Jayapura, Jubi – Forum Komunikasi Mahasiswa Paniai Kota Studi Jayapura mendesak Kejaksaan Agung agar melimpahkan pelaku lain dalam kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai Berdarah ke Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hal itu disampaikan Bidang Hukum dan HAM Forum Komunikasi Mahasiswa Paniai Kota Studi Jayapura, Hendrik Gobai dalam peringatan 9 tahun tragedi Paniai Berdarah di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Jumat (8/12/2023).
“Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk mengadili semua pelaku penembakan terhadap empat warga sipil yang meninggal dunia serta belasan warga yang luka-luka,” ujarnya.
Dalam peringatan yang berlangsung di Asrama Mahasiswa Paniai di Kota Jayapura pada Jumat malam, puluhan mahasiswa asal Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah, mengenang 9 tahun tragedi Paniai Berdarah. Kasus Paniai Berdarah terjadi di Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, pada 8 Desember 2014, ketika warga berdemonstrasi memprotes dugaan penganiayaan tujuh anak oleh aparat keamanan.
Laporan Amnesti International Indonesia berjudul “Suda, Kasih Tinggal Dia Mati – Pembunuhan dan Impunitas di Papua” yang dipublikasikan 2018 menyatakan pasukan keamanan menembaki kerumunan pengunjuk rasa menggunakan peluru tajam, menewaskan empat orang. Setidaknya 11 orang lainnya terluka oleh tembakan ataupun bayonet. Sejumlah warga telah bersaksi kepada Komnas HAM bahwa mereka melihat petugas polisi menembak seorang demonstran dari jarak dekat, bahkan setelah korban jatuh ke tanah.
Pada 15 Juni 2022 Kejaksaan Agung melimpahkan perkara Isak Sattu, terdakwa tunggal dalam kasus itu, ke Pengadilan HAM Makassar. Setelah melewati proses persidangan, pada 8 Desember 2022 Pengadilan HAM Makassar menjatuhkan vonis bebas terhadap Isak Sattu yang dinyatakan tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat.
Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati bersama Hakim Anggota Abdul Rahman, Siti Noor Laila, Robert Pasiribu, dan Sofi Rahman Dewi membebaskan dari segala tuntutan, karena tidak terbuktinya unsur pertanggungjawaban komando. Dari kelima hakim dalam perkara, dua hakim menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda atas putusan bebas tersebut. Selepas persidangan itu, belum ada tersangka baru yang dilimpahkan ke pengadilan atas kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Hendrik Gobai menilai proses hukum kasus pelanggaran HAM Berat Paniai yang tidak berlanjut setelah vonis bebas Isak Sattu telah membunuh hak atas keadilan bagi keluarga korban. Gobai mengatakan putusan ini menjadi catatan buruk dalam konteks pemenuhan hak atas keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat Papua.
“Serta akan semakin menguatkan ruang ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap negara,” katanya.
Gobai mengatakan kasus pelanggaran HAM Berat Paniai itu melibatkan lebih dari satu pelaku sebagaimana tertuang dalam hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut, Gobai pihak Kejaksaan Agung terkesan mengabaikan fakta hasil investigasi Komnas HAM.
Divisi Keadilan Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP), Latifah Alhamid mengatakan meski pemerintah telah menggelar sidang pelanggaran HAM kasus Paniai 2014, proses hukum itu belum memberikan keadilan bagi para korban. Pasalnya, demikian menurut Alhamid, Negara mengakui tragedi Paniai Berdarah sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat, namun tidak ada yang pihak dihukum atas tragedi itu.
“Bahkan pengadilan tingkat selanjutnya yakni kasasi masih tertunda hingga akhir 2023,” ujarnya pada Jumat. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!