Jayapura, Jubi – Sekretaris Bersatu Untuk Kebenaran, Nehemia Yarinap menyatakan kekhawatirannya bahwa proses Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar untuk kasus Paniai Berdarah akan mengulang hasil persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar untuk kasus Abepura Berdarah. Kekhawatiran itu muncul karena hanya ada seorang tersangka yang akan diadili dalam kasus Paniai Berdarah.
Hal itu dinyatakan Nehemia Yarinap selaku pembicara dalam diskusi daring “Peradilan HAM Kasus Paniai 2014 dan Tantangan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM di Tanah Papua” yang diselenggarakan Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) pada Jumat (22/7/2022). Yarinap mempertanyakan mengapa hanya ada seorang tersangka yang akan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar untuk kasus Paniai Berdarah.
Langkah Kejaksaan Agung yang hanya menetapkan seorang tersangka kasus Paniai Berdarah, yaitu pensiunan TNI berinisial IS, dipertanyakan oleh berbagai pihak. Pasalnya, Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik pada Februari 2020 menyatakan anggota TNI, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab atas kasus Paniai Berdarah.
Yarinap menilai proses hukum kasus Paniai Berdarah itu serupa dengan proses hukum kasus pelanggaran HAM Abepura Berdarah yang terjadi di Kota Jayapura pada 7 Desember 2000. Kedua terdakwa kasus Abepura Berdarah, Brigjen Pol Johny Wainal Usman dan Kombes Daud Sihombing divonis bebas Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar untuk kasus Abepura Berdarah pada 8 dan 9 September 2005. .
“Kami melihat bahwa pelaku pelanggar HAM [dalam kasus Paniai Berdarah] oleh Kejaksaan Agung dijadikan seorang tersangka saja. Kami melihat seorang tersangka itu sebagai kambing hitam dari proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Paniai,” kata Yarinap.
Nehemia Yarinap menyinggung bahwa Pemerintah Indonesia telah menetapkan tiga kasus pelanggaran HAM di Papua sebagai pelanggaran HAM berat. Ketiga kasus itu adalah kasus yaitu kasus Wasior Berdarah yang terjadi pada tahun 200, Kasus Wamena Berdarah yang terjadi tahun 2003, dan kasus Paniai Berdarah yang terjadi pada 8 Desember 2014. Hingga kini, proses persidangan baru akan dijalankan dalam kasus Paniai Berdarah.
Yarinap menyatakan publik di Papua berpegang kepada janji yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 27 Desember 2014 untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM Paniai Berdarah. Jokowi menginstruksikan agar para pelaku pelanggaran HAM dalam kasus Paniai Berdarah ditangkap dan diproses secara hukum.
Akan tetapi, pada 1 April 2022 Kejaksaan Agung mengumumkan hanya ada seorang tersangka dalam kasus Paniai Berdarah. “Kami menilai Kejaksaan Agung menetapkan satu orang tersangka hanya untuk memenuhi janji Jokowi,” kata Yarinap.
Yarinap mengingatkan jika Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar untuk kasus Paniai Berdarah justru melanggengkan praktik impunitas, pengadilan itu akan gagal memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban. Hal itu juga bisa mencederai nama baik PDI-Perjuangan sebagai partai Jokowi. “Kalau [para pelaku dalam] kasus [Paniai Berdarah] itu dibiarkan, akan membuat nama baik partai rusak di kemudian hari,” katanya.
Laporan Amnesti Internasional Indonesia berjudul “Suda, Kasih Tinggal Dia Mati – Pembunuhan dan Impunitas di Papua” yang dipublikasikan 2018 menyatakan peristiwa Paniai terjadi ketika ratusan warga Papua berunjukrasa di dekat markas militer dan polisi setempat, di Enarotali, ibukota Kabupaten Paniai, Provinsi Papua, pada 8 Desember 2014. Demonstrasi itu merupakan respon warga atas dugaan pemukulan 11 anak Papua oleh personil militer pada 7 Desember 2014.
Ketika para pengunjuk rasa mulai melemparkan batu dan kayu ke sekitar gedung-gedung tersebut, pasukan keamanan mulai menembaki kerumunan pengunjuk rasa menggunakan peluru tajam, menewaskan empat orang. Setidaknya 11 orang lainnya terluka oleh tembakan ataupun bayonet. Sejumlah warga telah bersaksi kepada Komnas HAM bahwa mereka melihat petugas polisi menembak seorang demonstran dari jarak dekat, bahkan setelah korban jatuh ke tanah. (*)
Discussion about this post