Sentani, Jubi – Ratusan warga atau masyarakat adat dari Kampung Yoboi, Baborongko, Yokiwa, Ayapo, Simporo dan Ifarbesar di bawah koordinator Asosiasi Sentani Bersatu (ASBS) Kabupaten Jayapura, mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Jayapura untuk melakukan aksi demo damai menolak kampung adat, pada Selasa (24/1/2023).
Ketua ASBS Kabupaten Jayapura, Jhon Maurids Suebu, dalam orasinya mengatakan masyarakat adat dari enam kampung ini menolak adanya kampung adat, yang menjadi program kerja Pemerintah Kabupaten Jayapura.
“Jangan paksakan kami untuk ikut pemerintahan kampung adat, sebab di dalam kampung adat tidak ada transparansi anggaran, hilangnya demokrasi, dan pemerintahan berjalan secara otoriter,” ujarnya.
Ratusan warga yang sudah memenuhi halaman kantor DPRD Kabupaten Jayapura berdemo dan berorasi, namun belum terlihat adanya satu perwakilan anggota dewan yang menemui massa aksi. Baru sejam kemudian, Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Jayapura mendatangi massa.
Sebelum Wakil Ketua I DPRD tiba, Frangki Wally sebagai salah satu warga Kampung Baborongko dalam orasinya menyampaikan bahwa, kehadiran pemerintah kampung adat di kampung-kampung yang dulunya hidup berdampingan satu sama lain, mulai mengalami perpecahan, bentrok antarwarga, dan tidak ada demokrasi dalam menjalankan sistem pemerintahan kampung adat itu sendiri.
“Semuanya di bawah kendali ondofolo, masyarakat tidak mendapat haknya dari apa yang diberikan oleh pemerintah daerah. Padahal, pos anggaran yang turun ke kampung sudah diketahui bersama besarannya dan setiap peruntukannya. Muncul ketidakpercayaan warga terhadap produk regulasi yang dibuat oleh pemerintah daerah dan dipaksakan untuk diikuti oleh masyarakat adat,” ungkapnya.
Di tempat yang sama, Muhammad Amin sebagai Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Jayapura sebelum menjawab aspirasi masyarakat dalam demo tersebut, mengaku sama sekali tidak mengetahui adanya aksi demo yang akan dilakukan di kantornya.
“Saya mohon maaf datang terlambat, karena tadi saya sedang melayat salah satu keluarga yang meninggal. Lalu pergi menjenguk menantu saya yang sedang dirawat di rumah sakit. Setelah salat, saya buru-buru ke sini karena dikabari Pak Sekwan soal aksi demo ini,” ujar Amin.
Muhammad Amin menjelaskan bahwa regulasi tentang kampung adat termuat dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2016 dan perubahannya Perda Nomor 1 Tahun 2022. Perda Nomor 8 Tahun 2018 disahkan pada periode lalu, dan saat itu status jabatannya masih anggota dewan, lalu perubahannya Perda Nomor 1 Tahun 2022 juga sudah disahkan.
Terkait apakah turunannya dalam Peraturan Bupati (Perbup) dari pemerintah daerah, penjabaran, dan sosialisasinya dilakukan atau tidak, ia mengaku belum mendapat Perbup-nya.
“Saya sarankan, dari aksi saat ini saya usulkan dewan bentuk pansus. Aspirasi yang disampaikan ini akan saya laporkan kepada dua pimpinan lainnya bersama seluruh anggota. Ketidakhadiran seluruh anggota dewan karena jadwal kita saat ini adalah kunjungan kerja dan bimtek,” jelasnya.
Massa aksi demo damai tersebut mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Jayapura sekira pukul 11.30 WP dengan membawa belasan spanduk dan pamflet yang bertuliskan “Tolak Kampung Kampung Adat di Kabupaten Jayapura”, “Kampung Adat Mematikan Sistem Demokrasi di Kampung”, “Kurangnya Informasi terkait Penggunaan Anggaran Kampung, baik ADK maupun ADD”, dan masih banyak lagi pamflet dan spanduk yang isinya berisi penolakan kampung adat.
Berikut sejumlah pernyataan sikap yang disampaikan masyarakat adat kepada pemda setempat.
Pernyataan sikap penolakan kampung adat Distrik Sentani Timur, Distrik Ebungfauw, dan Distrik Sentani. Kembalikan kampung adat kepada status kampung yang demokrasi, kami yang bertanda tangan di bawah ini: Kampung Yokiwa, Babrongko, Homfolo, Ifarbesar, Ayapo, dan Yoboi, dengan ini menyatakan dengan tegas:
1. Menolak pemerintahan kampung adat,
2. Meminta kepada Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk segera kembalikan kampung adat kepada status kampung yang demokrasi,
3. Lumpuhnya pelayanan dalam semua aspek, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan budaya,
4. Hilangnya hak-hak masyarakat ekonomi lemah,
5. Tertutupnya ruang demokrasi,
6. Terjadi gaya kepemimpinan otoriter
7. Tidak transparannya penggunaan dana kampung (ADD, ADK, dll),
8. Kurangnya keterbukaan informasi tentang penggunaan dana kampung karena kepala kampung adat adalah ondofolo sendiri,
9. Terciptanya konflik antarsesama masyarakat adat,
10. Yang terhormat Penjabat Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Jayapura tolong perhatikan aspirasi penolakan kami,
11. Meminta Penjabat Bupati segera menggantikan Kepala DPMK Kabupaten Jayapura dan menghapus instansi bagian pemerintahan kampung adat,
12. Meminta ketua dan anggota DPRD Kabupaten Jayapura agar segera mencabut Perda Nomor 1 Tahun 2022 tentang kampung adat,
13. Meminta kepada Ketua DPRD Kabupaten Jayapura untuk segera membentuk pansus agar turun ke 14 kampung adat, untuk mendengar aspirasi masyarakat dan mengaudit keuangan kampung adat selama dua tahun ke belakang bersama Inspektorat Kabupaten Jayapura,
14. Seluruh kepala-kepala distrik di Kabupaten Jayapura tempat beradanya 14 kampung adat untuk segera diganti oleh Penjabat Bupati,
15. Meminta Pj Bupati untuk memerintahkan kepala-kepala segera membentuk panitia pemilihan kepala kampung di wilayah kampung adat.
Demikian pernyataan sikap kami, dan atas nama masyarakat kampung adat kami sampaikan terima kasih. (*)