Jayapura, Jubi – Koalisi Masyarakat Sipil untk Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua menyatakan kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika menunjukkan bahwa Negara melalui aparat keamanannya berkontribusi atas kekerasan yang terjadi di Tanah Papua. Kasus itu juga mencerminkan bahwa Negara gagal memastikan perlindungan terhadap hak hidup rakyat Papua.
Hal itu dinyatakan Koalisi Masyarakat Sipil untk Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua melalui keterangan pers tertulisnya, Jumat (9/9/2022). Koalisi itu terdiri dari PAHAM Papua, LBH Papua, ALDP, ELSHAM Papua, PBH Cenderawasih, LBH Kyadayun Biak, dan LBH Kaki Abu Sorong,
Selaku kuasa hukum empat keluarga korban pembunuhan dan mutilasi di Mimika, Direktur Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar menyatakan kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil Nduga yang terjadi di Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022 terkategori sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang harus diadili di Pengadilan HAM. “Itu merupakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sadis dan tidak berperikemanusiaan,” kata Siregar.
Siregar mengatakan pembunuhan dan mutilasi keempat warga sipil Nduga di Kabupaten Mimika merupakan pembunuhan di luar hukum (Extra Judicial Killing) yang dilakukan oleh sedikitnya delapan pelaku berlatar belakang prajurit Batalion Infantri Raider 20/Ima Jaya Keramo, dan empat pelaku berlatar belakang warga sipil. Di antara kedelapan prajurit TNI yang terlibat kasus itu, terdapat seorang perwira berpangkat mayor, dan seorang perwira berpangkat kapten. “Itu menunjukan Negara lewat aparatnya berkontribusi terhadap meningkatnya kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua,” kata Siregar.
Siregar mengatakan dalam dua tahun terakhir terjadi sejumlah kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh prajurit TNI. Ia mencontohkan kasus pembakaran rumah Dinas Kesehatan di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, pada tanggal 19 September 2020, dan kasus penembakan Gembala Gereja Katolik di sekitar Bandara Sugapa pada 7 Oktober 2022.
Siregar juga menyebut soal pembunuhan dua warga sipil Intan Jaya, Luther Zanambani dan Apinus Zanambani yang jenazahnya dibuang ke sungai oleh aparat Koramil 1705-11/Sugapa.
“Kasus Penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani tanggal 19 September 2020 oleh aparat Koramil 1705-11/Sugapa. Kasus Penembakan terhadap dua warga sipil di Timika atas nama Eden Bebari dan Ronny Wandik pada tanggal 13 April 2020 oleh Satgas Gabungan Yonif Raider 712/WT dan Yonif Raider 900/BW, di bawah kendali operasi Kogabwilhan III. Penembakan terhadap dua di Sugapa, Yaukim Majau yang terluka, dan Apertinus Sondegau yang meninggal dunia meninggal dunia pada tanggal bulan 27 Oktober 2021,” kata Siregar.
Siregar mengkritik penyelesaian berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM berat itu, karena dialihkan sebagai perkara kejahatan biasa yang diadili di peradilan militer. Ia juga mengkritik Presiden Joko Widodo dan Panglima TNI yang sering mengeluarkan pernyataan mengutuk pelaku dan menjanjikan proses hukum yang transparan, dan praktik proses hukum menunjukkan realitas yang bebeda.
“Hingga kini masyarakat tidak mengetahui proses hukum terhadap para tersangka, baik dari [hasil] pemeriksaan Polisi Militer, Oditur Militer hingga proses hukum di peradilan militer. Hanya kasus penembakan Eden Bebari dan Ronny Wandik yang [berbeda, di mana] keluarga korban mendapat informasi putusan terhadap pelaku yang diadili di Pengadilan Militer Menado, jauh dari pantauan keluarga korban dan rakyat Papua. Proses persidangan terdadap du pelaku di Pengadilan Milter Bali hingga kini tidak jelas proses hukumnya, karena keluarga tidak mendapat informasinya,” ujar Siregar.
Siregar menyatakan berbagai kasus kekerasan yang melibatkan aparat keamanan tidak kunjung diselesaikan melallui proses hukum. International Center for Transitional Justice dan Elsham Papua dalam dokumentasi pelanggaran HAM yang terjadi di Biak, Manokwari, Paniai dari periode 1960-an (sebelum Pepera) hingga Reformasi 1998 mencatat sedikitnya ada 749 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Asian Human Rights Commision dan Human Rights and Peace For Papua mendokumentasikan kekerasan aparat keamanan di Pegunungan Tengah pada periode 1977 -1978 yang menyebabkan sedikitnya 4.146 orang meninggal dunia.
“Dari banyaknya kasus pelanggaran HAM tersebut, kasus Abepura Berdarah yang terjadi 7 Desember 2000 sudah diproses hukum hingga Pengadilan HAM Makassar, namun kasus itu berakhir dengan dibebaskan 2 terdakwa. Sedangkan kasus pelanggaran HAM berat [lainnya, seperti kasus] Wasior 2001, Wamena 2003, telah direkomendasi Komnas HAM RI sebagai kasus pelanggaran HAM berat, namun proses hukumnya hingga saat ini masih “berputar” di Kejaksaan Agung,” kata Siregar.
Siregar mengatakan kasus Paniai telah dilimpahkan ke Pengadilan HAM Makassar, tetapi Kejaksaan Agung hanya menetapkan satu orang tersangka dalam penembakan yang menewaskan empat pelajar di Paniai itu. Proses persidangan juga belum jelas, karena masih menunggu pelantikan Hakim Ad-Hoc Pengadilan HAM.
“Setelah kasus Abepura 7 Desember 2000, pada era pemberlakuan Otonomi Khusus Papua, [justru] tidak ada satupun kasus pelanggaran HAM yang diberakhir di Pengadilan HAM dengan vonis bersalah bagi pelaku. [Juga tidak ada] kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban dan keluarga korban. Sebaliknya, kasus-kasus tersebut dialihkan ke kriminal [biasa dan] disidangkan di peradilan militer, dan pelakunya mendapat vonis yang sangat ringan,”katanya.
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia Papua (PAHAM Papua), Gustaf R Kawer juga menegaskan bahwa Negara melalui aparat keamanannya berkontribusi atas kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua. Kawer menekankan bahwa Negara gagal melindungi hak hidup rakyat Papua. “Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua menyatakan sikap mengutuk dengan keras kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap empat warga sipil Nduga di Timika,” kata Kawer.
Kawer menilai bukti awal kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Timika dilakukan secara komando, sistematis, dan meluas. “Kami mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk KPP HAM untuk melakukan penyelidikan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, agar dapat mengungkap motif dan pelaku kasus penembakan dan mutilasi di Timika,” katanya.
Kawer mendesak Kepolisian Resor Mimika maupun Denpuspom XVII/C Timika agar lebih transparan dalam mengungkap kasus itu, dengan secara serius menangkap, menahan, dan mengungkap motif para pelaku. Kawer menyatakan pihaknya juga meminta pemerintah mengevaluasi pendekatan keamanan yang digunakan pemerintah dalam menangani konflik di Tanah Papua. “Kami mendesak Pemerintah untuk mengevaluasi pendekatan keamanan, baik yang dilakukan oleh Polri maupun TNI, dari pendekatan kekerasan menjadi pendekatan yang lebih humanis terhadap rakyat di Papua,” kata Kawer.
Koalisi mendesak pemerintah menghentikan kekerasan militer di Papua dengan cara menarik pasukan organik dan non organik di wilayah konflik di Papua, dan mengedepankan dialog damai antara pemerintah dan perwakilan masyarakat Papua. “Kami mendesak pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM berat di Papua dan Pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme pengadilan HAM, Pengadilan HAM Ad-Hoc, dan mekaisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, agar ada keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat,” kata Kawer. .
Kawer mengatakan Pemerintah Provinsi Papua, DPR Papua, dan Majelis Rakyat Papua wajib secara serius memberi perlindungan terhadap Orang Asli Papua dan serius memberi perhatian terhadap penegakan hukum dan HAM di Papua. Hal itu penting agar kekerasan dan pelanggaran HAM tidak berulang. (*)