Jayapura, Jubi – Era 2001 Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Wacht (GFW) menerbitkan sebuah laporan berjudul,”Potret Hutan Indonesia.” Adapun yang tercantum dalam buku 120 halaman itu dilengkapi dengan peta dan foto tentang fakta fakta kerusahakan lingkungan dan hutan tropis tersisa di Indonesia khususnya di tanah Papua.
“Salah satu laporan yang mungkin sangat relevan dan sesuai dengan kondisi sekarang adalah, Kekayaan Alam yang sedang menuju kepunahan.” Begitupula dengan tutupan hutan dan menilai keadaan hutan di era 2000 an sampai sekarang.
Saat itu tiga pulau di Indonesia termasuk pusat kekayaan spesies di Indonesia antara lain Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya sekarang Papua dengan tujuh Provinsi antara lain Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua Barat Daya. Waktu itu wilayah Irian Jaya termasuk dalam kategori tingkat kekayaan spesies dan endemisitas tinggi. Endemik atau endemisitas tinggi adalah flora dan fauna yang hanya terdapat di wilayah Papua.
Kayu sowang, Xanthosthemon novaguineense Valeton, termasuk salah satu contoh tumbuhan endemik Papua. Pohon ini hanya akan ditemukan di pegunungan Cycloop, yang berdiri megah di antara Kota dan Kabupaten Jayapura. Tumbuhan ini memiliki kemampuan tahan api atau kebakaran namun memiliki daya regenerasi yang rendah.
Selain itu ada pula tanaman bukan non kayu, atau hasil hasil hutan non kayu meliputi tanaman rotan, obat-obatan tradisional. Tanah Papua sendiri memiliki hutan bakau terluas di Indonesia mengutip https://databoks.katadata.co.id disebut 1,63 juta hektar.
Namun ancaman kerusakan hutan bakau di Papua kini terjadi di depan mata, salah satunya di Teluk Youtefa dan juga sedimentasi di daerah pesisir Mimika dengan hutan bakau luasannya mencapai 300.000 Ha dengan tinggi pohon bisa mencapai 30 meter.
Oleh karena itu sangat menarik pula saat,Greenpeace, Pusaka, Walhi Papua, Jubi Tv, dan LBH Papua melakukan diskusi publik bertajuk “Selamatkan Hutan dan Masyarakat Adat Papua.” Yang bertempat di Kantor Pusat Pembinaan dan Pelatihan Wanita Gereja Kristen Injili atau P3W GKI, jalan Sosial Padang Bulan, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Jumat, (6/10/2023).
“Eksploitasi sudah cukup lama, sementara Papua hutan terakhir,” ujar Totok Dwi Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dosen UGM ini tak salah sebab eksploitasi hutan di tanah Papua berlangsung sejak era Orde Baru dengan puluhan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hingga memasuki era reformasi justru eksploitasi semakin berlebihan.
Totok mengatakan, pemerintah menganggap lebih tahu dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan tanah sehingga, negara mengambil alih atas nama pembangunan nasional dan melakukan pengelolaan sumber daya alam berbasis negara dengan menggandeng korporasi yang eksploitatif.
“Hutan sekadar komoditas untuk pundi-pundi keuntungan,” ujarnya
Lebih lanjut dia mengatakan, masyarakat adat Papua diposisikan sebagai pengunjung yang tidak punya akses langsung terhadap tanah dan hutan adat namun, hanya sebagai pengunjung yang hanya sebatas lihat-lihat.
“Evolusi posisi masyarakat adat dari pemilik ke pengunjung. Saat ini masyarakat adat sebagai aktor menderita,” ujarnya.
Dia mengatakan, fenomena semacam itu menjadi peringatan penting bagi perjuangan mempertahankan tanah dan hutan adat. Dia mengatakan, selain perjuangan melalui jalur hukum perlu juga dilakukan kampanye pemanfaatan tanah dan hutan adat berbasis masyarakat adat agar hubungan timbal balik antara alam dengan masyarakat adat di Papua tidak hilang.
Dosen Hukum Lingkungan UGM itu yang pernah hadir menjadi saksi ahli di pengadilan oleh kuasa hukum masyarakat adat Suku Awyu setelah Suku Awyu diterima hakim. Ia tampil sebagai saksi ahli dalam gugatan korporasi PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sementara itu Elvira Rumkabu, akademisi FISIP Universitas Cendrawasih(Uncen) di Jayapura mengatakan ketika perusahaan masuk dan akibatnya banyak menimbulkan konflik sosial di masyarakat, perubahan ekologis, dan terjadi juga penyingkiran masyarakat adat..
Hal ini kata Elvira Rumkabu dalam diskusi tersebut sesuai dengan hasil riset mereka dalam tiga buku yang salah satunya berjudul ‘Merebut Kendali Kehidupan (Perjuangan Orang Wambin di Boven Digul Menghadapi Serbuan Investasi)’. Buku ini ditulis oleh Elvira Rumkabu bersama Apriana Anastasia Amenes, Asrida Elisabeth, dan I Ngurah Suryawan.
Lebih lanjut kata dia, ketika perusahaan datang, ada tuan – tuan dusun yang dibentuk perusahaan sehingga, menimbulkan konflik internal. Selain itu, kehadiran perusahaan juga membuat masyarakat adat termiskinkan, dan angka kematian yang sangat tinggi.
Meski demikian, kata dia masyarakat adat Wambin di Boven Digul itu, tidak tinggal diam, mereka berjuang melawan korporasi untuk mempertahankan wilayah adat. Dia mengatakan salib merah menjadi simbol perlawanan akan tetapi menurutnya gerakan simbolik itu belum cukup. “Salib merah dipasang di tempat-tempat keramat dan batas-batas tanah adat,” ujarnya seraya mengingatkan masa Otsus justru semakin massif..
“Di masa Otsus inilah hal-hal eksklusif ini semakin masif,” katanya.
Sementara itu, direktur LBH Papua, Emanuel Gobay yang juga tergabung di dalam Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua juga selaku kuasa hukum masyarakat adat Awyu yang sedang berjuang menyelamatkan hutan adat mereka.
Dikatakan hal ini mereka lakukan karena gencarnya perluasan perkebunan sawit oleh korporasi itu. Dia mengatakan, masyarakat adat memiliki dasar hukum atas kepemilikan tanah dan hutan adat baik hukum internasional melalui Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, Undang-undang Dasar 1945 pasal 18 b ayat 1, Undang-undang nomor 39 tahun 1999 pasal 6, dan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 pasal 1 huruf p dan pasal 43 ayat 1.
“Dasar hukum itu juga yang digunakan Frengky Woro, Pimpinan marga Woro, Suku Awyu, Boven digul yang saat ini sedang melawan pemerintah sekaligus perusahaan,” katanya.
Gobay mengatakan kehadiran PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL di tanah marga Woro, suku Awyu itu, telah membuat masyarakat adat kehilangan tanah adat seluas 36.094,4 hektar. “Selain itu, telah mengancam pemusnahan ruang hidup, dan akan mengakibatkan kehilangan oksigen yang disediakan hutan adat Awyu untuk bumi,”katanya..
Lebih lanjut dia mengatakan, perjuangan melawan korporasi itu juga telah dilakukan oleh Tom Beanal bersama Mama Yosepha Alomang yang menggugat PT. Freeport hingga, di pengadilan Amerika Serikat.
Dalam diskusi itu menghadirkan empat narasumber yang diantaranya, Emanuel Gobay dari Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua, Elvira Rumkabu dari Koalisi Kampus Untuk Demokrasi Papua, dan Totok Dwi Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Diskusi itu dilaksanakan di Kantor Pusat Pembinaan dan Pelatihan Wanita Gereja Kristen Injili atau P3W GKI, jalan Sosial Padang Bulan, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Jumat, (6/10/2023).
“Eksploitasi sudah cukup lama, sementara Papua hutan terakhir,” ujar Totok Dwi dalam diskusi.
Totok mengatakan, pemerintah menganggap lebih tahu dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan tanah sehingga, negara mengambil alih atas nama pembangunan nasional dan melakukan pengelolaan sumber daya alam berbasis negara dengan menggandeng korporasi yang eksploitatif.
“Hutan sekadar komoditas untuk pundi-pundi keuntungan,” ujarnya
Lebih lanjut dia mengatakan, masyarakat adat Papua diposisikan sebagai pengunjung yang tidak punya akses langsung terhadap tanah dan hutan adat namun, hanya sebagai pengunjung yang hanya sebatas lihat-lihat.
“Evolusi posisi masyarakat adat dari pemilik ke pengunjung. Saat ini masyarakat adat sebagai aktor menderita,” ujarnya.
Dia mengatakan, fenomena semacam itu menjadi peringatan penting bagi perjuangan mempertahankan tanah dan hutan adat. Lebih lanjut dia mengatakan, selain perjuangan melalui jalur hukum perlu juga dilakukan kampanye pemanfaatan tanah dan hutan adat berbasis masyarakat adat agar hubungan timbal balik antara alam dengan masyarakat adat di Papua tidak hilang.
Dosen Hukum Lingkungan UGM itu juga pernah dihadirkan sebagai saksi ahli di pengadilan oleh kuasa hukum masyarakat adat Suku Awyu setelah Suku Awyu diterima Hakim sebagai tergugat intervensi dalam gugatan korporasi PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Elvira Rumkabu, Akademisi Universitas Cendrawasih atau Uncen Jayapura itu, mengatakan disaat perusahaan masuk banyak menimbulkan konflik sosial di masyarakat, perubahan ekologis, dan terjadi juga penyingkiran masyarakat adat. Hal itu, disampaikan dalam diskusi sesuai hasil riset yang ditulis dalam tiga buku yang salah satunya berjudul ‘Merebut Kendali Kehidupan (Perjuangan Orang Wambin di Boven Digul Menghadapi Serbuan Investasi)’ yang ditulis oleh Rumkabu bersama Apriana Anastasia Amenes, Asrida Elisabeth, dan I Ngira Suryawan.
Lebih lanjut dia mengatakan, ketika perusahaan datang, ada tuan – tuan dusun yang dibentuk perusahaan sehingga, menimbulkan konflik internal. Selain itu, kehadiran perusahaan juga membuat masyarakat adat termiskinkan, dan angkah kematian yang sangat tinggi.
Meski demikian, masyarakat adat Wambin di Boven Digul itu, tidak tinggal diam, mereka berjuang melawan korporasi untuk mempertahankan wilayah adat. Dia mengatakan salib merah menjadi simbol perlawanan akan tetapi menurutnya gerakan simbolik itu belum cukup. “Salib merah dipasang di tempat-tempat keramat dan batas-batas tanah adat,” ujarnya.
“Di Masa Otsus inilah hal-hal eksklusif ini semakin masif,” ujarnya
Sementara itu, direktur LBH Papua, Emanuel Gobay yang juga tergabung di dalam Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua juga selaku kuasa hukum masyarakat adat Awyu yang sedang berjuang menyelamatkan hutan adat mereka dari gencarkan perluasan perkebunan sawit oleh korporasi itu mengatakan, masyarakat adat memiliki dasar hukum atas kepemilikan tanah dan hutan adat baik hukum internasional melalui Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, Undang-undang Dasar 1945 pasal 18 b ayat 1, Undang-undang nomor 39 tahun 1999 pasal 6, dan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 pasal 1 huruf p dan pasal 43 ayat 1.
“Dasar hukum itu juga yang digunakan Frengky Woro, Pimpinan marga Woro, Suku Awyu, Boven digul yang saat ini sedang melawan pemerintah sekaligus perusahaan,” ujarnya.
Dia mengatakan kehadiran PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL di tanah marga Woro, suku Awyu itu, telah membuat masyarakat adat kehilangan tanah adat seluas 36.094,4 hektar. Selain itu, telah mengancam pemusnahan ruang hidup, dan akan mengakibatkan kehilangan oksigen yang disediakan hutan adat Awyu untuk bumi.
Lebih lanjut dia mengatakan, perjuangan melawan korporasi itu juga telah dilakukan oleh Tom Beanal bersama Mama Yosepha Alomang yang menggugat PT. Freeport hingga, di pengadilan Amerika Serikat.
Dalam diskusi publik bertajuk ‘Selamatkan hutan dan masyarakat adat Papua’ yang dimulai pukul 14:00 Waktu Papua dan berakhir pukul 17:00 Waktu Papua itu, dihadiri puluhan peserta diskusi yang hadir dari kalangan mahasiswa, aktivis dan LSM yang ada di Kota Jayapura, Provinsi Papua.
Mengutip buku “Potret Hutan Indonesia 2001” menyebutkan bahwa deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu system politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan kepentingan pribadi.
“Hutan tropis dataran rendah Indonesia yang memiliki kayu dan keanekaragaman yang paling tinggi adalah yang memiliki resiko paling tinggi. Tipe hutan hutan ini di Sulawesi dan Sumatera telah hilang sejak 2005 sedangkan Kalimantan pada 2010 juga ikut hilang akibat kecenderungan untuk mengeksploitasi terus meningkat.”
Apalagi fakta hari ini hampir setengah dari luas hutan di Indonesia termasuk tanah Papua sudah terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya, dan berbagai kegiatan pembangunan, seperti perkebunan dan hutan tanaman industry. Tak heran kalau wilayah pemekaran harus masuk dalam kawasan konservasi dan cagar alam. Faktanya kawasan Taman Nasional Lorenzst terdapat beberapa wilayah kabupaten pemekaran. Kini ditambah pula dengan wilayah Otonomi Baru dengan tujuh provinsi baru di tanah Papua. Semoga hutan tropis tersisa bisa bertahan di tengah tantangan pemekaran dan invstasi di wilayah Dareah Otonomi Baru (DOB). (*)
Dominggus A Mampioper berkontribusi dalam berita ini