Jayapura, Jubi – Jubi TV pada Sabtu (25/2/2023) mengadakan gelar wicara atau talkshow daring Tantangan Penghidupan Masyarakat Adat yang membedah tiga buku tentang situasi masyarakat adat Papua, yaitu “Geliat Kampung Tersembunyi”, “Merebut Kendali Kehidupan”, dan “Bayang-bayang Kerentanan”. Ketiga buku itu ditulis secara bersama-sama oleh Elvira Rumkabu, Apriani Anastasia Amenes, Asrida Elisabeth, dan I Ngirah Suryawan.
Gelar wicara itu dibuka oleh Elvira Rumkabu, dosen Universitas Cenderawasih yang menceritakan alasan hadirnya ketiga buku tersebut. Menurutnya, para penulis merasa tergelitik dengan konsep pemerintah dalam menyelesaikan persoalan Papua lewat peraturan atau regulasi yang diklaim berbasis budaya serta wilayah adat.
“Jargon pembangunan berbasis budaya dan wilayah adat itu tidak cukup jelas, sebab tidak menyentuh permasalahan yang dirasakan masyarakat adat. Makanya dalam buku itu, kami memilih tiga lokus riset yakni Kampung Aiwat [di Kabupaten] Boven Digoel, Kampung Sowek [di Kabupaten] Supiori, dan Kampung Kendate [di] Kabupaten Jayapura,” kata Rumkabu.
Hal senada disampikan Apriani Anastasia Amenes yang juga dosen Universitas Cenderawasih. Ia menyampaikan risetnya mendapati perempuan Papua di ketiga wilayah itu sebenarnya mengetaui model pembangunan yang baik menurut cara mereka. Akan tetapi, pandangan para perempuan Papua itu kerap diabaikan.
“Jadi perempuan dan masyarakat adat sebenarnya paham bagaimana mengelola alam dan segala macam yang sudah disediakan oleh alam. Kalaupun ada yang datang untuk meberikan jalan atau cara bagaimana mengelola [alam], itu belum tentu cocok, sebab mereka sendiri punya cara sendiri,” kata Amenes
Dalam gelar wicara itu, Director Locally Managed Marine Area (LMMA) Indonesia, Cliff Marlessy memberi pandatangan khusus soal masyarakat adat Sowek. Menurutnya, Kabupaten Supiori memiliki kasus sangat menarik, karena masih banyak hal yang tersembunyi.
“Sowek itu salah satu kampung dengan jumlah penduduk tertinggi di Papua, yakni sekitar 1.700 orang. Sementara jumlah lahan yang dimiliki tidak besar, sehingga ada masalah antara pertumbuhan penduduk dengan kebutuhan lahan,” kata Marlessy.
Marlessy juga menyoroti pola penataan kawasan permukiman di Sowek, di mana rumah para warga ditata berjajar dari timur ke barat. Penataan permukiman seperti itu serupa dengan model penataan permukiman masyarakat adat di Tanah Merah, Kabupaten Jayapura. “Jadi sebenarnya Papua menganut aturan sistem permukiman yang sangat menarik dengan memakai konteks budaya dan alam,” sambungnya.
Dan lebih menarik lagi, ternyata masyarakat Sowek hidup berimpitan, namun penataan permukiman mereka tetap mempertahankan keberadaan ruang publik. Hal itu justru tidak ditemukan dalam penataan permukiman modern di Papua, yang justru kerap mengabaikan ketiadaan ruang publik. “Jadi banyak hal yang menarik dimiliki masyarakat adat Sowek yang tidak banyak diketahui orang,” ujar Marlessy.
Di balik kearifan lokal masyarakat adat Sowak yang dikenal dengan kerajinan parang yang bernilai jual tinggi, Marlessy menyebut masyarakat adat Sowak memiliki berbagai persoalan yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah. Ia mencontohkan para perempuan Sowak yang menghadapi persoalan kesehatan reproduksi dan kekurangan gizi.
“Perempuan di sana rata-rata memiliki anak 10 sampai 12 orang. Masalah gizi juga masih menjadi momok. Padahal daerah ini memiliki hasil laut yang sangat baik,” katanya.
Dosen Universitas Papua, Selvi Tebay mengatakan setiap masyarakat adat memiliki cerita masa lalu yang sarat dengan berbagai pengetahuan dan kearifan lokal. Akan tetapi, banyak masyarakat adat telah kehilangan pengetahuan mengenai cerita masa lalu itu, sehingga ada keterputusan informasi yang dialami generasi saat ini. “Itu pekerjaan besar yang harus diselesaikan anak-anak Papua yang belajar dan peduli terhadap sumber daya yang dimiliki,” kata Tebay.
Tebay mencontohkan, banyak kosakata bahasa atau marga masyarakat adat di Papua yang sudah hilang, sehingga hal itu harus didokumentasikan kembali. “Hal itu yang harus dilihat oleh pemerintah dan generasi Papua. Jelas itu merupakan pekerjaan rumah kita bersama,” sambungnya.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Sekar Banjaran Aji mengaku merasa bangga dengan terbitnya ketiga buku yang menceritakan persoalan masyarakat adat Papua itu. “Saya berharap buku yang menceritakan masyarakat adat dibaca anak-anak Papua. Itu sebuah hal yang luar biasa, karena [ketiga buku itu] berbeda dengan narasi yang tampil di arus utama media di Indonesia,” kata Sekar.
Sekar mencontohkan masyarakat adat Aiwat, yang memiliki berbagai macam cara untuk mempertahankan hidupnya, dan terus kembali merebut apa yang dikuasai oleh berbagai perusahaan yang datang. “Hal itu tentu banyak belum diketahui banyak orang, sehingga tiga buku yang sudah ditulis itu harus dibaca oleh anak-anak Papua,” ujarnya. (*)