Jayapura, Jubi – Proses penyusunan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Freeport Indonesia masih terus berjalan dan dilakukan secara transparan. Mereka harus memahami budaya suku Amungme, sebab ini penting dalam wakil-wakil yang ikut dalam proses AMDAL tersebut. Ini semua menyangkut masa depan warga di sekitar lokasi maupun di luar areal konsesi PTFI termasuk pendangkalan akibat pembuangan tailing atau pasir sisa tambang.
“Tanpa keterlibatan langsung masyarakat setempat, yang secara langsung terkena dampak dari keputusan AMDAL, mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap budaya dan nilai-nilai luhur Suku Amungme. Keterlibatan masyarakat lokal dalam proses AMDAL merupakan aspek kritis yang tidak hanya memenuhi persyaratan hukum, tetapi juga mewakili komitmen perusahaan untuk menghormati dan memahami warisan budaya setempat,” kata Direktur Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA), Jhon Magal, kepada Jubi dalam pesannya melalui selular, Senin (22/1/2024).
Dia menambahkan keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL dapat dianggap sebagai langkah strategis untuk memastikan bahwa perspektif lokal secara adat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan proyek.
“Mengabaikan keterlibatan masyarakat dapat berdampak negatif pada hubungan antara perusahaan dan komunitas, yang pada gilirannya dapat memicu ketegangan sosial dan konflik,” kata mantan staf Corporate Communication (Corcom) PT Freeport Indonesia selama 10 tahun di Jakarta.
Oleh karena itu, lanjut dia, diperlukan pendekatan yang holistik dan inklusif dalam proses AMDAL, yang mencakup dialog terbuka dan transparan dengan masyarakat setempat.
“Ini tidak hanya akan meningkatkan pemahaman tentang dampak potensial proyek terhadap lingkungan dan budaya setempat, tetapi juga memperkuat keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan,” tambahnya.
Dikatakan sebagai bagian dari komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, perusahaan harus mengakui pentingnya mendengarkan aspirasi dan keprihatinan masyarakat setempat.
“Dengan melibatkan mereka secara aktif dalam seluruh siklus proyek, termasuk perencanaan AMDAL, PT Freeport Indonesia dapat memastikan bahwa keberlanjutan proyek tidak hanya diukur dari segi ekonomi dan lingkungan, tetapi juga dari aspek sosial dan budaya yang penting bagi masyarakat setempat,” tambahnya.
Dialog dan budaya musyawarah
Dia menambahkan sebenarnya tidak sukar bagi Suku Amungme untuk menjalin dialog yang tulus dengan PT. Freeport Indonesia, dengan tujuan mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.
“Suku Amungme berharap manajemen Freeport memberikan ruang yang memadai untuk berdiskusi kepada pihak yang secara langsung terdampak oleh aktivitas perusahaan tersebut,” katanya.
Budaya Amungme, lanjut dia, sangat dikenal sebagai budaya yang mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat dan pelaksanaan keputusan bersama.
”Hal ini dipraktekan dalam Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme selama bertahun-tahun,” katanya.
Dia menambahkan pada tahun 2000, Arnold Mampioper dalam bukunya berjudul “Amungme, Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartenz” telah mencatat bahwa masyarakat Amungme sejak zaman dahulu hidup dalam suasana sosial kemasyarakatan yang bermusyawarah untuk mencapai mufakat dan mengambil keputusan terkait segala aspek kehidupan bersama.
“Sebagai contoh konkret, terdapat proses musyawarah yang dilakukan untuk mencapai mufakat dan mengambil keputusan terkait izin bagi kelompok lain yang ingin berburu di hutan yang merupakan wilayah hak ulayat mereka,” katanya.
Sayangnya, lanjut John Magal, tampaknya manajemen perusahaan (PTFI/SLD/CA) belum sepenuhnya memahami budaya Amungme seperti ini.
“Oleh karena itu, penting sekali untuk memahami dan menghormati nilai-nilai serta tradisi lokal,” katanya.
Dikatakan bawa hal ini tidak hanya bersifat esensial dalam rangka mencapai keseimbangan yang adil, tetapi juga untuk menciptakan situasi yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat.
“Dengan demikian, pemahaman mendalam terhadap budaya lokal menjadi landasan utama dalam menjalin kerjasama yang berkelanjutan dan harmonis,” katanya.
Menurut John Magal yang juga menjabat sebagai Direktur Yayasan Generasi Amungme Bangkit (YGAB) bahwa pentingnya melibatkan Musyawarah Adat (Musdat) Suku Amungme dalam proses pengangkatan direktur adalah untuk memastikan representasi dan partisipasi yang lebih inklusif dari masyarakat adat Amungme dalam pengambilan keputusan strategis yang berdampak pada kehidupan mereka.
“Keterlibatan yang lebih luas dari musdat dapat menjadi sarana untuk membangun hubungan yang lebih solid antara PTFI dan masyarakat lokal, serta untuk memastikan bahwa kebijakan perusahaan dapat lebih baik mencerminkan kebutuhan dan aspirasi nyata dari komunitas tersebut,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, adalah peningkatan pemahaman dan komitmen manajemen PTFI terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang berbasis pada partisipasi masyarakat lokal menjadi esensial untuk mencapai hubungan yang lebih harmonis dan berkelanjutan antara perusahaan dan komunitas adat. (*)
Discussion about this post