Jayapura, Jubi – Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua pada Senin (19/9/2022) mengumumkan hasil investigasi kasus penganiayaan yang dilakukan prajurit Batalyon Infanteri Raider 600/Modang yang menyebabkan seorang warga sipil Kabupaten Mappi meninggal dan seorang warga lainnya terluka berat. Komnas HAM Papua menyatakan penganiayaan terhadap kedua korban berlangsung selama delapan jam berturut-turut. Komnas HAM Papua juga menyatakan ada upaya prajurit TNI untuk memanipulasi korban akan menandatangani pernyataan tidak akan menuntut proses hukum atas penganiayaan itu.
Penganiayaan terhadap dua orang warga sipil terjadi di Pos Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi, pada 30 Agustus 2022. Penganiayaan yang diduga dilakukan prajurit Batalion Infantri Raider 600/Modang itu menyebabkan Bruno Amenim Kimko meninggal dunia, dan Yohanis Kanggun luka berat.
Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey menyatakan investigasi atas kasus penganiayaan di Mappi itu dilakukan tim Komnas HAM Papua di Merauke pada 16-17 September 2022. Pada 16 September 2022, tim pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM RI Perwakilan Papua menemui Komandan Korem 174 Merauke, Brigjen TNI E Reza Pahlevi. Dalam pertemuan itu, Reza menjelaskan keberadaan Yonif Raider 600/Modang yang berasal dari Komando Daerah Militer (Kodam) VI/Mulawarman di Kalimantan Barat dan tengah menjalani penugasan di Papua.
Pasukan Yonif Raider 600/Modang yang sebelumnya bertugas untuk pengamanan daerah rawan. Kemudian, pasukan itu ditugaskan untuk mengurus kewilayahan, teritorial, penyangga perbatasan.
“Pasukan Yonif Raider 600/Modang dari Kodam VI Mulawarman Kalimantan. Ternyata yang didatangkan bukan 18 prajurit melainkan 22 anggota. Dalam kasus ini 22 anggota yang didatangkan untuk diminta keterangan terkait dengan kasus penyiksaan ini,” kata Ramandey.
Pada poin pertama hasil investigasi, Komnas HAM Papua menyatakan Danrem 174 Merauke telah mendatangkan 18 prajurit Yonif 600/Modang dari Mappi ke Merauke. Menurut Ramandey, 18 prajurit itu ditahan di Markas Korem 174 Merauke, dan menjalani pemeriksaan di sana. “Dandrem mengaku [pemindahan] 18 prajurit [itu] atas permintaan Denpom Merauke [dan] atas perintah Pangdam XVII/Cenderawasih,” kata Ramandey.
Pada poin kedua, Komnas HAM Papua menyebutkan hasil pemeriksaan terhadap Letda Inf Hendra yang merupakan Wakil Komandan Pos Bade yang menjadi lokasi peristiwa penyiksaan terhadap Bruno Amenim Kimko dan Yohanis Kanggun. Menurut Ramandey, Hendra sempat menemukan tubuh korban tergolek seperti orang mabuk. Akan tetapi, Hendra menyatakan tidak mengetahui bahwa warga yang ditemukannya dianiaya oleh bawahannya. Hendra mengaku baru mengetahui jika Bruno Amenim Kimko akhirnya meninggal dunia pada saat menggelar apel sore pada 30 Agustus 2022.
Pada poin ketiga, Komnas HAM Papua hasil pemeriksaan terhadap Komandan Regu, Serda Diki Wahyudi. Menurut Diki, Prada Achmad Roof menerima laporan percobaan perkosaan. Prada Achamd Roof bersama sembilan prajurit TNI lainnya akhirnya mendatangi rumah Bruno Amenim Kimko dan Yohanis Kanggun, dan membawa keduanya ke Pos Bade. Diki menyatakan langkah itu telah dilaporkan kepada Hendra, namun Hendra selaku Wakil Komandan Pos Bade membantah pernah menerima laporan penangkapan Bruno Amenim Kimko dan Yohanis Kanggun. Komnas HAM menyatakan Serda Diki Wahyudi mengaku menganiaya korban mengunakan bambu sebanyak tujuh kali, namun tidak merinci identitas korban.
Pada poin keempat, Komnas HAM Papua hasil pemeriksaan Komandan Satgas Yonif Raider 600/Modang, Mayor Infantri Karuniawan Hanif Arridho. Komnas HAM Papua menilai Karuniawan cenderung mengecilkan peristiwa itu, dan menyebut pemukulan yang dilakuan anak buahnya sebagai tindakan biasa dan merupakan bentuk pembinaan. Karuniawan juga menyatakan bahwa sudah ada kesepakatan perdamaian antara para prajurit Yonif Raider 600/Modang dan keluarga korban, namun penyidikan kasus penganiayaan itu tetap dijalankan.
“Komandan Satgas Yonif Raider 600/Modang Mayor Infantri Karuniawan Hanif Arridho menyederhanakan penyiksaan yang berulang-ulang dari jam 08.00 WP sampai jam 16.00 WP, seakan-akan itu sebuah pembinaan. [Dia] menyederhanakan luka-luka yang dialami korban meninggal dunia maupun korban hidup itu cukup [digosok] pakai minyak, digosok bisa hilang. Dia mencontohkan jika anak kita melawan, lalu telinganya dijewer. Dia menyederhanakan kasusnya seperti begitu,” kata Ramandey.
Pada poin kelima, Komnas HAM Papua menjelaskan hasil visum Bruno Amenim Kimko yang meninggal karena penganiayaan itu. Hasil visum itu menyebutkan Bruno mengalami luka di kepala dan leher, namun luka di bagian leher sudah dijahit. Bahu kiri dan bahu kanan korban memar. Ada luka terbuka di bagian dada korban. Di bagian perut korban, juga terdapat memar kehitaman. Luka memar menghitam juga ditemukan di bagian punggung korban maupun paha kanan dan kiri korban.
Pada poin keenam, Komnas HAM Papua menjelaskan kesaksian Yohanis Wem Kanggun, korban yang dianiaya bersama Bruno dan terluka parah akibat penganiayaan itu. Yohanis Wem Kanggun menuturkan bahwa dia dan Bruno dianiaya secara berulang-ulang di halaman Pos Bade. Penganiayaan itu dilakukan sejumlah prajurit TNI, dan berlangsung sejak pukul 08.00 WP hingga pukul 16.00 WP. Kanggun juga bersaksi bahwa dia dan Bruno Amenim Kimko sempat direndam di dalam kolam berlumpur. Keduanya juga dipaksa menggosok kemaluan mereka dengan balsam.
“Jadi penganiayaan itu berulang-ulang terus. Jadi, ada yang datang pukul, [lalu] pergi. Ada yang datang, pukul, [lalu] pergi lagi. Lalu mereka direndam dalam kolam yang berlumpur. Itu kesaksian dari korban Yohanis Wem Kanggun. Lalu mereka berdua ditaruh di satu tempat yang berdekatan, tetapi kemudian Kanggun dipindahkan ke tempat lain sekitar jam 17.00 WP. Kanggun melihat korban Bruno sudah dalam keadaan tak berdaya, bahkan diduga telah meninggal dunia pada jam 17.00 WP,” ujar Ramandey.
Pada poin kedelapan, Komnas HAM Papua menjelaskan soal pembayaran uang duka senilai Rp200 juta. Menurut Komnas HAM Papua, pembayaran itu merupakan permintaan keluarga korban Bruno Amenim Kimko. “Itu diakui oleh keluarga,” ujar Ramandey.
Pada poin kesembilan, Komnas HAM Papua menjelaskan ada upaya para prajurit Yonif Raider 600/Modang untuk memanipulasi keluarga korban agar menandatangani Berita Acara Penyerahan Uang Duka yang menyatakan pihak keluarga tidak akan menuntut atas kasus kematian Bruno Amenim Kimko. Hal itu dicantumkan sebagai poin kelima Berita Acara Penyerahan Uang Duka.
“Jadi mereka sudah sodorkan berita acara tapi keluarga keberatan untuk poin kelima itu. Malam [harinya], [berita acara] itu disodorkan [lagi untuk ditandatangani keluarga], tapi bagian poin [kelima] disembunyikan. Jadi, seakan-seakan sudah dilakukan perbaikan terhadap poin kelima [berita acara itu], tapi ternyata tidak dilakukan perbaikan. Lalu orangtua almarhum [Bruno Amenim Kimko] tanda tangan, keluarga juga tanda tangan,” ujar Ramandey.
Pada poin kesepuluh, Komnas HAM Papua menjelaskan 10 anggota TNI Yonif Raider 600/Modang yang menjemput Bruno Amenim Kimko dan Yohanis Kanggun dan diduga menyiksa kedua korban itu menolak memberikan keterangan kepada Komnas HAM Papua, dengan alasan mereka sudah memberikan keterangan kepada penyidik Polisi Militer Merauke.
Pada poin kesebelas, Komnas HAM Papua menjelaskan pada 28 Agustus 2022 para prajurit di Pos Bade juga menangkap dan menganiaya empat orang warga yang mabuk. Keempat warga yang ditangkap karena mabuk itu adalah Amsal Pius Yimsimem, Korbinus Yamin, Lodefius Tikamtahae, dan Saferius Yame. Komnas HAM Papu menyatakan bahwa keempat warga itu juga mengalami penganiayaan sejak jam 23.00 – 03.00 WP, sehingga mengalami luka di sekujur tubuh mereka.
Pada poin ketigabelas, Komnas HAM Papua menyatakan bahwa Bruno Amenim Kimko dan Yohanes Wem Kanggun dianiaya dengan balok kayu, kabel listrik, bambu, dan selang air.
Atas dasar hasil investigasi itu, Komnas HAM Perwakilan Papua mendesak Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat, Pangdam XVII Cenderawasih untuk mengevaluasi penugasan Yonif Raider 600/ Modang di Papua. “Kami mendesak Panglima dan Kepala Staf Angkatan Darat, karena pengiriman satgas itu kebijakan Mabes TNI melalui Panglima TNI dan Pangdam XVII/Cenderwasih sebagai pengguna,” kata Ramandey.
Komnas HAM Papua juga meminta proses hukum kepada Komandan Satgas Yonif Raider 600/Modang, Komandan Pos Bade, Wakil Komandan Pos Bade dan para prajurit yang terlibat penganiayaan itu dilakukan di Papua. “Penegakan hukum terhadap seluruh anggota, apakah itu 10, apakah itu 18, apakah itu 22 prajurit, harus dilakukan di wilayah Kodam XVII/Cenderawasih. Sampai sekarang status mereka belum ditetapkan sebagai tersangka. Status mereka masih terperiksa,” ujar Ramandey. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!