Jayapura, Jubi – Tragedi Kanjuruhan 1 Okober 2022 jelas menjadi hari kelam dalam sepak bola di Indonesia. Pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 duel derby Jatim antara Persebaya versus Arema Malang menyebabkan 135 suporter meregang nyawa.
Peristiwa ini jelas membuat terhentinya semua pertandingan di Liga 1, Liga 2, dan Liga 3. Bahkan saat tim verifikasi stadion berkunjung untuk menilai kesiapan Stadion Mandala dan Stadion Lukas Enembe guna persiapan lanjutan Liga 2 telah dinyatakan sangat layak.
Tiba-tiba pecinta sepak bola khususnya di Liga 2 dan Liga 3 harus menerima kabar buruk, Liga 1 tetap dilanjutkan sementara Liga 2 dan Liga 3 dihentikan alias setop tanpa adanya degradasi. Sebegitu kejamnya tragedi Kanjuruhan sehingga Liga 2 dan Liga 3 harus menerima kenyataan, liga dihentikan. Padahal keberhasilan suatu pengurus sepak bola di negara manapun adalah berhasil menjalankan suatu kompetisi liganya secara teratur mulai dari usia dini, remaja, yunior, dan senior.
Oleh karena itu tak heran ketika timnas Indonesia gagal dalam Piala AFF 2022-2023 saat melawan Vietnam dengan skor 2-0 hingga tidak melanjut ke babak final. Bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena faktanya kompetisi tak mampu melahirkan pemain berkualitas. Apalagi pengurus sepak bola lebih suka meraih prestasi instan dengan mencari pemain naturalisasi, ketimbang mencari pemain dari 250 juta penduduk di Indonesia.
Jika menelisik ke era 1970-an hingga 1980-an, negara Vietnam masih terpecah menjadi negara Vietnam Selatan (dukungan Amerika Serikat) dan Vietnam Utara dukungan komunis China dan Rusia. Waktu itu timnas Indonesia sangat disegani oleh kesebelasan negara-negara Asia Tenggara, baik Thailand, Malaysia, apalagi Filipina dan Vietnam.
Bagi pengamat sepak bola saat itu menyebut kesebelasan timnas Thailand dan Vietnam masih termasuk kesebelasan semenjana. Artinya, sekadar ikut kompetisi sehingga tak heran kalau saat itu Persipura pernah mewakili Indonesia guna mengikuti turnamen Quock Kanh Cup atau Vietnam Naitonal Day Turnamen (Hari Nasional Vietnam).
Meski di tengah perang saudara antara Vietnam Selatan bertempur melawan Vietnam Utara, turnamen ini tetap berjalan dari sejak 1961. Kesebelasan Indonesia pernah ikut sejak1961, 1962 runner up, 1970, dan pada 1973 Indonesia diwakili Persija membawa pulang tropi setelah mengalahkan Malaysia dengan skor 3-2.
Setahun kemudian turnamen terakhir di Saigon sekarang Ho Chi Min City 1974, Persipura mewakili Indonesia dibawah pimpinan Gubernur Irian Jaya kala itu, mendiang Brigjen Acub Zainal. Ketika itu Acub Zainal membawa Persipura tanpa restu dari Mendagri, Amirmahmud, mengikuti turnamen yang digelar di Saigon, ibukota Vietnam Selatan, 1-10 November 1974.
โSaya nekad dan ngawur. Waktu saya memimpin Irian [Jaya], bola adalah kebanggaan Irian [Jaya]. Suatu saat kita mau bawa ke Bangkok, saya minta izin ke Pak Menteri Amirmahmud,โ kenang Acub Zainal dalam buku biografinya โI Love the Armyโ.
Dia menambahkan membawa Persipura ke luar negeri merupakan pertama kali membawa nama bangsa zonder (tanpa) pamit dulu kepada Mendagri.
โSaya berangkat dan singgah dulu ke Singapura,โ kata Acub Zainal, pendiri klub Arema Malang itu.
Setibanya di Singapura, Acub Zainal bertemu dengan Jenderal TNI Surono Reksodimedjo, Wakil Panglima ABRI. Surono meminta kepada Acub agar Persipura mengalah. Bukan untuk uang melainkan atas nama solidaritas sesama bangsa Asia Tenggara yang tengahย dilanda perang saudara.
โKeadaan Vietnam sedang gawat. Pak Surono minta kalau bisa kesebelasan yang saya bawa janganย sampai menang. Berikan kesempatan kepada mereka [Vietnam Selatan] untukย bergembira. Saya dapat perintah begitu,โ kata Acub Zainal.
Tim berjuluk Mutiara Hitam waktu itu datang dengan tim terbaik dengan stiker Timo Kapisa, Gento Rumbino, Hengky Mauri, dan kapten tim Hengky Heipon. Persipura juga dilatih dengan pelatih asing asal Singapura, Choi Song On, dengan memboyong kiper Persema Malang, Suharsoyo.
Persipura tak pernah kalah dalam babak penyisihan grup. Menang 3-1 saat melawanย timnas Kmer, sekarang Kamboja, dan imbang 1-1 melawan timnas Thailand. Persipura jadi juara grup B.
Saat semi final, Persipura mengalahkan timnas Taiwan dengan skor 2-0 pada 9 November 1974. Puncaknya pada final 10 November 1974, Persipura melawan timnas Vietnam Selatan. Acub Zainal kemudian teringat akan pesan Jenderal Surono.
โDalam final kita harus mengalah dan menjadi juara dua atau runner up. Vietnam Selatan menang dengan skor 2-0,โ kata mantan Panglima Kodam XVII Cenderawsih 1970-1973.
Persipura harus mengalah dan menerima harga sebuah solidaritas sesama bangsa Asia Tenggara.
Bisa dibayangkan saat itu era 1970-an kesebelasan di Indonesia begitu kuat dan disegani. Tetapi kini melawan Vietnam saja bisa kalah. Ini berarti ada yang salah dalam pembinaan sepak bola di Indonesia yang terlalu berpusat di Pulau Jawa tanpa memikirkan potensi sepak bola di luar pulau Jawa.
Akibatnya, tragedi Kanjuruhan bisa mengobarkan sepak bola di daerah dalam mengembangkan klub-klub Liga 2 dan Liga 3. Bravo sepak bola, kalau gagal sebaiknya mundur saja para pengurus sepak bola di Indonesia. (*)