Makassar, Jubi – Selasa, 20 September 2022, sekitar pukul 14.00 WITA, ruang pertemuan daring yang diadakan Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai, sudah terbuka. Sebanyak 32 peserta sudah bersiap, tapi semua peserta harus menunggu perwakilan dari warga Papua yang akan berbicara tentang kasus Paniai Berdarah, sebuah tragedi yang terjadi di Kabupaten Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014.
Sesaat kemudian, Tineke Rumkabu, aktivis dari organisasi Bersatu Untuk Keadilan (BUK) memasuki ruang pertemuan daring itu. Dia menjadi pembicara pertama, sebagai perwakilan keluarga korban tragedi Paniai Berdarah yang kasusnya akan disidangkan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Makassar. “Pengadilan HAM di Makassar, seakan-akan itu untuk menghibur hati para korban yang selama ini mengharapkan keadilan,” katanya.
Rumkabu melihat proses hukum atas kasus Paniai Berdarah itu seperti tanpa makna, lantaran berbagai kasus baru kekerasan aparat keamanan terus terjadi di Tanah Papua. “Kekerasan terus terjadi di Papua, bahkan saat proses hukum sidang HAM Paniai ini sedang berjalan. Kami ini tidak tahu kapan tindakan kekerasan ini berhenti.”
Rumkabu menuturkan nasib tragis empat warga Nduga yang dibunuh dan dimutilasi di Kabupaten Mimika, dengan enam prajurit TNI dan empat warga sipil yang telah ditetapkan sebagai tersangkanya. Di tengah tuntutan masyarakat sipil Papua dan keluarga korban agar kasus itu ditangani sebagai dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, tiba-tiba Pangkostrad Letjen TNI Maruli Simanjuntak menyatakan kasus pembunuhan dan mutilasi yang terjadi di Mimika pada 22 Agustus 2022 itu bukan pelanggaran HAM berat.
Terlepas dari soal benar atau salah, Letjen TNI Maruli Simanjuntak jelas tidak berwenang menilai apakah sebuah kejahatan memenuhi atau tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Bagi Rumkabu, pernyataan itu lebih menyerupai perulangan upaya untuk memastikan para pembunuh mendapatkan impunitas.
“Kalau begitu terus, kapan [deretan pelanggaran HAM di Papua] bisa diselesaikan? Apakah penyelesaiannya satu per satu? [Di lapangan], sementara kasus satu belum selesai, terjadi kasus lainnya lagi,” katanya.
Peristiwa Paniai Berdarah adalah kekerasan terhadap warga sipil di Kabupaten Paniai pada 8 Desember 2014, terjadi tak lama setelah Joko Widodo dilantik sebagai Presiden Indonesia. Kejadian itu bermula dari protes warga terhadap penganiayaan yang menimpa beberapa anak pada 7 Desember 2014.
Pada 8 Desember 2014, warga menutup akses jalan utama Madi menuju Enarotali. Warga yang marah mendatangi lapangan di Enarotali, yang berdekatan dengan markas kepolisian dan Komando Rayon Militer setempat. Warga menuntut agar aparat keamanan menemukan pelaku panganiayaan anak-anak mereka.
Ketegangan makin menjadi ketika ada lemparan batu dan batu dari arah massa. Aparat merespon keras, membubarkan aksi dengan tembakan. Akhirnya empat pelajar meninggal dunia, dan sedikitnya ada 17 warga lainnya terluka.
Komnas HAM kemudian melakukan penyelidikan kasus itu, dan pada 3 Februari 2020 mengumumkan bahwa kasus Paniai Berdarah itu pelanggaran HAM berat. Komnas HAM melimpahkan kasus itu kepada Jaksa Agung, dan pada 25 Juni 2022, Jaksa Agung melimpahkan pelanggaran ini ke Pengadilan Negeri Makassar untuk disidangkan dan diadili Pengadilan HAM Makassar.
Akan tetapi, banyak pihak kecewa karena Kejaksaan Agung hanya mengajukan seorang tersangka untuk didakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat itu, yaitu seorang purnawirawan berinisial IS. “Satu orang tersangka, ini tidak masuk akal,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Muhammad Haidir.
Bagi Haidir, menempatkan satu tersangka dalam sebuah pelanggaran HAM tidak berkesesuaian dengan unsur pelanggaran HAM berat—terstruktur, sistematis dan meluas. Dia bahkan tak bisa menduga, bagaimana bangunan dakwaan yang akan dibacakan jaksa.
“Saya kira pengadilan HAM kali ini diciptakan untuk gagal. Dimana gagal untuk membuktikan pelaku utama,” katanya.
Koalisi meragukan persidangan kasus Paniai Berdarah akan berlangsung dengan memenuhi asas keadilan, karena sejak awal proses hukumnya sudah janggal. Saat jaksa menentukan IS sebagai tersangka tunggal kasus itu, beberapa warga di Paniai terkejut. Nama itu bahkan asing bagi mereka.
Maka tak heran jika korban dan keluarga korban tragedi Paniai Berdarah menolak turut serta atau menghadiri sidang di Pengadilan HAM Makassar yang rencananya akan mulai digelar Rabu (21/9/2022). Bahkan, pihak keluarga korban menyatakan jika ada orang yang menjadi saksi persidangan kasus itu, maka orang itu bukan bagian dari mereka. “Jadi itu rekayasa aparat militer,” kata Yones Douw, salah seorang pendamping korban.
Douw menyatakan penembakan dalam tragedi Paniai Berdarah terjadi pada siang hari, dan berlangsung sekitar 10 menit. Di lapangan, banyak warga menyaksikan beberapa aparat menembak dan melakukan kekerasan. Penetapan IS sebagai tersangka tunggal kasus itu disebut Douw tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani khawatir sidang kasus Paniai Berdarah di Pengadilan HAM Makassar akan menjadi rekayasa belaka. “Disidangkannya kasus Paniai itu akan menjadi peradilan rekayasa,” kata Julius.
Julius mengatakan pelimpahan satu tersangka ke Pengadilan HAM Makassar seperti sebuah pengingkaran terhadap unsur rantai komando atau garis perintah dalam sebuah lembaga. Artinya, proses hukum di Pengadilan HAM Makassar itu akan menghilangkan unsur keterlibatan institusi, membuat tragedi Paniai Berdarah tak lebih dari peristiwa kriminal umum. “Jadi, apa yang terjadi dan akan disidangkan di pengadilan HAM itu, tidak memenuhi nuansa HAM,” katanya.
Di Indonesia, hanya ada tiga kasus pelanggaran HAM yang pernah disidangkan. Pertama kasus Tanjungpriok pada tahun 2003-2004. Kedua, kasus Timor Timur tahun 2011. Dan kasus Abepura tahun 2004. Semuanya, memvonis bebas pelaku.
Koalisi tidak percaya persidangan kasus Paniai Berdarah di Pengadilan HAM Makassar akan memulihkan rasa keadilan para korban dan keluarga korban. Namun, yang lebih mengkhawatirkan dari itu, praktik proses penegakan hukum dalam kasus Paniai Berdarah justru bisa membuat para pelaku pelanggaran HAM semakin jumawa.
Ujungnya, kasus kekerasan aparat keamanan di Papua akan kembali bermunculan susul menyusul, sebagaimana yang terlihat dalam kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika pada 22 Agustus 2022 yang segera disusul kasus penganiayaan yang membuat seorang warga Kabupaten Mappi meninggal dunia pada 30 Agustus 2022. Dalam keterangan pers tertulisnya, Koalisi menyatakan jika, “terdakwa IS hanya dijadikan ‘kambing hitam’, dan pengadilan HAM atas persitiwa Paniai hanya gimmick pencitraan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia.” (*)