Sentani, Jubi – Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Nasional atau Damanas, Abdon Nababan menegaskan bahwa kerja-kerja Aliansi Masyarakat Adat selama ini tidak hanya ditingkat provinsi. Menurutnya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN juga harus bekerja di tingkat bawah, di mana komunitas masyarakat adat berada.
Hal itu disampaikan Abdon Nababan menanggapi wacana perubahan Anggaran Dasar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang diusulkan dalam Sidang Komisi A Kongres Masyarakat Adat Nusantara atau KMAN VI, yang mengusulkan kepengurusan AMAN cukup dibentuk di tingkat nasional dan tingkat provinsi. Menurutnya, jika AMAN hanya bekerja di tingkat provinsi, kerja itu tidak akan efektif menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat adat.
Nababan menegaskan kerja-kerja bagi masyarakat adat sesungguhnya ada di tingkat bawah. “Dalam sidang komisi, ada yang mengusulkan agar AMAN hanya ada di tingkat provinsi. Wajar saja, itu usulan peserta, dan akan dibahas lagi,” ujar Nababan di sela kegiatan Sidang Komisi KMAN VI di Stadion Bas Youwe, Sentani, Sabtu (29/10/2022).
Menurutnya, jika AMAN memiliki kepengurusan di tingkat provinsi, namun tidak terlibat atau tidak diperhatikan dalam penyusunan kebijakan di tingkat akar rumput, sama saja bohong. Pasalnya, demikian menurut Nababan, masyarakat adat ada dan eksis di kampung-kampung.
Nababan menjelaskan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sudah membentuk Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) di tingkat kabupaten, yang bertugas melakukan pemetaan wilayah adat. Kepengurusan AMAN di tingkat provinsi tidak memahami dan mengerti teknis pekerjaan GTMA, karena sangat subyek pemetaan wilayah adat adalah para tokoh masyarakat adat di kampung.
“Kerja-kerja seperti itu tidak bisa hanya [sebatas] pernyataan politik saja. Buktinya, kita ada GTMA di Kabupaten Jayapura, dan telah menghasilkan peta wilayah masyarakat adat,” jelasnya.
Nababan menilai perwakilan masyarakat adat yang mengikuti dan terlibat dalam Sidang Komisi KMAN VI sangat kritis dalam memberikan saran dan usulan konkret bagi pimpinan sidang dan panitia pengarah pembahasan Anggaran Dasar. Para perwakilan masyarakat adat dari berbagai wilayah di Indonesia itu mencermati pembahasan pasal demi pasal.
“Hal- hal yang dibahas dalam sidang komisi itu adalah realita dan fakta yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat adat. Sehingga, [jika] ada masukan dan saran yang diberikan oleh masyarakat adat, sah-sah saja,” ucapnya.
Menurut Nababan, ada dua komisi yang sedang berjalan yang tidak kalah serunya dengan Komisi A yang tengah membahas perubahan Anggaran Dasar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Sidang Komisi B KMAN VI membahas tentang program kerja yang akan dilakukan AMAN. Sementara Sidang Komisi C KMAN VI membahas tentang anggaran.
Nababan menyebut dinamika setiap sidang komisi terus berkembang, dan semuanya penting untuk dibahas secara bersama-sama. “Beginilah masyarakat adat membahas untuk masa depan mereka. Semua usulan dan rekomendasi yang disampaikan dari setiap Yo Riyaa [atau sarasehan] juga sangat penting, karena setiap usulan dan rekomendasi akan dibahas dalam tiga komisi yang sedang berjalan saat ini,” kata Nababan.
Salah satu peserta sidang komisi KMAN VI, Ramsis Wally mengusulkan organisasi AMAN hanya sebatas tingkat provinsi saja. Wally menyatakan seharusnya organisasi AMAN tidak membentuk kepengurusan di tingkat kampung, karena setiap kampung masyarakat adat telah memiliki struktur masyarakat adat yang berbeda dan khas.
“Masyarakat adat itu milik dewan adat suku, bukan AMAN. Sehingga organisasi [AMAN seharusnya] hanya ada di tingkat provinsi, sebagai mediator [masyarakat adat], ” katanya. (*)