Jayapura, Jubi – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Kota Jayapura menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD untuk menyerap aspirasi dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah atau Raperda Penyelenggaraan Otonomi Khusus di Kota Jayapura. Diskusi itu digelar di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Rabu (18/10/2023).
FGD Raperda Penyelenggaraan Otonomi Khusus (Otsus) di Kota Jayapura itu melibatkan anggota DPRD Kota Jayapura, tokoh agama, serta para akademisi dari Universitas Cendrawasih, Universitas Muhammadiyah Papua, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Fattahul Muluk Papua.
FGD itu juga melibatkan masyarakat sipil serta lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Tim Jaringan pembela HAM perempuan Papua (TiKi), Jaringan Kerja Rakyat Papua (Jerat Papua), Sekretariat Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan atau KPKC Sinode GKI di Tanah Papua, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua, dan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham Papua).
Tim Legal Drafting, Latifah Anum Siregar mengatakan Rancangan Peraturan Daerah Penyelenggaraan Otonomi Khusus di Kota Jayapura terdiri atas delapan bab dan 52 pasal. Siregar mengatakan rancangan peraturan daerah (raperda) itu mengatur empat hal, yaitu kewenangan, kelembagaan, pengelolaan, dan pengawasan.
“[Diskusi ini tentu] untuk melakukan pembobotan dan meminimalisir perdebatan saat implementasi,” kata Anum.
Anum mengatakan ada enam wewenang otonomi khusus yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Jayapura, yaitu pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, sosial dan perekonomian, kependudukan dan ketenagakerjaan, serta pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup. Siregar mengatakan implementasi kewenangan khusus itu perlu diatur, sehingga penerapannya tepat sasaran kepada orang asli Port Numbay dan Orang Asli Papua pada umumnya.
“Kewenangan khusus [sudah] diberikan kepada kota Jayapura. Kemudian [manfaatnya] diberikan kepada siapa?” ujar Anum.
Peserta FGD, Nur Aida Duwila mengatakan raperda harus menjamin adanya biaya pendidikan gratis bagi Orang Asli Papua dari jenjang SD hingga SMP. Selain itu, harus ada jaminan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
“[Perlu perhatian bagi] perempuan dan anak korban kekerasan. Selama ini, semua pembayaran [biaya pengobatan] ditanggung korban. Dia sudah menjadi korban dan dikorbankan lagi untuk menanggung seluruh biaya yang timbul dalam masa pemulihan,” kata Nur.
Direktur LBH APIK Jayapura tersebut juga menyoroti kaum disabilitas yang belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Nur mengusulkan agar raperda itu memuat pasal yang memberikan jaminan sosial bagi kaum disabilitas dan termarjinalkan. “Perlu memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi kaum disabilitas dan marjinal,” ujarnya.
Wakil Ketua I DPRD Kota Jayapura, Joni Y Betaubun berharap peserta FGD bisa memberikan pembobotan Raperda Penyelenggaraan Otonomi Khusus di Kota Jayapura. Betaubun mengatakan raperda itu ditargetkan disahkan tahun ini.
“Bapak dan Ibu [dengan] kemampuan dan ide yang cerdas [dapat] memberikan bobotan dalam rancangan perda tentang penyelenggaraan Otsus di Kota Jayapura. [Hasilnya] akan kami bawa dalam sidang dewan untuk [diputuskan menjadi] Perda tentang penyelenggaraan Otsus di Kota Jayapura,” katanya. (*)