Wamena, Jubi – Masyarakat dari lima kampung di Hutkimo, Distrik Welarek, Kabupaten Yalimo, Provinsi Papua Pegunungan minta Bupati Yalimo, Nahor Nekwek, segera mengembalikan surat keputusan (SK) jabatan lima kepala kampung di distrik itu yang dipindahkan ke kampung lain.
Lima kepala kampung yang dipindahkan dari wilayah Hutkimo ke Sali, yakni Kampung Folungsili, Yahamer, Wasupahik, Amuluk, dan Lasik.
Hal itu diungkapkan salah seorang tokoh pemuda Hutkimo, Martinus Aliknoe, saat ditemui awak media di Wamena, Jayawijaya, Selasa (13/6/2023) sore.
“Kami minta kepada Bupati Yalimo segera kembalikan SK jabatan kepala kampung dalam waktu dekat. Jika itu tidak dilakukan, maka kita akan duduki Kampung Sali bersama seluruh masyarakat dari lima kampung tersebut,” katanya.
Pihaknya menilai kebijakan dan keputusan yang diambil Pemerintah Kabupaten Yalimo dapat katakan bahwa sangat kontroversial terhadap lima kampung di wilayah Hutkimo atau wilayah adat Ulum Tukam.
“Kebijakan yang diambil itu sangat tidak adil dan hanya memihak salah satu pihak saja atau tidak netral serta tanpa pertimbangan hukum secara komprehensif oleh kepentingan semata politik, kekuasaan, dan uang,” ungkapnya.
Aliknoe menjelaskan SK definitif yang dikeluarkan oleh Bupati Yalimo, di antaranya Kepala Desa Folungsili atas nama Yangkur Pahabol, Kepala Desa Wasubahik atas nama Imanuel Sambom, Kepala Desa Lasik atas nama Panus Yohame, Kepala Desa Amuluk atas nama Edi Pahabol, dan Kepala Desa Yahamet atas nama Albert Tuliahanuk.
“Sesuai dengan wilayah adat kami, sudah ada batasnya dari dulu sejak nenek moyang hingga saat ini. Pemerintahan pun demikian. Maka kami minta pemerintah segera kembalikan SK kelima kampung ke posisi semula khususnya di wilayah Hutkimo,” kata Martinus Aliknoe.
Selain itu, dirinya juga menjelaskan bahwa dari segi hukum, UU yang mengatur secara khusus tentang desa adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 1 ayat 1 sebutan nama desa atau desa adat.
Artinya, kedudukan pemerintahan kampung berkedudukan wilayah adat istiadat setempat. Desa adat dibentuk berdasarkan kesatuan masyarakat hukum, adat, kesamaan nilai kultur, sosial, dan kekerabatan.
“Dalam pemberian nama desa adat berdasarkan kepemilikan hak ulayat, hak adat, hak milik atas tanah, gunung, kali, sungai, tempat, dan rumah adat [Yowi/Honai] yang sakral,” ujar Martinus Aliknoe.
“Pencabutan SK yang lakukan secara sepihak oleh Pemerintah Kabupaten Yalimo maka masyarakat menilai pemerintah telah merampok atas segala hal yang dimiliki dan diwariskan oleh nenek moyang kepada masyarakat setempat. Artinya kedudukan sangat jelas bahwasanya Desa Folongsili berkedudukan di Folongsili, desa Wasubahik berkedudukan di Wasubahik, dan Desa Amuluk, Lasik, serta Yahamet berkedudukan di wilayah adat Ulum Tukam. Bahasa adatnya sejak nenek moyang adalah Souw Tabi bukan di Sali atau wilayah adat lainnya,” katanya.
“Secara geografis jarak dengan letak kampung-kampung tersebut diperkirakan 18-20 Km jalan. Mengenai syarat kepala kampung merujuk pada point g yang berbunyi bahwa terdaftar sebagai penduduk dan tempat tinggal di desa setempat paling sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran,” katanya.
Sementara itu, perwakilan mahasiswa wilayah Hutkimo, Rum Aliknoe, mengatakan peraturan daerah tentang pembentukan desa yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Yalimo disahkan oleh DPRD setempat, dimana saat itu Ketua DPRD Kabupaten Yalimo adalah Albert Tuliahanuk, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Kampung Yahamet.
“Kebijakan tersebut memberikan dampak negatif serta mengancam kebebasan hak hidup dan aktivitas sosial masyarakat kecil yang tidak bersalah hingga nyawa pun melayang begitu saja,” katanya.
Rum Aliknoe menilai keputusan ini sangat diskriminasi dan ada unsur adu domba, tidak mencerminkan dirinya sebagai pemimpin, sebagai tokoh, sebagai kepala suku yang merangkul, pemimpin yang merakyat, pemimpin sebagai pelayan. Dirinya berharap sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, Pemkab Yalimo dan DPRD segera mengambil langkah pendekatan persuasif dan humanis, mempertemukan kedua belah pihak. Lembaga legislatif membentuk tim khusus untuk mengumpulkan data dan fakta, serta mendorong penyelesaian sengketa melalui mekanisme formal. (*)