Jayapura, Jubi – Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua menyampaikan siaran pers yang mengibaratkan Papua bagaikan medan perang. Tak putus dirundung konflik sejak jadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam penanganan konflik di Papua, negara selalu mengerahkan pasukan militer yang berlebihan. ELSHAM juga mencatat selama tahun 2019-2021 terdapat kurang lebih 46.286 personel TNI/POLRI dikirim sebagai Bantuan Kendali Operasi (BKO) ke Tanah Papua.
Sejak tahun 1960-an Tanah Papua menjadi wilayah Daerah Operasi Militer (DOM), Elsham Papua mencatat hingga tahun 2018 sudah terjadi 24 kali operasi militer dilakukan di atas Tanah Papua dengan berbagai tajuk dan sandi-sandi operasi oleh militer Indonesia.
ELSHAM patut mengapresiasi dan ingin menyoroti perhatian Presiden Joko Widodo terhadap Perang Ukraina-Rusia yang mengatakan bahwa “perang adalah ego, melupakan sisi kemanusiaan, dan hanya menonjolkan kepentingan dan kekuasaan”.
“Dari pernyataan ini, wajar jika ELSHAM dalam konteks ini mempertanyakan bagaimana dengan realita adanya perang yang sedang terjadi di Tanah Papua? karena menurut kami perlakuan Rusia terhadap Ukraina dalam perang itu tidak ada bedanya dengan perlakuan Indonesia terhadap rakyatnya di Tanah Papua,” tulis direktur ELSHAM Papua, Matheus Adadikam melalui siaran pers kepada redaksi Jubi, Kamis, 23 Juni 2022 .
Dalam Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 Mengenai Perlindungan Orang-Orang Sipil dalam Waktu Perang, Bab 1 pasal III Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional poin I mengatakan ”Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam pertikaian (sengketa) itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan, atau kekayaan, atau setiap ukuran lainnya serupa itu”.
“Tapi realitanya, di Tanah Papua konflik bersenjata yang terjadi memakan banyak korban jiwa dari kalangan masyarakat sipil, dan juga berakibat pengungsian besar-besaran seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, Puncak Papua dan Yahukimo,” katanya.
Hal ini menyebabkan hak-hak hidup masyarakat sipil dilanggar, anak-anak kehilangan akses pendidikan, hak-hak kesehatan dan hak ekonomi tidak terpenuhi.
Dalam Protokol Tambahan Pada Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 Yang Berhubungan Dengan Perlindungan Korban-Korban Bab III Tentang Cara-Cara Dan Alat-Alat Peperangan Status Kombatan Dan Tawanan Perang Bagian I Cara – Cara Dan Alat – Alat Peperangan Pasal 35 Ketentuan-Ketentuan Dasar pada Poin Kedua Mengatakan. “Dilarang Menggunakan Senjata-Senjata, Projektil-Projektil Dan Bahan-Bahan Dan Cara-Cara Peperangan Yang Bersifat Mengakibatkan Luka (Injury) Yang Berlebihan Atau Penderitaan Yang Tidak Perlu”.
Menurut laporan Conflict Armament Research (CAR) Negara Indonesia melalui Badan Intelejen Negara (BIN) membeli sekitar 2.500 mortir dari Serbia yang kemudian digunakan di Papua pada tahun 2014.
Berdasarkan tugas dan fungsi Badan Intelejen Negara yang diatur berdasarkan Pasal 29, UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Badan Intelijen Negara bertugas: a. melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen; b. menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah; c. melakukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas Intelijen; d. membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing; dan e. memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan.
“Dari butir-butir di atas bisa dilihat bahwa Badan Intelejen Negara sama sekali tidak memiliki wewenang untuk membeli amunisi ataupun senjata api,” tulisnya.
Dengan meningkatnya eskalasi konflik yang terus terjadi di Tanah Papua, seharusnya Pemerintah Indonesia terbuka terhadap realita kehidupan masyarakat sipil di akar rumput. Terbuka mendengar suara hati nurani masyarakat sipil karena hal ini merupakan tugas dan kewajiban negara.
ELSHAM melihat sampai saat ini, pendekatan keamanan yang sangat militeristik masih terus dipakai oleh Negara dalam mengatasi masalah-masalah di Tanah Papua. Untuk itu Negara seharusnya lebih mengedepankan pendekatan yang lebih manusiawi dan bermartabat demi menjunjung Hak Asasi Manusia, Dengan fakta-fakta tersebut di atas ELSHAM mendesak:
1. Presiden segera menghentikan penggunaan mortir dan alutsista perang yang sedang digunakan dalam operasi militer di Tanah Papua
2. Pemerintah segera mengaudit Badan Intelejen Negara (BIN) yang telah menyalahgunakan tugas dan kewenangannya.(*)
Discussion about this post