Nabire, Jubi – Dewan Adat Wilayah atau DAW Meepago menyatakan, konflik yang terjadi di Topo, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire bukan perang suku.
Hal ini dikatakan Ketua DAW Meepago, Marko Okto Pekei berdasarkan pantauan dan penilaian pihaknya yang menunjukkan tidak ada ciri-ciri terjadinya perang suku.
“Konflik yang terjadi Topo tidak nampak saling panah memanah dalam kondisi yang berhadapan di lokasi tertentu dalam jangka waktu tertentu. Kondisi itu tidak nampak dalam beberapa hari pasca terjadi pembicaraan atas sengketa tanah, bahkan dua orang korban nyawa yang pertama pun bukan dalam kondisi saling memanah, melainkan menjadi korban meninggal dunia sebagai pengguna jalan dalam situasi biasa,” ujar Marko Okto Pekei kepada Jubi di Nabire, Senin, (12/6/2023).
Selain itu, kata Pekei, tidak ada pemimpin yang memerintah dan memimpin perang antar suku. Tindakan beberapa orang di luar konteks masalah utama yang melakukan pemalangan, penyanderaan, kekerasan fisik, kekerasan seksual dan bahkan pembunuhan, menimbulkan amarah yang luas hingga muncul rasa simpati dari kalangan masyarakat suku Mee sehingga terjadi mobilisasi massa secara spontan.
“Singkat kata, konflik di Topo bukan perang suku, sebab tidak ada pemimpin yang memerintah, tidak ada pemimpin yang memimpin perang,” ujarnya.
Walaupun demikian tak dapat dipungkiri, konflik di Topo bukan hanya menyita perhatian publik di wilayah adat Meepago, tetapi juga seluruh Papua dan bahkan luar Papua. Konflik antar masyarakat tersebut telah menelan korban materi hingga korban nyawa.
Atas konflik tersebut, menurut Pekei, orang beramsi konflik di Topo ialah perang suku berdasarkan opini publik yang terbangun selama beberapa hari belakangan ini. Opini publik mengenai perang suku tersebut telah menimbulkan keresahan dan kekhawatiran masyarakat suku Mee dan suku Lani baik yang ada di daerah Nabire maupun beberapa daerah di luar Nabire.
Konflik tersebut tidak mengatasnamakan suku. Eskalasi konfliknya pun menurun setelah para Bupati se Meepago dan pimpinan aparat keamanan mendatangi masyarakat di Topo.
Ia menyampaikan kepada semua pihak harus menyampaikan informasi yang benar kepada publik dan berhenti menyebarkan informasi tidak benar yang justru meresahkan masyarakat. Seolah-olah masih sedang terjadi kekerasan fisik di Topo dan di Kota Nabire.
“Saya minta semua pihak berhenti menggiring konflik di Topo sebagai perang suku, tanpa melihat dinamika konflik dan perkembangan situasi yang sebenarnya, sebab tidak semua warga suku Mee dan warga suku Lani terlibat dalam konflik di Topo. Karena itu, jangan samakan konflik di Topo sama dengan perang suku yang terjadi di beberapa daerah lainnya,” katanya.
Menurut dia, konflik di Topo sudah ada upaya penanganan oleh para Bupati dan aparat keamanan. Semua pihak harus mendukung upaya penanganan dan penyelesaian yang sedang dilakukan agar konflik dapat diselesaikan secara baik dan tuntas.
“Saya harap suku Mee dan suku Lani di Kota Nabire, tetap menjaga keamanan bersama tanpa melakukan aksi saling mengganggu. Agar terbangun situasi yang dapat memungkinkan pembicaraan dan penyelesaian masalah. Untuk itu, perlu menahan diri dan hindari pihak lain masuk memprovokasi situasi yang ada untuk menunda penyelesaian masalah,” ujarnya.
Ia juga berharap kepada masyarakat Mee dan Lani yang ada di luar Nabire jangan terpengaruh. Apalagi membawa masalah yang terjadi di Topo ke daerah-daerah lain. Sebab pasca konflik di Topo kini tidak ada kekerasan fisik entah di Topo maupun di kota Nabire.
“Bahkan kini sudah ada upaya penyelesaian pokok masalah dengan melibatkan semua pihak,” kata dia. (*)