Jayapura, Jubi – Selama tiga hari, puluhan sineas Papuan Voices dari berbagai kabupaten di Tanah Papua berkumpul di Rumah Duta Damai Keuskupan Agung Merauke di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Mereka hadir untuk mengikuti acara Festival Film Papua VI yang diselenggarakan Papuan Voices mulai 7 sampai 9 Agustus 2023.
Festival Film Papua VI mengusung tema bertajuk “Dari Kampung Kitong Cerita”. Festival itu juga diselingi dengan acara talk show media, pameran karya oleh mitra Papuan Voices, nonton bareng, dan diskusi film yang melibatkan para sineas dari Kabupaten Merauke, Kabupaten Nabire, Kabupaten Timika, Kabupaten Sorong, Kabupaten Supiori, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Keerom, Kota Jayapura dan Kabupaten Fakfak.
Setidaknya ada 40 film dokumenter yang diputar sepanjang festival itu. Diantaranya, “Daerah hilang”, “Dari Hutan Kitong Hidup”, “Gereja, Hidup dari Tanah”, “Innocent Voices”, “Insar Sasewar Kombrof”. Ada juga film “Kader”, “Kembali ke Jalan Leluhur”, “Kitorang pu Mama”, “Laut Sumber Kehidupan”, “Lukas Moment”, “Pos Belanda Pertama di Lembah Baliem”, “Sa pu Cerita”, dan film lainnya.
Ketua Umum Papuan Voices Harun Rumbarar berharap Festival Film Papua menjadi ruang untuk menampilkan film karya orang muda Papua. Ia menyatakan melalui festival film itu, beragam cerita tentang Tanah Papua bisa terdengar hingga ke dunia internasional.
“Kitong hanya membuka ruang dan memberikan kesempatan kepada anak-anak Papua untuk mau mengirimkan film untuk diputar. [Kami juga membuka ruang dan] tempat di mana orang datang nonton film yang diproduksi anak Papua,” kata Rumbarar pada Selasa (8/8/2023).
Rumbarar menyatakan tema “Dari Kampung Kitong Cerita” untuk mempertegas semangat Papuan Voices meneruskan suara dari kampung di Tanah Papua. Menurut Rumbarar, selama ini sumber utama cerita dalam karya para sineas Papuan Voices berasal dari lingkungan terdekat, yakni rumah dan kampung.
“Nilai sebuah film itu ada di isu cerita. Film terbaik bukan melihat dari gambar tetapi mampu merekam realita yang ada di kampung, di kali, di dusun sagu,” katanya.
Ketua Panitia Festival Film Papua VI Irene Fatagur menyatakan Papuan Voices menilai bahwa di kampung banyak kisah menarik. Kisah masyarakat adat Papua menghadapi perkembangan zaman, derasnya investasi, krisis identitas. Selain itu, dari kampung lah banyak nilai dan kearifan lokal yang dapat menjadi bekal untuk menjelajahi perkembangan dunia saat ini.
Fatagur menyatakan Festival Film Papua kali ini dilaksanakan agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pihak Papuan Voice tidak melaksanakan ajang kompetisi film dokumenter, tetapi lebih kepada penguatan kapasitas anggota Papuan Voices dan sineas muda Papua.
“Papuan Voices lebih fokus pada kegiatan lokakarya film dokumenter, nonton dan diskusi film dokumenter sebagai wadah untuk meningkatkan kesadaran dan kepercayaan terhadap identitas,” katanya.
Gelar wicara
Salah satu narasumber gelar wicara Festival Film Papua VI Dery Prananda menyatakan penting sekali untuk memahami genre dokumenter ketika memulai proyek film dokumenter. Menurutnya, ada enam genre dokumenter yang bisa menjadi rujukan dalam pembuatan film dokumenter diantaranya Poetic Documentary, Expository Documentary, Observatory Documentary, Participatory Documentary, Reflexive Documentary dan Performative Documentary.
“Berbagai bentuk itu bisa menjadi alternatif bagi teman-teman Papua untuk memproduksi film. Film dokumenter bisa dikembangkan. Ketika merancang proses itu, justru kita mengembangkan pengetahuan di lapangan. Kita kembangkan sesuai dengan cerita kita,” ujarnya.
Dosen Sekolah Tinggi Multimedia Yogyakarta tersebut menyatakan hal yang paling sulit adalah memulai dan menentukan konsep ide pembuatan film. Dery mengatakan ide menjadi konsep dasar dalam pembuatan film.
“Kita selalu dikelilingi oleh cerita. Ada banyak cerita yang perlu kita gali agar sesuai dengan cerita [yang ingin] kita produksi,” katanya dalam sesi gelar wicara Festival Film Papua VI pada Senin (7/8/2023).
Dery menyatakan sangat penting untuk mencoba memahami beragamnya cara bercerita dalam dokumenter. Ia menyatakan hal fundamental dari proses memproduksi film dokumenter adalah mengolah atau membangun gagasan, sehingga ide dapat dikelola menjadi sebuah film.
Namun, Dery mengingatkan apapun ide film yang hendak diproduksi, inti dari film dokumenter harus berdasarkan kebenaran. “Semangat untuk memulai itu biasanya paling sulit. Memulai untuk menulis, memulai untuk riset. Dokumenter dibangun dari riset. Itu yang mungkin kita mulai dulu. Mulai riset dulu, mulai menulis dulu apa yang kira-kira muncul dari pemikiran, daripada ide disimpan terus,” ujarnya.
Narasumber gelar wicara lainnya, Nanki Nirmanto menyatakan film dokumenter menjadi medium yang tepat untuk menyampaikan keresahan melalui data atas masalah di Tanah Papua. Tetapi ia menyatakan film dokumenter harus menjadi medium keberpihakan bagi masyarakat.
Direktur Festival Film Purbalingga tersebut menyatakan film sebagai edukasi yang universal perlu disesuaikan dengan medium dan strategi distribusi yang menarik. Nanki menyatakan film yang diproduksi Papuan Voices perlu didistribusikan secara lokal, nasional, dan internasional melalui kompetisi film, festival film, dan bioskop.
“Kita perlu untuk membangun kerjasama dan sinergitas dengan semua pihak. Ketika berbicara mengenai film yang diproduksi sebagai bentuk keberpihakan kepada masyarakat, kita tidak hanya melakukan riset dengan mencari data kuantitatif, tapi perlu membangun emosional dengan masyarakat,” kata Nanki sesi gelar wicara Festival Film Papua VI pada Selasa (8/8/2023).
Beradaptasi dengan keterbatasan
Anggota Papuan Voices Timika, Natalis Migau menyatakan kendala yang dihadapi adalah keterbatasan peralatan seperti infocus dan speaker untuk melakukan pemutaran film di kampung. Migau menyatakan keterbatasan itu biasanya teratasi dengan didukung gereja yang meminjamkan peralatan.
Migau berharap Papuan Voices terus melakukan kolaborasi dengan komunitas untuk pelatihan dan pemutaran film di gereja dan kampung. Migau menyatakan selama ini pemutaran film Papuan Voices Timika dilakukan di berbagai kampung, dengan target penonton masyarakat adat dan anak-anak. Papuan Voices Timika telah memproduksi dua film, yaitu “Daerah Hilang” dan “Mamapolitan”.
Yusuf Moai sangat mengapresiasi festival film Papua yang diselenggarakan Papuan Voices. Pria 24 tahun yang berasal dari Serui tersebut mengatakan festival itu dapat memberikan pelajaran bagi orang muda Papua untuk tidak melupakan budayanya.
“Film-film yang diputar itu menyadarkan orang muda Papua untuk tidak melupakan budaya masing-masing daerahnya. Dari sini saya belajar dan sadar di kampung saya sendiri anak-anak muda sudah banyak melupakan budayanya. Jujur saya sendiri dari Serui, tarian daerah jarang sekali ditampilkan. Anak muda sudah lebih goyang tik-tok, dancer, hip-hop,” kata Moi pada Rabu (9/8/2023).
Mahasiswa Jurusan Sumber Daya Perairan Universitas Ottow Giesler itu berharap Festival Film Papua tidak hanya diselenggarakan di Kota Jayapura. Ia menyatakan penting untuk menyelenggarakan Festival Film Papua di daerah lain agar menjadi motivasi bagi orang muda Papua untuk melestarikan budaya mereka di daerah.
“Film-film ini bagus. Harapan saya kedepan Papuan Voices lebih berkembang lagi untuk mengangkat budaya daerah di Papua melalui film-film,” ujarnya.
Papuan Voices adalah komunitas film dokumenter yang terbentuk pada 2011. Komunitas itu berubah menjadi perkumpulan berbadan hukum dan menjadi ruang mengembangkan kapasitas sumber daya manusia, khususnya generasi muda Papua, dalam menggunakan media audio-visual.
Papuan Voices meyakini adanya ruang kreatif bagi orang muda akan muncul kemampuan berkreasi dan semangat bekerja untuk mengembangkan keahlian yang dimiliki. Ruang kreatif seperti itu akan merangsang para sineas muda untuk berkembang secara mandiri, dan memiliki komitmen besar untuk terlibat aktif dalam proses pembangunan di Tanah Papua.
Saat ini Papuan Voices ada di wilayah Jayapura, Keerom, Merauke, Biak, Wamena, dan Sorong. Pada 2023, Papuan Voices mengembangkan sayap ke Nabire dan Supiori. Festival Film Papua telah menjadi agenda tahunan Papuan Voices sejak 2017. (*)