Sentani, Jubi – Ini merupakan penampilan keempat kali ritual Apen Bayeren di Jayapura sebab orang tua pertama datang dan mementaskan di Hollandia pada 1962. Saat itu orang tua Barnabas Yapen tampil berjalan di atas api berpijar di depan gedung Nieuw Guinearaad, sekarang kantor DPR Papua.
Hal ini dikatakan Alfares Yapen, pemimpin Sanggar Apen Bayeren, Kampung Adoki, Distrik Yendidori, Kabupaten Biak Numfor kepada Jubi di sela-sela pementasan Apen Bayeren di Kalkote, Sentani, Kabupaten Jayapura, Kamis (27/10/2022).
“Jadi sekarang kami tampil di sini untuk keempat kali. Tadi Bapak Bupati Jayapura juga ikut dalam ritual ini, menginjak batu panas secara simbolis. Apalagi Beliau merupakan salah satu figur yang mampu memimpin ke depan,” kata Yapen.
Kepada Jubi, Mansar Alfares Yapen mengaku kalau ayah almarhum Barnabas Yapen yang pertama kali mementaskan ritual injak batu panas di Hollandia waktu itu pada 1962.
“Sekarang kami generasi berikutnya yang melanjutkan tradisi ini secara turun temurun,” katanya seraya menambahkan telah menyiapkan generasi muda sejak usia anak-anak.
Dia menambahkan ada kewajiban untuk menurunkan ilmu Apen Bayeren kepada tiga anak-anak yang masih duduk di kelas III SD.
“Tadi yang tampil dalam Apen Bayeren ada tiga anak dan dua mahasiswa Sekolah Tinggi Theologia,” katanya.
Sementara itu, Gerald Kafiar, tokoh adat dari Suku Byak, mengatakan kata Apen dalam bahasa Biak artinya batu yang dibakar sedangkan Bayeren merupakan kesepakatan atau semacam perjanjian.
Menurut Kafiar, ritual Apen Bayeren biasa dilakukan untuk seseorang yang mampu mengatur rumah tangga atau masyarakat dengan baik.
“Siapapun yang dianggap figur dalam masyarakat, wajib memuji dia dalam perapian,” kata Kafiar.
Alfares Yapen, salah satu turunan dari Barnabas Yapen, mengatakan mereka mendapatkan karunia untuk berjalan di atas batu panas dari nenek moyang leluhur.
“Kami hanya mewariskan itu kepada generasi muda dalam klen kita yaitu klen Yapen,” katanya.
Apen Bayeren diawali dengan memanaskan batu di atas tumpukan kayu yang dibakar atau batu-batu di panggang di atas bara api. Setelah batunya memerah, mansar (paitua/bapak) Alfares Yapen mulai mengunyah kapur, sirih, dan pinang lalu menyembur dan sebagian digosok di telapak kaki yang hendak berjalan di atas batu berpijar.
Saat hendak menjalankan ritual ini, ada Wor atau lagu yang dinyanyikan yaitu Neno-neno, pujian untuk Sang Pencipta atau dalam bahasa Byak disebut Manseren Nanggi.
“Kita harus menyanyi Wor pujian Nano-nano karena ritual ini berasal dari Sang Pencipta,” katanya.(*)
Berita ini juga merupakan kontribusi dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah Papua yang sedang magang di Jubi, Ronald Paraibabo.