Jayapura, Jubi – Kelompok Kerja atau Pokja Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua secara resmi dideklarasikan dalam kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun Wilayah Timur untuk Pemetaan Keselamatan Jurnalis yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen di Kota Jayapura, Sabtu (1/4/2023). Kelompok kerja itu akan berupaya mewujudkan kemerdekaan pers dan keselamatan jurnalis yang bekerja di Tanah Papua.
Deklarasi Pokja Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua itu dilakukan Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers Jakarta, Komite Keselamatan Jurnalis-Sindikasi, Internews, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia atau IJTI, Asosiasi Media Siber Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia, Sinode GKI, Kepolisian Daerah Papua, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua, dan Perkumpulan Bantuan Hukum Pers Tanah Papua. Lembaga lainnya yang terlibat adalah Aliansi Demokrasi untuk Papua, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sorong Raya, Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua, serta Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara.
Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Dr Asep Setiawan menyatakan pentingnya upaya pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Keselamatan Jurnalis, media center, dan agenda memperkuat kebebasan pers dan melindungi keselamatan jurnalis di Tanah Papua.
Asep menyatakan usulan pembentukan Pokja Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua merupakan hasil survei Dewan Pers terkait Indeks Kebebasan Pers di Tanah Papua pada 2021. Survey itu menunjukkan Indeks Kemerdekaan Pers atau di Papua dan Papua Barat tidak beranjak dalam posisi lima paling bawah dari 34 provinsi. “Usulan adanya pokja itu amanat dan hasil rekomendasi survei Dewan Pers terkait Indeks Kemerdekaan Pers dua tahun lalu,” ujarnya.

Asep menyatakan pembentukan Pokja Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua itu memberikan angin segar dalam memperkuat upaya untuk menjaga keselamatan pers di Tanah Papua. Tujuannya agar para jurnalis dapat melaksanakan tugas dalam rangka membangun kemerdekaan dan demokrasi di Indonesia, dan secara khusus pers di Tanah Papua lebih berkembang dan maju.
“Banyak sekali jurnalis mengalami tantangan di berbagai lapangan, baik itu sifatnya fisik maupun psikis. Baik itu ketika bertugas atau di luar tugas. Dewan Pers berharap tidak ada lagi pihak yang mengganggu para jurnalis saat melaksanakan tugasnya. Sebab, para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya dilindungi oleh hukum,” kata Asep.
Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim menyatakan AJI menyambut baik deklarasi Pokja Keselamatan Jurnalis Tanah Papua. Ia menyatakan AJI dan berbagai pihak sedang berupaya memecahkan problem kekerasan terhadap jurnalis di Tanah Papua.
Sasmito menyatakan Bidang Advokasi AJI Indonesia mencatat setidaknya terdapat lima kasus kekerasan terhadap jurnalis di Tanah Papua dalam rentang Maret 2022-Maret 2023. Kendati demikian, AJI meyakini jumlah kekerasan terhadap jurnalis di Tanah Papua itu lebih banyak daripada yang berhasil didokumentasikan AJI.
Menurut Sasmito, AJI Indonesia juga menemukan sejumlah persoalan yang dapat menghambat kerja jurnalis di Papua dan Papua Barat. Di antaranya, pembatasan jurnalis asing, rasisme, dan stigma terhadap jurnalis asli Papua. Jurnalis di Papua juga mengalami tantangan seperti pemadaman internet di Papua dan Papua Barat.
Sasmito berharap deklarasi Pokja Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua itu menjadi terobosan yang baik bagi permasalahan kebebasan pers di Tanah Papua. “Memang kita sedang berupaya memecahkan problematik kekerasan terhadap jurnalis di Tanah Papua,” ujarnya.
Ketua AJI Jayapura, Lucky Ireeuw menyatakan keselamatan jurnalis di Tanah Papua tidak hanya menjadi tanggung jawab perusahaan media, tetapi namun semua pihak terkait. Ia menyatakan diperlukan sinergitas antar pihak untuk mewujudkan kebebasan pers di Tanah Papua.
AJI Jayapura mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi di Tanah Papua dari 2021 (6 kasus), 2022 (3 kasus) dan 2023 (2 kasus). Aksi kekerasan itu berupa indikasi pengrusakan kendaraan mobil/motor, pelecehan secara verbal untuk jurnalis perempuan, aksi pemukulan, intimidasi untuk tidak mengambil gambar di lokasi liputan, adanya indikasi penggunaan bahan peledak dan ancaman pembunuhan serta pembakaran kantor jika tetap meliput isu tertentu. AJI Jayapura juga mencatat sudah terjadi tujuh kali gangguan internet dalam rentang tahun 2015 hingga 2023.
“Diperlukan sinergitas antar multi pihak [memitigasi kekerasan terhadap jurnalis] karena AJI merekomendasikan Pokja Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua yang bertujuan untuk melindungi dan menyelesaikan persoalan yang dialami jurnalis, ” ujar Ireeuw.

Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia atau AMSI Papua, Eveerth Joumilena menyatakan mitigasi ancaman terhadap jurnalis memerlukan kolaborasi dalam kerja jurnalis di Tanah Papua. Ia berharap dengan kehadiran Pokja Keselamatan Jurnalis Tanah Papua semakin memotivasi para jurnalis untuk menjalankan tugasnya, dan meminimalisir ancaman yang dihadapi jurnalis.
Kasubdit Penmas Humas Polda Papua, Bambang Suranggono menyatakan kehadiran Pokja Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua itu merupakan salah satu terobosan baru guna membangun sinergitas antara insan pers dengan kepolisian. Ia mengajak insan pers dan kepolisian untuk bersama-sama bekerja lebih terbuka dan tidak saling bersinggungan guna membangun demokrasi di Indonesia.
Ia menyatakan kepolisian dalam bekerja tentu berpedoman pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yaitu mengayomi dan melindungi masyarakat. Ia menyatakan maka perlindungan terhadap jiwa dan nyawa seseorang wajib hukumnya bagi pihak aparat keamanan. “Kita tidak pilih kasih melindungi harkat dan martabat apakah itu masyarakat biasa maupun jurnalis,” ujarnya. (*)
