Oleh: Siorus Degei
Sejak 2 Januari, Jayapura dirundung kegelisahan akibat gempa bumi. Tafsiran merebak luas. Banyak pula kajian geografis dan topografis para pakar.
Kajian-kajian yang termanifestasi dalam pelaporan BMKG juga sepertinya tidak memberikan pencerahan. Sebab disinyalir kuat bahwa musibah kali ini agak beda dengan musibah serupa sebelumnya.
Penulis melihat fenomena gempa bumi di West Papua ini dari perspektif berbeda. Penulis hendak melihat fenomena tersebut bukan sebagai efek geologis semata, melainkan sebagai “kode alam”. Bahwa eksistensi ekologi West Papua di ambang ekosida di tahun 2023.
Bahwa alam hendak berdemonstrasi kepada bahwa melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2024 (RPJMN) dan 366 MoU Kesepakatan KTT G20 Bali, eksistensi ekologi di West Papua berada dalam ancaman ekosida (pemusnahan ekologi, alam ciptaan).
Kita harus sadar bahwa pandemi Covid-19 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian global. Banyak negara di dunia yang terancam bangkrut. Bahkan sudah ada yang bangkrut, semisal Srilanka. Ada banyak negara yang masuk dalam daftar hitam negara pontensial bangkrut di tahun 2023 ke atas.
Kita juga jangan lupa dengan prediksi-prediksi dan analisis-analisis sosio-politis dari beberapa tokoh dunia, semisal Sekjen PBB, Fernando Guiteres bahwa akan ada kabut hitam yang akan melilit tahun 2023. Ungkapan tersebut adalah pesan atau kode penting. Katakanlah semacam alarm bahwa akan ada resesi dan krisis ekonomi yang meroket dan menggurita di dunia.
Rupanya bangsa Indonesia juga masuk dalam kategori negara potensial bangkrut. Sebagaimana ungkapan Menteri Ekonomi Sri Mulyani bahwa akan resesi dan krisis ekonomi yang hebat di Indonesia tahun 2023. Hal ini dilatarbelakangi oleh lilitan utang luar negeri Indonesia sekitar 12 ribuan triliun.
Kita memaklumi bagaimana psikologi orang atau pihak yang dililit utang besar. Hampir pasti tidak akan tenang, dan menghalalkan berbagai cara guna melunasi utang luar negerinya dalam tempo tertentu.
Psikologi pemerintah Indonesia saat ini persis demikian. Pemerintah mulai putar otak untuk melunasi utang luar negerinya. Beragam cara, gaya, metode dan pendekatan dihalalkan. Salah satu upaya negara adalah dengan jalan “mencuri” kekayaan alam di Kalimantan dan West Papua.
Itu terekam dalam draft Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional periode 2020-2024.
Dalam RPJMN tersebut akan dibangun 23 smelter dan 27 sumur bor di West Papua. Untuk mengelabui bangsa West Papua, maka Jakarta memainkan strategi “politik gorengan” melalui dua paket kebijakan negara, yakni Otonomi Khusus dan Daerah Otonomi Baru (DOB).
Wacana dan agenda DOB dan Otsus mendominasi topik percakapan di West Papua sepanjang 2020-2023 (hingga 2024). Banyak aktivis mengarahkan massa bangsa West Papua sekadar untuk menikmati “politik gorengan” Jakarta tanpa kritis.
Protes bangsa West Papua terhadap negara dan seperangkat regulasi dilakukan secara maraton. Demonstrasi mahasiswa dan rakyat West Papua terhadap negara melalui aksi penolakan Otsus dan DOB menghiasi dan mendominasi opini publik sepanjang 2020 – 2022.
Namun, lagi-lagi realisasinya nihil. Negara sama sekali tidak mengubris tuntutan damai, demokratis, pancasilais dan humanis rakyat West Papua tersebut.
Negara konsistensi “kepala batu” sepanjang tahun 2020-2022 atas aspirasi penolakan Otsus dan DOB. Sebaliknya negara secara sepihak, manipulatif, cacat hukum, cacat moral dan akhlak meloloskan Otsus dan DOB.
Hal semacam ini lumrah, sebab, seperti yang sudah kita angkat pada wajah tulisan, bahwa NKRI sedang dikejar dept kolektor global lantaran lilitan utang luar negeri pasca Covid-19.
Dapat kita katakan bahwa Kalimantan dan West Papua akan menjadi tumbal utang luar negeri bangsa Indonesia di tahun 2023-2024. Sama seperti bangsa West Papua, bangsa Dayak di Kalimantan juga dikelabui dengan “politik gorengan“ NKRI yang termanifestasi dalam ide perpindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan.
Kenapa Papua dan Kalimantan? Sebab hanya dua pulau ini yang menyimpan cadangan sumber daya alam yang melimpah. Solusi terakhir Indonesia untuk melunasi utang luar negerinya adalah dengan jalan perampokan kekayaan alam milik orang asli Papua dan orang Dayak.
Pemerintah Indonesia tidak memikirkan nasib generasi penerus dari dua entitas itu (OAP dan Dayak). Negara Indonesia tidak memberikan jaminan proteksi yang pasti atas eksistensi bangsa West Papua dan Dayak. Yang negara pikir adalah bagaimana utang luar negerinya dilunasi dengan cucuran darah manusia dan alam yang tidak salah dan berdosa atau yang tidak terlibat dalam praktik korupsi di Indonesia.
Negara tidak memenuhi hak-hak dasar bangsa West Papua dan Dayak. Negara telantarkan dan mengalienasi manusia Papua dan Kalimantan, guna menguasai kekayaan alam Papua dan Kalimantan secara kapitalis, feodalis dan imperialis.
Kembali lagi pada topik tulisan ini. Sejatinya fenomena alam dalam bentuk gempa bumi di West Papua Jayapura itu adalah protes alam. Bahwa alam hendak mengundang bangsa West Papua untuk berdialog dan berekonsiliasi.
Alam mengundang bangsa West Papua untuk memulihkan tali kekeluargaan yang sudah terputus lantaran ketamakan (eksploitasi) sumber daya alam. Bahwa karena selama ini jalinan koneksi persahabatan antara alam dan manusia Papua sangat parasitisme atau tidak saling menguntungkan.
Alam hendak mendokumentasikan paradigma ekologis bangsa West Papua, dari yang melulu dan konsisten antroposentrisme (pandangan superioritas manusia atas alam sebagai entitas inferior), tidak pula melulu biosentrisme (bahwa alam yang penting dan utama dan perabadan semesta), tetapi menjadi paradigma ekologis yang baru, yakni kosmosentrisme (bahwa manusia dan alam adalah setara sebagai ciptaan Tuhan dan penghuni alam semesta yang sama-sama bernilai adanya).
Bangsa West Papua mesti sadar bahwa gempa di Jayapura awal 2023 itu sebenarnya adalah ungkapan profetis ekologis. Bahwa alam West Papua terancam ekosida lantaran hasrat kapitalisme, imperialisme dan liberalisme global melalui RPJMN dan 366 MoU Kesepakatan KTT G20 Bali.
Gempa bumi adalah “kode alam” bagi bangsa West Papua untuk kembali berdialog dan berekonsiliasi dengan alam. Perlu ada komunikasi harmonis antara manusia dan alam Papua sebagai satu keluarga. Para tetua adat di West Papua mesti menyapa alam yang sedang tidak tenang dengan penuh cinta kasih.
Manusia Papua mesti bertanya kepada alam kenapa dirinya meronta demikian? Apa gerangan yang menyebabkan ia meronta?
Jika alam disapa dan diajak berdialog secara baik-baik, maka hampir pasti tidak akan terjadi gempa. Alam hanya ingin didengarkan. Sudah saatnya manusia West Papua merendahkan hati, untuk mendengarkan dan melaksanakan aspirasi-aspirasi alam.
Barangkali sudah saatnya pemerintahan alam berdaulat atas manusia di West Papua. Sebab jika kita kritisi selama ini rezim manusia di West Papua tidak membuat Papua bertransformasi menjadi tanah damai. Sebaliknya hanyalah peperangan, kekerasan, konflik, pertumpahan darah, air mata, penindasan dan penjajahan.
Manusia Papua terbilang gagal memimpin diri dan bangsanya karena ego, ambisi, gengsi, dan status quo lainnya, yang menyebabkan perbedaan, gap, pertengkaran, dan lainnya. Alam West Papua sudah tahu bahwa dirinya akan menjadi tumbal utang luar negeri kolonial, kapital, dan imperial NKRI selama 2023-2024 melalui Realisasi Regulasi RPJMN dan 366 MoU KTTG20 Bali.
Manusia West Papua mesti dengan cepat dan cermat berdialog dan berekonsiliasi dengan alam. Bangsa West Papua mesti lahir kembali dari rahim ekologis.
Ciri dan corak manusia West Papua yang sudah lahir baru secara ekologis adalah manusia Papua yang memandang dan memperlakukan alam seperti dirinya sendiri. Jika ia merusak alam itu berarti ia merusak dirinya sendiri. Jika ia membunuh alam, maka itu berarti ia membunuh dirinya sendiri.
Manusia Papua yang sudah diinisiasi secara ekologis melalui dialog dan rekonsiliasi ekologis tidak akan pernah jual tanah, hutan, kayu, pasir, batu, dan lain-lain. Sebab itu berarti ia menjual dirinya sendiri.
Dalam perspektif di atas kita bisa menyatakan bahwa mungkin selama ini bangsa West Papua sudah tidak lagi berdialog dan berekonsiliasi dengan alam. Bahwa manusia West Papua senantiasa menjual tanah, merusak tatanan alam, membunuh alam yang adalah manifestasi konkret dirinya sendiri. Sehingga tidak salah teguran alam mahadasyat terjadi di Jayapura.
Bahwa bangsa West Papua tidak memperlakukan alam sebagaimana memperlakukan dirinya sendiri, melainkan alam melulu dipandang dengan kacamata ekonomis, bisnis, kapitalis, kartel, oligarki, komoditas dan lainnya.
Mengakhiri tulisan ini penulis rekomendasikan beberapa hal:
Pertama, gempa bumi di Jayapura adalah kode alam. Bahwa eksistensi ekologis di West Papua terancam ekosida melalui pembangunan sarana dan prasarana penunjang, seperti jalan, jembatan, bandara, dan lain-lain;
Kedua, alam West Papua sudah tahu bahwa melalui RPJMN 2024 dan 366 MoU KTT G20 Bali eksistensinya benar-benar terancam. Sehingga alam membuat gempa bumi agar manusia West Papua mau berdialog dan berekonsiliasi dengan alam secara mutualistik-kosmosentris;
Ketiga, bangsa West Papua mesti lahir baru dalam ekologi dengan menjadikan alam tidak saja menjadi sahabat, saudara dan keluarga, tapi diri sendiri. Sematkan semangat cinta kasih Kristus sebagai pupuk solidaritas ekologis demi persaudaraan semesta. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua