Jayapura, Jubi – Dewan Gereja Papua dan Pusat Studi HAM Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura (STT-WPJ) mengadakan webinar dengan topik ‘Papua Pasca Pilpres dan Pileg 2024: Rekonsolidasi Kekuatan Elit vs Tuntutan Keadilan’ pada Senin (4/3/2024).
Webinar yang dimoderatori Scypri Jehan Paju Dale itu menghadirkan empat pembicara, yaitu Franky Samperante (Yayasan Pusaka Bentala), Yuliana Langowuyo (Direktur SKPKC Fransiskan Papua), Pater Bernardus Wos Baru, OSA (Ketua SFTT Fajar Timur), dan Made Supriatma (Dewan Pakar YLBHI dan Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute).
Franky Samperante membahas tentang target penguasaan sumber daya alam di Tanah Papua dan konsekuensinya bagi Orang Asli Papua (OAP). Menurutnya ekonomi dan politik, terutama di Papua, terkait dengan peran pemerintah sebagai alat bagi kelas sosial tertentu dan kepentingan ekonomi kapitalis.
“Ini sudah terjadi sejak lama, sebelum pemerintah Indonesia datang ke Papua, hingga saat ini,” ujarnya.
Menurutnya berdasarkan data-data yang ia miliki, ekonomi dan politik di Papua berhubungan dengan ekspansi kapital. Ia mencontohkan pada zaman Orde Baru ada industri besar terkait dengan Brimob. Pada zaman Orde baru juga ada perluasan di bidang penebangan hutan dan penambangan.
“Pasca reformasi tetap meluas dengan bisnis perkebunan dan diikuti dengan kebijakan
Yuliana Langowuyo berpendapat marjinalisasi OAP ke depannya akan semakin parah.
“Itu pasti. Akan terjadi perampasan ruang-ruang hidup yang lebih hebat lagi secara sistematis dan terstruktur. Kita harus punya kebijakan yang afirmatif melindungi OAP,” katanya.
Ia mencontohkan kebijakan yang dibuat oleh MRP (Majelis Rakyat Papua) mengenai hak politik OAP. “Kalau tidak dipertimbangkan dengan baik maka perampasan ruang hidup di bidang politik dan ekonomi akan dirampas,” ujarnya.
Ketua STFT Fajar Timur Pater Bernardus Wos Baru, OSA mengatakan dibutuhkan ada pergerakan besar dari setiap denominasi gereja untuk menangani kekacauan yang terjadi.
“Harus siapkan kader-kader untuk masalah di Papua, gereja sedang mengalami pergeseran dalam arti institusi,” ujarnya.
Menurutnya gereja harus menyiapkan manusia bukan mengutamakan pembangunan fisik, seperti gereja dibangun dan pastoral di bangun, tapi manusia bergesar posisi perhatian dan fokus.
Dewan Pakar YLBHI dan Peneliti ISEAS Yusof Ishak Institute Made Supriatma menyorot tentang Prabowo Subianto yang hampir dipastikan memenangkan Pilpres 2024 dan dampaknya terhadap masa depan Tanah Papua.
“Mungkin sekarang kita bisa membayangkan gaya kepemimpinan Prabowo Subianto nantinya,” kata Made. “Prabowo akan memakai pendekatan yang berbeda dengan Jokowi, kemungkinan akan lebih menekankan aspek militer,” katanya.
Kemudian, lanjut Made, Prabowo tinggal melanjutkan apa yang sudah dikerjakan. “Atau dengan kata lain yang sudah dirusak oleh Jokowi di Tanah Papua dengan pembentukan Daerah Otonomi Baru atau DOB,” ujarnya.
Menurutnya perlu ada perhatian khusus mengenai DOB, karena punya konsekuensi yang sangat besar. Hal tersebut tidak hanya dilihat secara politik, tapi secara sosiologis terhadap masyarakat Papua dan masa depan masyarakat Papua.
“Sekarang dengan pembentukan DOB, berarti akan lebih banyak orang Papua yang menjadi legislator, menjadi gubernur, bupati, masuk ke parlemen, baik di tingkat nasional maupun tingkat lokal,” ujarnya.
Di tingkat nasional, lanjutnya, karena sistem ‘afirmatif actions’, bahwa ada 25 persen kursi khusus untuk orang Papua. “Yang banyak orang menyambut baik hal tersebut dan banyak orang senang, tapi saya secara pribadi sedih dengan hal tersebut,” ujarnya.
Orang Papua, kata Made, harus tahu dan sadar bahwa mereka sedang masuk ke dalam jebakan Indonesia.
“Begitu banyak orang Papua yang berpikir dalam sistem bepikir yang salah, yaitu sistem Indonesia,” katanya. Ia melanjutkan, tidak ada imajinasi yang lain, kecuali menjadi gubernur, bupati, dan anggota DPR dengan bayang-bayang kemewahan yang akan didapatkan.
“Menurut saya sangat menyedihkan, karena semakin bayak orang Papua terjebak dalam hal itu dan terjebak dalam kenikmatan sesaat,” ujarnya.
Made melanjutkan, lima tahun berkuasa, makan sekenyang-kenyangnya sampai perut pecah, nanti sesudah itu terserah mau buat apa, ambil sebanyak-banyaknya kalau bisa.
Mental seperti itu, kata Made, tidak terlalu jarang ditemui. Ada juga di daerah-daerah lain di Indonesia, khususnya di luar Jawa, seperti Kalimantan, banyak orang memecah-belah ke dalam.
“Memecah-belah kelompoknya sendiri, ke dalam sukunya sendiri, hanya untuk kekuasaan, mengorbankan saudara-saudaranya sendiri,” ujarnya. (*)
Discussion about this post