Jayapura, Jubi – Indeks Ketimpangan Gender atau IKG Provinsi Papua tahun 2022 mencapai 0,515 poin, atau turun 0,020 poin jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 0,535 poin. Penurunan ketimpangan gender terjadi di sebagian besar kabupaten dan kota di Papua.
Hal itu disampaikan Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM, Astrid Ramadiah Wijaya saat diskusi bertema Forum Perempuan Papua Berdaya, Dorong Papua Maju yang diselenggarakan di Kota Jayapura, Provinsi Papua, Kamis (19/10/2023).
Astrid dalam keterangan pers tertulisnya mengatakan menurunnya Indeks Ketimpangan Gender terutama dipengaruhi oleh perbaikan dimensi kesehatan reproduksi.
Perbaikan dimensi pemberdayaan dipengaruhi oleh perbaikan indikator keterwakilan perempuan di legislatif dan indikator persentase laki-laki dan perempuan 25 tahun ke atas yang berpendidikan SMA ke atas.
“Perbaikan pemberdayaan perempuan di Papua tentu akan membawa dampak positif di berbagai sektor, seperti sektor ekonomi, sosial budaya, dan bahkan pendidikan,” ujarnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kota Jayapura, Betty Anthoneta Puy menyatakan diperlukan keberanian untuk bicara tentang ketimpangan gender. Hal itu untuk mendorong agar lebih banyak lagi perempuan yang mampu memberikan kontribusi bagi Indonesia, khususnya warga Papua.
“Perempuan harus berani memberi nilai kepada dirinya sendiri. Perempuan hadir di partai politik dengan memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas yang setara dengan pria . Lalu perempuan duduk di kursi dewan mewakili kepentingan perempuan,” kata Puy.
Selain itu, Puy juga menilai bahwa perempuan harus berani untuk mandiri baik secara ekonomi maupun pendidikan agar semakin berdaya. “Jika itu terjadi, maka Papua akan semakin maju, karena ada kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam segala program kegiatan pembangunan,” ujarnya.
Co-founder Sehati Sebangsa Foundation, Jeni Karay mengatakan anak muda Papua harus mampu mengatasi ketimpangan gender, antara lain dengan mencegah kekerasan berbasis gender yang seringkali terjadi sejak pasangan rumah tangga berpacaran.
Karay mengingatkan anak muda agar tidak terjerumus ke dalam godaan atau rayuan pacar, sehingga mudah memaafkan pacar yang sudah melakukan kekerasan dengan alasan sayang.
“Seringkali bibit kekerasan dalam rumah tangga sudah ada saat orang berpacaran. Permasalahan atau isu yang ada ketika pacaran jika dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi masalah besar pada saat menikah,” kata Karay.
Jeny Karay menegaskan, kualitas keluarga di masa depan ditentukan oleh kesadaran anak muda saat ini. “Intinya, generasi muda harus paham tentang pemberdayaan perempuan dan dampaknya seperti apa, sehingga ketimpangan gender bisa terus berkurang di Papua,” ujarnya. (*)