Nabire, Jubi – Kondisi masyarakat adat asli Papua di daerah-daerah konflik bersenjata sungguh memprihatinkan karena menjadi korban berbagai aspek, bukan hanya aspek ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan, tapi rasa aman dan nyaman masih jauh dari harapan mereka.
Fakta yang terjadi di wilayah adat Meepago dapat disimak di Kabupaten Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, dan Nduga dimana warganya banyak yang mengungsi.
Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Adat Wilayah (DAW) VII Meepago, Marko Okto Pekei, pada momena Hari Hak Asasi Manusia (HAM), Minggu (10/12/2023).
Dia mengataka bahwa pada prinsipnya peringatan Hari Hak Asasi Manusia yang diperingati setiap tanggal 10 Desember pada setiap tahun mengingatkan umat manusia di dunia untuk menjunjung tinggi, menghargai, dan menghormati hak-hak asasi yang dimiliki oleh setiap orang siapapun, di manapun, dan kapanpun tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Menurut Pekei, setiap orang memiliki martabat yang sama, yang tidak bisa dianggap remeh, diabaikan, atau dihilangkan oleh siapapun dengan alasan apapun dan dengan kekuatan apapun. Saling menghargai dan menghormati hak asasi orang lain ialah prinsip utama dalam hidup berbangsa dan bernegara.
“Setiap orang berhak dan berkewajiban yang sama untuk merealisasikan hak-hak asasi yang dimiliki dalam kehidupan bersama. Demikian pula, memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Sekalipun harapannya demikian, tak dapat dipungkiri bahwa berbagai konflik yang muncul dalam kehidupan bersama pun seringkali tak terelakkan yang dilatarbelakangi oleh berbagai perbedaan yang ada. Perbedaan status sosial, perbedaan ras, perbedaan budaya, perbedaan cara pandang, dan perbedaaan ideologi,” kata Marko Okto Pekei kepada Jubi.
Ia mengatakan setiap pihak bisa menyimak dari kenyataan adanya aksi-aksi kekerasan antar kelompok, kekerasan bersenjata yang bermotif politis dan ekonomi yang berakhir pada jatuhnya korban jiwa antar pihak yang sudah berlangsung lama tanpa ada jalan keluar dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Adanya aksi protes yang disampaikan oleh pemilik ulayat tanah atas wilayah-wilayah tertentu yang direncanakan pemerintah untuk eksplorasi tambang.
“Masyarakat adat wilayah Meepago pun menjadi korban dalam beberapa aspek hidup lain, yakni aspek ekonomi, aspek kesehatan, dan aspek pendidikan. Hal ini dapat kita simak dari kenyataan yang ada. Misalnya dalam hal aspek ekonomi, tidak ada akses pasar yang ditata dan diatur secara baik oleh pemerintah daerah sehingga berdampak pada marginalisasi bagi mama-mama pasar di ruang publik,” kata Pekei.
Apalagi soal proteksi ekonomi kerakyatan berbasis orang asli Papua, lanjut Pekei, yang tidak ada selama.
“Dalam bidang kesehatan misalnya, ibu hamil dan anak-anak di kampung tidak terlayani sehingga ibu dan anak-anak menjadi korban. Apalagi banyak anak menjadi korban akibat munculnya penyakit serampa. Hal ini disebabkan karena obat-obat dan sarana prasarana serta kesiapan tenaga kesehatan yang kurang diperhatikan. Juga dalam bidang pendidikan, kegiatan belajar mengajar di sekolah di pinggiran kota dan di kampung yang notebene anak-anak asli Papua tidak diberikan prioritas perhatian pemerintah daerah,” ungkapnya.
Pekei mengatakan fakta hidup orang asli Papua dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan ini, lanjut dia, tidak pernah disadari selama ini padahal kondisi itu ialah merupakan bagian dari kekerasan struktural. Sementara, pemerintah daerah ada karena ada masyarakat. Lalu, sejauhmana perhatian pemerintah daerah kepada masyarakatnya? Ini yang selama ini menjadi pertayaan yang relevan dari masa ke masa.
Untuk itu Pekei sebagai Dewan Adat Wilayah VII Meepago menyampaikan semua pihak di Papua wajib mengutamakan manusia Papua di atas segala kepentingan dan menghargai sebagai manusia yang sama dengan cara menghindari konflik kekerasan yang saling melukai dan mengorbankan masyarakat.
“Masyarakat di beberapa kota di luar Tanah Papua mohon hargai mahasiswa-mahasiswi Papua yang sedang studi dengan cara tidak melakukan intimidasi, terror, dan kekerasan fisik lainnya ketika hendak menyampaikan pendapat di muka umum, sebab sebagai warga negara yang sama memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat di muka umum,” katanya.
Ia juga berharap kepada pemerintah harus mengedepankan pendekatan dialog dan mendengarkan aspirasi pemilik ulayat tanah apabila berkehendak melakukan eksplorasi di wilayah-wilayah tambang di daerah Intan Jaya, Nduga, Agimuga, dan sekitarnya agar tidak terkesan mengabaikan keinginan masyarakat pemilik ulayat tanah.
“Kekerasan bersenjata akibat adanya perbedaan ideologi harus diselesaikan melalui sebuah perundingan yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang disetujui oleh para pihak yang berkonflik. Dalam hal ini, pihak TPN PB OPM dan Pemerintah Pusat harus bersedia melakukan negosiasi pra perundingan yang tentu harus didahului dengan genjatan senjata. Apabila hal ini tidak dilakukan para pihak, maka kekerasan bersenjata sulit berakhir, sebab para pihak hanya menunjukkan kekuatan masing-masing dengan menampilkan gaya konflik,” katanya.
Pemerintah daerah di wilayah Meepago agar memprioritaskan perhatian kepada masyarakat setempat dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan supaya masyarakat tidak terus menjadi korban kekerasan struktural yang berkepanjangan.
“Sebab yang dialami bukan hanya marginalisasi dan matinya masa depan, tetapi juga korban nyawa yang tidak pernah dihentikan mata rantainya. Karena itu, pemerintah daerah tidak boleh menganggap biasa-biasa saja, tetapi harus memiliki kepedulian dan keberpihakan kepada masyarakat,” ujarnya. (*)