Oleh: Bernard Koten*
Sekilas makna demokrasi
Dalam arti ketat demokrasi berasal dari kata Yunani ini, ‘demos’ berarti rakyat dan ‘cratein/cratos’ berarti kedaulatan atau kekuasaan, sehingga demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berada di rakyat. Itu berarti semua keputusan yang tertinggi berada di tangan rakyat.
Arti semantik demokrasi ini, kemudian dikembangkan oleh berbagai pemikir atau filsuf dan kepala negara di dunia ini. Tak heran, hampir kebanyakan negara di dunia ini menganut paham demokrasi, termasuk di Indonesia.
Salah satu makna demokrasi yang cukup terkenal adalah dari Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln yakni pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Seorang politikus terkenal Jerman Joseph Schumpeter menjelaskan demokrasi merupakan suatu rencana institusi untuk mencapai keputusan politik. Individu bisa mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan dan memperjuangkan suara rakyat. Atau Sidney Hook, filsuf Amerika beraliran pragmatis menjelaskan demokrasi adalah bentuk pemerintahan, dimana keputusan pemerintah secara tidak langsung berdasarkan kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat.
Pengertian lainnya dijelaskan oleh Henry B. Mayo, seorang ilmuwan dari Kanada, demokrasi adalah sistem politik yang menunjukkan kebijakan umum atas dasar wakil yang diawasi oleh rakyat melalui pemilihan secara berkala atas dasar kebebasan politik. Masih banyak lagi pengertian demokrasi lainnya.
Dari beberapa pengertian di atas, rakyat adalah sentralnya. Bagaimana dengan kita di Indonesia, khususnya di Tanah Papua?
Negara masih ‘bertangan besi’ di Tanah Papua
Pada tiga tahun belakangan ini (2019-2022), khususnya ketika rakyat asli Papua bersuara akan ‘ketidakjelasan kebijakan’, ruang demokrasi dalam hal menyampaikan pendapat di muka umum tetap menjadi cerita pilu. Sebut saja di tahun 2019, rakyat Papua di berbagai daerah di Tanah Papua yang menolak tindakan rasis.
Ketika aksi penolakan ini dilakukan, ‘korban rasis’ (rakyat Papua) semakin ditekan. Banyak rakyat Papua yang ditangkap dan mengalami kekerasan fisik. Pengiriman pasukan keamanan semakin masif ke Tanah Papua. Kehadiran pasukan militer yang berlimpah ruah di Tanah Papua, tak menyurutkan semangat perjuangan rakyat Papua. Orang Papua tetap bersuara menentang ketidakadilan di negara yang konon sebagai demokrasi ini.
“Operasi keamanan di berbagai daerah di Tanah Papua akhir-akhir ini, tidak berjalan sendiri, melainkan kami duga dalam rangka mendukung agenda terselubung perampasan tanah dan hutan adat (sumber daya alam) milik masyarakat Papua oleh investor,” kata Pendeta Benny Giyai, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi).
Pernyataan Pendeta Giyai diperkuat lagi dengan hasil riset dari Made Supriatma yang berjudul “TNI/Polri in West Papua: How Security Reforms Work in the Conflict Regions”.
Dalam riset ini Supriatma mengungkapkan bahwa rasio penduduk dan personel keamanan per kapita adalah 97:1. Artinya, ada satu polisi atau tentara untuk setiap sembilan puluh tujuh orang Papua. Rasio ini menunjukkan bahwa konsentrasi pasukan keamanan di Papua jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya dengan rasio 296:1, artinya 1 personel keamanan untuk setiap 296 warga negara.
Berangkat ke tahun 2021 – 2022, pembungkaman terhadap suara rakyat semakin ‘gila’ ketika wacana ‘gula-gula’ politik (Otsus Papua) mendekati masa expired-nya. Hiruk-pikuk penolakan rakyat Papua ini ditanggapi dengan membangkitkan dan menghidupkan lagi wacana pemekaran daerah otonom baru (DOB).
Ribuan rakyat Papua yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua menggelar aksi menolak keberlanjutan otonomi khusus dan pemekaran DOB di Tanah Papua. Sejak diperkenalkan pada Juli 2021 Petisi Rakyat Papua terus bersuara menolak otsus Papua, pemekaran DOB dan mendukung penentuan nasib sendiri.
Beberapa kali orang Papua melakukan aksi turun jalan dan menyampaikan pendapat di muka umum, tapi suara mereka selalu dibungkam. Terakhir pada 10 Mei dan 3 Juni 2022, Petisi Rakyat Papua menjadi promotor untuk menyampaikan pendapat rakyat Papua di muka umum.
Dua kali aksi yang dilakukan secara damai ini tetap dibubarkan secara paksa. Massa aksi di beberapa wilayah di Tanah Papua mendapatkan kekerasan fisik dan ditangkap.
Pelajaran demokrasi untuk para elite di pusat negara Indonesia dan Tanah Papua
Beberapa hal yang perlu menjadi pelajaran negara Indonesia yang juga menganut paham demokrasi.
Pertama, kehadiran Petisi Rakyat Papua dan komunitas masyarakat adat Papua lainnya hampir selalu diperkenalkan ke publik. Ini berarti pergerakan Petisi Rakyat Papua dan komunitas masyarakat adat Papua tidak tersembunyi. Mereka menyampaikan pendapat dan aspirasinya berdasarkan apa yang mereka alami dan rasakan bertahun-tahun.
Mereka berani memperkenalkan diri dan bersuara walaupun mereka menyadari bahwa aspirasinya bertolak belakang dengan keinginan para elite dan penguasa di negara Indonesia dan Tanah Papua;
Kedua, suara masyarakat adat Papua yang disampaikan secara tulus tentang persoalan, selalu ditandingkan dengan suara ‘yang lain’. Aksi penolakan DOB dan otsus selalu ditandingi oleh ‘sekelompok warga’ yang mendukung DOB dan otsus. Warga sipil di Tanah Papua diadu domba oleh kepentingan dan kekuasaan para elit di Negara Indonesia dan Tanah Papua;
Ketiga, penguasa atau para elite di negara Indonesia seharusnya memfasilitasi dan mendengarkan suara rakyat, bukan mendengarkan perwakilan suara rakyat Papua (elite Papua) yang sudah ‘diboncengi’ oleh kepentingan lainnya;
Keempat, bertolak dari definisi semantik dan pemikiran Abraham Lincoln tentang demokrasi, para elite dan penguasa (negara) seharusnya menghormati, menghargai dan berterima kasih kepada masyarakat adat Papua, yang selalu mengkritik untuk perbaikan sebuah sistem demokrasi. (*)
* Penulis adalah staf SKPKC Fransiskan Papua
Discussion about this post