Oleh: Thomas Ch Syufi*
Sahabat saya mantan aktivis Timor Timur (selanjutnya Timor Leste), Luciano Romano Valentim da Conceicao atau Timor Maubere, pada suatu siang bercerita tentang aksi heroik dan monumental, sekaligus menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Timor Leste. Bersama 28 rekannya, Luciano melakukan aksi lompat pagar di Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat untuk Indonesia, di Jakarta. Aksi mereka dilakukan saat KTT APEC atau Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation),ย 15-16 November 1994 di Bogor, Jawa Barat.
Konferensi ini dihadiri pemimpin negara-negara APEC; PM Jepang Tomiichi Murayama, PM Australia Paul Keating, Presiden Filipina Fidel Ramos, Presiden Tiongkok Jiang Zemin, Presiden Meksiko Carlos Salinas, Presiden Chili Eduardo Frei Ruiz-Tagle, dan Presiden Indonesia Soeharto, serta Presiden AS, Bill Clinton.
Ketika itu Luciano singgah sepekan di Jakarta dalam perjalanan pulang dari Dhaka, Bangladesh ke Dili, ibu kota Timor Leste.
Kami berkenalan lebih dekat setelah sebelumnya hanya berkenalan melalui media sosial. Sosok sahabat itu kini menjadi Konsul Jenderal (Konjen) Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) di Sydney, Australia.
Ketika bertemu di Jakarta, kami semakin akrab sehingga bebas bercerita tentang banyak hal, mulai dari kisah heroik mereka tahun 1994 itu dan perjuangannya di panggung diplomasi tahun 1995-1999 keliling Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.
Iaย ย juga mengulas soal sejarah rakyat Timor Leste menanamkan bibit nasionalisme, menenun persatuan, dan berjuang merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonialisme Portugis selama 400 tahun (1702-1975) dan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999). Memang benar bahwa semakin ditindas, betapa masyarakat semakin mencintai kebebasan.
Saya lebih banyak mendengar kisahnya. Saya merasa bahwa momen ini merupakan kesempatan untuk mendengar cerita dari orang-orang hebat, meski Luciano tak sehebat seniornya, Jose Manuel Ramos-Horta dan Mari Alkatiri. Benak saya ketika itu ibarat kertas kosong, yang siap menampung segala kisahnya perihal perjuangan kemerdekaan Timor Leste.
Luciano pernah menggebuk Presiden Soeharto dengan koran di Kota Dresden, Jerman Timur tahun 1995, ketika Soeharto melakukan lawatan kenegaraan bersama rombongan, termasuk Menteri Luar Negeri Ali Alatas di Jerman.
Tumpuan utama aksi mereka di Kedubes AS adalah mencari perhatikan pemimpin negara-negara Asia-Pasifik, termasuk Presiden Bill Clinton, sekaligus memanfaatkan kesempatan itu untuk meminta suaka politik ke luar negeri.
Dalam aksi tersebut, tiga orang aktivis, termasuk Timor Maubere lolos melompati pagar dan masuk ke dalam Kedubes AS.
โWaktu itu, kami tiga orang yang berhasil lompat pagar masuk ke dalam Kedutaan Besar (AS) dan kami rencana harus mengorbankan salah satu rekan di antara kami bertiga untuk menjadi tumbal, entah saya atau kedua teman yang lain, dengan cara meracuni. Biar ada yang mati dalam Kedubes, agar isu Timor Timur makin mencuat ke permukaan, hingga menarik perhatian semua pemimpin Asia-Pasifik yang sedang mengikuti KTT APEC di Bogor,โ katanya.
Juru bicara mereka kala itu adalah Domingo Sarmento Alves, mahasiswa jurusan psikologi perburuhan dan organisasi, di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Kelak Domingo menjadi Duta Besar Timor Leste untuk Jepang dan Duta Besar untuk Amerika Serikat.
Aksi lompat pagar itu membuat ketar-ketir dan mengganggu konsentrasi para pejabat istana, termasuk Presiden Soeharto di tengah penyelenggaraan KTT APEC tersebut.
Soeharto pun segera memerintahkan Menteri Luar Negeri Ali Alatas untuk mengkoordinasikan hal tersebut dengan para pejabat Kedubes AS dan sejumlah kedubes negara sahabat lainnya di Jakarta, untuk menerima aspirasi para pemuda Timor Leste, yang meminta suaka politik ke berbagai negara, supaya tidak mengganggu kondusifitas KTT APEC, dan tidak terkesan buruk terhadap reputasi Indonesia di mata pemimpin negara-negara sahabat. Kedubes Portugal, Jerman, dan Inggris kemudian mengabulkan permohonan suaka politik para pemuda Timor Leste itu.
Meski mereka telah mendapat jawaban positif atas permintaan suaka politik oleh sejumlah kedubes itu, aksi mereka sudah terlanjur menyebar kemana-mana, bahkan hingga terdengar oleh para kepala negara Asia-Pasifik yang mengikuti KTT APEC di Bogor.
Kejadian itu juga disiarkan oleh berbagai media nasional dan internasional, termasukย The Jakarta Post, Tempo, danย Gatra. Insiden tersebut juga dilaporkan secara langsung oleh para duta besar dari setiap negara APEC di Jakarta kepada pemimpin-pemimpinnya yang menghadiri KTT APEC Bogor.
Setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 tekanan dunia internasional semakin keras, termasuk dari Amerika tentang pelanggaran HAM di Timor Leste, sekaligus mendesak pemerintah Indonesia segera menggelar referendum, sebagai solusi demokratis bagi penyelesaian konflik 24 tahun di bekas provinsi ke-27 RI tersebut.
BJ Habibie yang baru saja menjabat presiden menggantikan Soeharto, terpaksa mengajukan proposal referendum ke PBB dan disetujui PBB. Hasilnya 78,5 persen rakyat Timor Leste memilih merdeka, sedangkan sisanya prointegrasi.
Indonesia saat itu mendapat banjir pujian dan pengakuan dari masyarakat internasional, termasuk Inggris, AS, dan Australia. Mereka mengakui bahwa Indonesia sebagai negara yang demokratis dan layak menjadi salah satu negara dengan eksperimen demokrasi terbaik untuk negara-negara Asia Tenggara di masa depan.ย Bersambung. (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Advokat muda Papua
Discussion about this post