kabupaten Intan Jaya antara lain: di Distrik Sugapa terdapat 2 TK, 8 SD, 2 SMP dan 1 SMA; Distrik Hitadipa terdapat 1 TK, 3 SD, 1 SMP; Distrik Ugimba terdapat 1 SD; Distrik Tomosiga terdapat 1 SD; Distrik Agisiga terdapat 2 SD; Distrik Wandai terdapat 4 SD dan 2 SMP; Distrik Homeyo terdapat 2 TK, 10 SD, 2 SMP, 1 SMK, dan Distrik Biandoga terdapat 1 TK, 6 SD, 1 SMP.
Selama ini saya mengamati bahwa proses belajar-mengajar di semua sekolah, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA/SMK tidak berjalan baik. Bahkan boleh dikatakan “lumpuh” total. Ada sekolah yang hanya tinggal bangunan; ada yang hanya ada muridnya, tetapi tidak ada guru; ada juga yang ada gurunya, tetapi minim jumlah muridnya.
Ada beberapa contoh kasus yang ingin saya utarakan: pertama, pada 2021 lalu SMP YPPK Bilai terpaksa dipindahkan ke pusat kabupaten di Sugapa; kedua, mayoritas guru di SD YPPK Titigi, SD Inpres Mbugulo dan SMP Negeri Mbugulo terpaksa menetap dan mengajar sebagai guru pembantu di Sugapa; ketiga, para guru dan murid terpaksa bermigrasi ke kabupaten tetangga, seperti Timika, Nabire dan Paniai, untuk menetap dan melanjutkan proses belajar-mengajar di sana.
Mengapa terjadi demikian? Alasannya hanya satu, konflik bersenjata. Tidak ada alasan lain.
Konflik yang terjadi selama ini sungguh-sungguh menggerogoti proses pendidikan yang berlangsung. Apa boleh dikata, konflik tidak hanya mengakibatkan kehilangan nyawa, tetapi sekaligus membunuh secara brutal masa depan anak-anak asli Intan Jaya. Miris.
Gravissimum Educationis
Pendidikan merupakan salah satu unit karya pastoral yang tidak luput dari perhatian Gereja Katolik. Perhatian Gereja pada pastoral pendidikan nampak jelas dalam dokumen Gravissimum Educationis dalam Dokumen Konsili Vatikan II yang dicetuskan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 28 Oktober 1965 dalam Konsili Ekumenis.
Secara garis besar, ada 12 poin penting yang diulas dalam dokumen ini, di antaranya, pertama, hak semua orang atas pendidikan; kedua, pendidikan Kristen; ketiga, mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan; keempat, aneka upaya untuk melayani pendidikan Kristen; kelima, pentingnya sekolah; keenam, kewajiban dan hak orang tua; ketujuh, pendidikan moral dan keagamaan di sekolah; kedelapan, sekolah-sekolah katolik; kesembilan, berbagai macam sekolah katolik; kesepuluh, fakultas dan universitas Katolik; kesebelas, fakultas teologi, dan; kedua belas, koordinasi di bidang pendidikan.
Tentu semua artikel tidak dibahas di sini. Yang dibahas hanya sedikit penekanan, yang saya pikir sesuai dengan maksud penulisan artikel ini. Dengan meminjam satu poin kecil (artikel 3) dari dokumen ini, saya ingin menjabarkan sedikit tentang siapa saja yang bertanggung jawab atas pendidikan yang diselenggarakan.
Penekanan pertama diberikan kepada peran orang tua, “karena orang tua menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban umat berat untuk mendidik anak mereka. Maka, orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama”.
Melalui sakramen perkawinan yang mereka terima, mereka bertanggung jawab secara aktif untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak-anak. Orang tua dengan semangat Injil menciptakan “lingkungan keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka”.
Penekanan kedua diberikan kepada mereka yang bertugas dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pendidikan. Orang tua (keluarga) sudah memberikan pendidikan pertama bagi anak-anak, namun mereka juga “memerlukan bantuan seluruh masyarakat”.
Pada konteks inilah, artikel ini hendak menegaskan peran pemerintah (negara), para guru, dan juga lembaga masyarakat dan agama dengan yang dengan “pelbagai cara memajukan pendidikan generasi muda, misalnya melindungi kewajiban maupun hak-hak para orang tua serta pihak-pihak lain yang memainkan peranan dalam pendidikan, dan membantu mereka sesuai dengan prinsip subsidiaritas melengkapi karya pendidikan”.
Tujuannya adalah dengan maksud bahwa “sejauh dibutuhkan bagi kesejahteraan umum, mendirikan sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan” yang terukur dan berbobot.
Akhirnya, secara eksplisit artikel ini menegaskan bahwa “pendidikan termasuk tugas Gereja”. Gereja sangat berperan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Gereja menyumbangkan bantuannya, baik secara moril, maupun materil kepada semua bangsa, untuk mendukung penyempurnaan pribadi manusia seutuhnya, dan demi pembangunan dunia sehingga menjadi semakin manusiawi.
Bagaimana kita menyikapi realitas pendidikan di Intan Jaya?
Dalam semangat Gravissimum Educationis, saya ingin menegaskan beberapa hal untuk menjadi perhatian bersama:
Pertama, kepada para pihak yang bertikai, dalam hal ini TPNPB-OPM dan TNI/Polri. Perhatikanlah! Pendidikan di Intan Jaya mati karena konflik bersenjata. Oleh karena itu, kedua pihak harus menahan diri. Atas nama pendidikan dan masa depan anak-anak kita, TPNPB-OPM harus mengurangi pergerakannya dan Pos TNI Raider 300 di Titigi dan Silatuga segera ditarik kembali;
Kedua, kepada pemerintah Kabupaten Intan Jaya dan Provinsi Papua Tengah. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas memberi mandat kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberdayakan para guru, menciptakan akselerasi antara kompetensi dan metode pengajaran, serta sarana-prasarana yang dibutuhkan dalam proses belajar-mengajar.
Dan yang paling penting adalah mengkomunikasikan situasi konflik Intan Jaya kepada pihak-pihak yang berkompeten, agar dicarikan solusi yang tepat;
Ketiga, kepada para pemimpin agama. Tetaplah konsisten mendidik umat Tuhan, baik itu melalui pengajaran dan ibadah di sekolah, maupun melalui peneguhan iman di gereja. Menjadi guru merupakan salah satu dari tiga tugas Kristus yang harus kita tanggung secara konsekuen;
Keempat, kepada para guru dan orang tua murid serta tokoh masyarakat. Guru dan para orang tua murid, anak-anak kita sangat membutuhkan pendampingan dan perhatian dari kita. Seorang anak dapat bertumbuh dengan baik berkat pendampingan dari kita.
Marilah kita bersama-sama mendampingi mereka dengan penuh cinta.
Dan yang terakhir, untuk para tokoh masyarakat, peran Anda sekalian sangat dibutuhkan, demi menciptakan keamanan dan ketertiban umum. Tetaplah menjadi garam dan terang bagi masyarakat Anda. (*)
* Penulis adalah Pastor Paroki Santo Fransiskus Xaverius Titigi, Intan Jaya, Dekenat Moni – Puncak Jaya, Keuskupan Timika, Provinsi Papua Tengah

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!