Jenewa, Jubi – Dana Kanak-Kanak Internasional atau Unicef melaporkan sebanyak tiga juta anak mengalami krisis dan bencana kemanusiaan di Republik Afrika Tengah. Perang saudara selama 10 terakhir mengakibatkan setiap satu dari tiga juta anak tersebut berada dalam risiko kematian.
Perwakilan Unicef di Republik Afrika Tengah Meritxell Relano Arana menyatakan negara itu masih berkutat dengan situasi yang tragis. Afrika Tengah bahkan menempati urutan pertama sebagai negara paling berisiko dalam krisis dan bencana kemanusiaan di dunia.
“Kondisi mengenaskan ini menjadi tantangan terberat bagi warga termuda di negara Afrika Tengah. Krisis telah berlangsung bertahun-tahun. Sayangnya, tidak terlihat [menjadi perhatian dunia] karena begitu banyak krisis global lain,” kata Arana saat konferensi pers, Selasa, waktu Jenewa, Swiss, dikutip Anadolu.
Laporan Unicef juga menyebut satu dari dua anak di Afrika Tengah tidak memiliki akses layanan kesehatan. Selain itu, hanya sekitar sepertiga anak-anak dapat bersekolah secara teratur.
Angka pernikahan pada usia anak dan kekurangan gizi kronis juga cukup tinggi di Afrika Tengah. Hampir 61 persen perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara itu, hampir 40 persen anak-anak menderita kekurangan gizi kronis.
Arana mengingatkan krisis kemanusiaan telah menyuramkan masa depan anak-anak Afrika Tengah. Banyak, di antara mereka bahkan berada di ambang kematian. Karena itu dia mendesak komunitas internasional peduli terhadap kehidupan anak-anak di Republik Afrika Tengah.
Krisis pangan
Perang saudara juga membuat Sudan mengalami situasi serbasulit. Mereka menghadapi krisis pangan terburuk dalam dua dekade terakhir.
Humas Kantor Koordinasi urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) Vanessa Huguenin menyatakan lebih 60 ribu warga mengungsi akibat pertempuran di Kota Singa, Sudan tenggara. Kejadian itu seiring kerawanan pangan di wilayah Abu Hajar dan Dali.
“Bentrokan antara Angkatan Bersenjata Sudan dan RSF di Singa dalam beberapa waktu terakhir mengakibatkan sebagian besar pengungsi bergerak dari arah timur ke Gedaref. Mereka terpaksa mengungsi dengan meninggalkan harta benda karena situasi terus memburuk di seluruh Sudan,” kata Huguenin dalam konferensi pers di Jenewa, Selasa, waktu setempat, dikutip Anadolu.
Kegentingan kembali memuncak di Sudan pada Senin. Pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) mengklaim memegang kendali atas Markas Besar Brigade Infanteri ke-67 dan Brigade Artileri ke-165 di Singa. Namun, Angkatan Darat Sudan tidak merespon secara resmi klaim RSF.
Pada sehari sebelumnya, Tentara Sudan melaporkan mereka bentrok dengan RSF di Singa, Ibu Kota Negara Bagian Sennar. Pertempuran tersebut mengakibatkan arus pengungsian besar-besaran.
Perang saudara mulai pecah kembali di Sudan pada April 2023. Konflik itu melibatkan Jenderal Angkatan Darat Abdel Fattah al-Burhan dan Komandan RSF Mohamed Hamdan Dagalo. Mereka berselisih soal pengintegrasian RSF ke militer Sudan.
Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa, konflik Sudan telah menewaskan sekitar 16 ribu orang. Jutaan orang juga mengungsi akibat perang. Kondisi itu menimbulkan krisis kemanusiaan berkepanjangan di negara Afrika tersebut. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!